webnovel

Nakula Yang Buaya

Nakula merasa aneh dengan ucapan Jane. Dia juga membiarkan Jane turun dari pangkuannya. Wajah perempuan itu begitu marah. Seperti siap untuk mencekik Nakula.

"Apa lihat-lihat!" ucap Jane sewot.

"Ada apa sih Jane? Kau kok marah-marah denganku. Aku kan hanya membantu kau saja," ucap Nakula yang masih bingung dengan apa yang Jane ucapkan.

"Iya tapi kau tidak seharusnya kau memelukku di atas pangkuan. Sudah begitu tanpa dosa membiarkan istrinya pergi begitu saja."

Nakula hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ucapan Jane benar-benar tidak dia mengerti kali ini.

"Sudah sana kejar istrimu. Bu Asmara pasti sedang menangis histeris karena suaminya begitu buaya."

Nakula syok mendengar tuduhan semacam itu. Tapi seketika dia tersenyum geli melihat Jane yang ternyata marah-marah lantaran dia mengira Asmara istri darinya. Gara-gara dia yang menjawab pertanyaan istri orang mana, Jane jadi menyangka memang Nakula sudah beristri.

"Kenapa senyum-senyum. Ini sudah selesai. Sana panggil istrinya. Aku tidak mau ya disebut pelakor."

Nakula semakin mendekap mulutnya. Dia tidak siap jika harus menertawakan Jane yang begitu lucu ini. Ingin menjelaskan juga percuma. Pasti Jane akan berpikir kalau dia hanya membuat alasan.

"Biarkan saja, nanti dia juga masuk."

Baru saja mengatakan hal itu, Asmara benar masuk. Yang Jane pikir aneh. Wajah perempuan itu tampak biasa saja.

"Sudah Jane suratnya?" tanyanya yang langsung mengambil kertas di atas meja.

"Sudah Bu. Em, ini saya minta maaf atas kejadian tadi. Kami tidak ada hubungan apa-apa kok. Hanya salah paham saja," jelas Jane yang merasa tidak enak dengan Asmara.

"Hah?" Asmara kebingungan dengan perkataan Jane. Dia menatap ke arah Nakula yang juga sedang menatapnya galak.

"Eh iya itu," ucap Asmara gugup.

"Ya sudah kalau begitu Nakula, aku pamit dulu. Nanti aku bicarakan lebih jauh sama Alfa. Bye."

Asmara langsung buru-buru pergi. Dia benar-benar tidak enak menghadapi situasi semacam ini. Terlebih bisa dilihat tatapan Nakula yang seakan ingin membunuhnya.

"Mampus tidak aku. Nakula seperti buaya kelaparan begitu."

Asmara bergidik ngeri, bahkan Anta yang sejak tadi menjadi lawan bicaranya keheranan melihat tingkah sepupu dari Nakula tersebut.

***

"Kalau sudah tidak ada pekerjaan lain, saya permisi dulu Pak. Selamat siang."

Nakula tidak menjawab perkataan Jane. Tapi dia juga membiarkan bagian keuangan perusahaan miliknya itu pergi. Sementara dia sibuk dengan pekerjaan yang sudah menumpuk di depan mata.

Tidak ada jawaban dari Nakula membuat Jane tetap santai saja keluar. Rasa tidak enak masih saja menghantuinya. Tapi paling tidak, dia sudah meminta maaf pada Asmara. Dia berjanji dalam hati untuk tidak mengganggu Nakula lagi. Walau sebenarnya yang sering mengganggu memang Nakula.

"Dasar pria di mana-mana sama," umpat Jane dengan mengelus dadanya.

Peristiwa tadi membuatnya tidak nyaman. Apa lagi trauma yang dia dapat di masa lalu, membuat dirinya semakin tidak tenang. Bayangan buruk, perpisahan orang tua selalu saja menjadi momok menakutkan baginya.

Jane tidak mau Nakula dan Asmara berpisah dan meninggalkan luka bagi anak mereka.

"Bu Jane!"

Tepukan halus dia dapat dari tangan Siska. Gadis itu menatapnya khawatir.

"Bu Jane sakit?" tanya Siska.

"Eh, tidak. Ada apa Siska?" tanya Jane yang tidak tahu kalau sudah ada Siska di dalam ruangannya.

"Maaf Bu. Tadinya saya mau ajak makan siang. Tapi tidak ada jawaban dari dalam. Saya coba masuk, ibu malah sedang memijit kepala."

Jane langsung menjauhkan tangannya dari kepala. Dia lantas tersenyum ke arah Siska. Wajah pucatnya mulai membaik. Tidak seputih tadi. Kendati apa yang dia rasa masih saja tidak nyaman.

"Maaf ya Siska. Saya hanya kurang nyaman saja. Maklum pekerjaan sedang banyak kan. Tapi overall is okay."

Siska tersenyum senang. Untunglah kalau atasan barunya tidak apa-apa.

"Ya sudah Bu, kalau gitu mau gabung bersama kami ke kantin atau mau pesan makanan saja?"

Jane melihat pergelangan tangannya. Mendapati sudah pukul dua belas tepat. Memang sudah waktunya beristirahat.

"Baiklah ayo kita ke kantin."

Jane menggandeng tangan Siska. Seketika gadis yang lebih muda satu tahun di bandingkan dirinya itu terdiam. Merasa tidak pantas digandeng oleh Jane.

"Kau kenapa?" tanya Jane heran.

"Maaf Bu. Saya tidak enak sama yang lain kalau digandeng Ibu seperti ini," ucap Siska.

"Oh maaf ya. Padahal kita kan sama-sama perempuan juga. Aneh sekali pemikiran orang lain. Tapi tidak apa-apa, aku mengerti kok."

Jane tidak mempermasalahkan hal tersebut lagi. Dia berjalan beriringan dengan Siska ke kantin. Pada saat akan turun ke lift, tampak juga Nakula yang akan turun.

"Kalian mau ke mana?" tanya Nakula pada dua perempuan di depannya.

"Eh."

Siska gelagapan ditegur bos besarnya. Tapi tidak dengan Jane yang tampak biasa saja.

"Mau ke kantin. Mau ikut Bos?" tanya Jane santai.

"Boleh. Ayok."

Jane merasa kesal basa-basi terhadap Nakula. Berbeda dengan Siska yang panik karena makan siang bersama bos tampan.

"Eh Pak, benar?" ucap Siska yang tidak percaya.

"Ya benar dong. Kenapa? Kau keberatan?" tanya Nakula pada bawahannya itu.

"Eh tidak kok Pak. Saya mana berani keberatan sama yang punya kantor," ucap Siska canggung.

"Ah kau bisa saja. Sudah berapa lama kerja di sini?" tanya Nakula mencoba akrab.

"Bulan depan masuk tahun ke dua Pak."

Siska memegangi dadanya yang berdebar tidak karuan. Berbeda dengan Jane yang justru tampak kesal.

"Oh betah juga ya. Semoga sama saya kau bisa semakin betah dan produktif lagi ya."

Siska tersenyum malu-malu. Dia begitu tersanjung didoakan seperti itu oleh Nakula. Tentu saja dibandingkan pimpinan yang lama, Nakula jauh lebih tampan. Dia juga tidak sombong. Suka menyapa para karyawan yang terlihat olehnya.

"Terima kasih Pak. Di tangan Bapak, saya berharap juga perusahaan ini jauh lebih berkembang lagi. Yang tentu saja diimbangi bonus yang imbang," ucap Siska yang seketika mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak ada niatan untuk mengatakan hal yang terakhir. Tapi ternyata, mulutnya tidak sinkron dengan otak.

"Ah tentu saja kalau itu. Kalau kinerja kalian bagus, pasti penghasilan akan mengikuti."

Nakula tersenyum begitu manis. Jika tidak ada tubuh Jane di sampingnya sudah pasti Siska telah jatuh membentur lantai.

"Meleleh saya Bu," bisik Siska pada Jane.

"Halah jangan percaya Siska. Itu biar kau betah saja."

Bukannya berbalas bisik seperti yang Siska lakukan, Jane justru berbicara lumayan keras.

Untung saja pintu lift sudah terbuka. Mereka semua keluar, sebelum Nakula membalas perkataan Jane.

Siska lebih dulu berjalan. Apa lagi terlihat temannya sudah melambai ke arahnya.

Hal ini tentu saja digunakan Nakula menarik tangan Jane.

"Mau ke mana? Ikut aku yuk."

***