webnovel

Pintu Rahasia

"Kalian istirahatlah di sini dulu. Jika sudah pulih, aku akan mengantar kalian ke tempat lain." Eyang Guru berbicara seraya hendak melangkah pergi.

Nalini buru-buru mencegahnya. Banyak yang ingin ia tanyakan karena tempat itu masih asing baginya.

"Ampun, Guru mau ke mana? Kami ditinggal sendirian di sini? Bagaimana jika ..." Perkataan Nalini terpotong, Eyang Guru berbalik menunjuk sebuah ruangan di seberang deretan kamar.

"Jika lapar kalian bisa mencari makanan di dapur sederhana itu. Ada buah-buahan, beras dan ikan asin. Ada tungku jika ingin menjerang air. Peralatan memasak juga ada. Tapi aku tak pernah menggunakannya," tutur Eyang Guru.

Nyai Dhira melongo mendengar penjelasan Eyang Guru. Hatinya terus bertanya-tanya, tempat apa ini sebenarnya?

"Terima kasih, Guru. Maksud saya, jika Guru pergi, di mana kami bisa mencarimu?" tanya Nalini. Kepalanya menunduk, ia malu menanyakan hal itu. Tapi entahlah, mendadak ia merasa takut kehilangan sosok sang penolong misterius itu.

Mendengar pertanyaan Nalini, Eyang Guru tertawa. Pertanyaan itu mungkin menggelikan baginya.

"Tak usah mencariku, aku ini bebas, bisa dimana saja. Kamu rawat saja lukamu dan jaga ibumu. Nanti aku akan kembali jika sudah waktunya," terang Eyang Guru. Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

"Baik, Eyang Guru." Nalini dan Nyai Dharmi menghaturkan sembah seraya menunduk. Kharisma lelaki itu begitu kuat, meskipun kalimat-kalimat yang dilontarkannya sederhana, apa yang diucapkannya seolah menjadi titah bagi yang mendengarnya.

Nalini sedikit menengadahkan kepalanya, ia ingin tahu ke arah mana Eyang Guru pergi.

Lelaki itu dilihatnya menuju ke ruang persenjataan. Di satu sudut dinding, tangan kanannya meraba-raba lalu menekan satu titik yang terlihat menonjol. Tiba-tiba dinding seperti terbelah dan bergeser sendiri! Secercah cahaya masuk dari celah yang terbuka itu. Rupanya ada pintu rahasia dan jalan lain dari arah sana. Eyang Guru masuk dan kemudian menghilang di sana. Celah kembali menutup rapat sendiri.

Nyai Dhira dan Nalini saling berpandangan, merasa takjub sekaligus menyimpan penasaran yang tak habis-habis.

"Nduk, menurutmu dia itu siapa?" tanya Nyai Dhira sambil mencolek pinggang anaknya.

Nalini menggelengkan kepalanya. Diapun memiliki pertanyaan yang sama dan butuh jawaban.

"Aku tidak tahu, Mbok. Tapi dia pasti bukan orang sembarangan. Kemarin Eyang Guru berkata, bahkan para pendekar hebat pun tidak ada yang tahu tempat ini," ucap Nalini.

"Betul, Nduk. Apa dia ketua para pendekar itu ya?" Nyai Dhira rupanya memiliki dugaan sendiri. Dilihat dari kemampuan silat dan ilmu tenaga dalamnya yang hebat, Eyang Guru pantas menyandang predikat itu.

"Sepertinya bukan, Mbok. Para pendekar sering pergi berkelompok, sementara Guru bepergian sendiri. Tempat rahasia ini juga dibangun dengan indah dan lengkap, lebih mirip bagian dari sebuah istana, jangan-jangan Eyang Guru ..." Nalini tak meneruskan bicaranya, tenggorokannya tercekat. Ia tak berani menyebut nama yang sangat dihormati oleh semua orang di desanya, bahkan di seluruh wilayah kerajaannya.

"Siapa, Nduk?" Nyai Dhira semakin penasaran. Tatapan netranya mengunci wajah putrinya, berharap mendapat jawaban. Ia tahu putrinya pintar, meski sehari-hari hanya di rumah dan membantunya meracik jamu.

Nalini mendekatkan wajahnya ke telinga ibunya kemudian berbisik, lirih sekali. Ia takut bahkan bisikannya bisa di dengar oleh Eyang Guru yang sudah menghilang entah di mana.

"Sang Raja ... Aku kira Eyang Guru itu maharaja kita, Mbok," bisik Nalini di telinga ibunya dengan hati-hati.

Tubuh Nyai Dhira seketika menegang dan kaku mendengar bisikan putrinya.

"Hah?! Yang benar saja kamu, Nduk? Dari mana kamu tahu?" balas Nyai Dhira seraya memegang bahu putrinya. Tatapan matanya nanar seolah tak percaya.

Nalini mengangkat bahunya lalu memutar-mutar bola matanya. "Aku hanya menduga begitu, Mbok. Orang-orang desa suka cerita, Raja kita senang berkeliling tanpa ketahuan orang-orang kalau dia meninggalkan istanyanya".

Nyai Dhira mendengar penjelasn Nalini dengan seksama. Ia lalu mengucek-ucek matanya. "Bisa jadi apa yang kamu katakan benar, Nduk. Lihat saja dimana kita sekarang. Semua keajaiban dan keindahan ini bisa jadi hanya seorang raja yang bisa menciptakan," ujar Nyai Dhira sambil mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.

"Kalau begitu kita harus sopan santun dan bersikap hati-hati kalau lelaki itu datang lagi," imbuhnya. Ia menggenggam tangan Nalini lalu menariknya berdiri. "Ayo, Nduk. Kita lihat kamar kita."

Nalini berdiri dan mengikuti ibunya. Kakinya masih terpincang-pincang, tapi kini perasaannya jauh lebih baik. Dia merasa nyaman di tempat itu.

Berdua mereka berjalan menyusuri koridor dan memasuki satu ruangan yang tadi ditunjukkan oleh Eyang Guru untuk tempat beristirahat mereka.

Nalini tak sabar memasuki kamar dan meraba barang-barang yang ada di sana. Dia mengusap dipan yang sederhana tapi kokoh, juga tumpukan selimut empuk dan hangat yang tersusun rapi.

"Bagus sekali ya, Mbok. Pasti hangat sekali tidur memakai selimut ini," ujar Nalini seraya tertawa geli. Ia teringat sehari-hari hanya tidur dengan alas tikar dan berselimut kain jarik.

"Iya, Nduk. Kita bisa tidur dengan nyaman di kamar ini, sampai kakimu sembuh," sahut Nyai Dhira. Hatinya gembira melihat putrinya mulai bisa tertawa lagi. Mereka berpelukan bahagia.

Nyai Dhira kemudian membuka buntalan kain yang mereka bawa. Ia berharap menemukan kain ganti yang bisa dikenakan. Baju yang melekat di badan sudah sangat kotor dan basah semua.

"Bersihkan tubuhmu, ganti kain dan aku akan merawat lukamu, Nduk." Perintah Nyai Dhira pada Nalini yang sudah setengah mengantuk. Beberapa kali ia tampak menguap mengucek-ucek matanya.

Nalini hendak membantah, tapi melihat ibunya bersungguh-sungguh, maka gadis itu cepat membasuh tubuhnya di aliran sungai kecil tak jauh dari ruangan mereka.

Air itu terlihat jernih dan terasa dingin saat menyentuh kulitnya. Nalini bahkan mencoba meminumnya. Rasanya sangat segar. Air yang masih alami dan keluar dari sela-sela bebatuan.

"Mbok, sini, Mbok!" Nalini berteriak memanggil Nyai Dhira. Ia berseri-seri menemukan sumber mata air yang bisa mereka pergunakan selama berdiam di tempat itu.

Nyai Dhira yang sedang menata barang bawaannya menghampiri Nalini sambil sedikit mengomel. "Ada apa sih, Nduk? Jangan berisik di tempat ini. Ini bukan di kebun!" sungutnya. Ia ingat kebiasan putrinya yang senang berteriak heboh ketika menemukan rumpun tanaman obat liar di ladang sekitar pondok mereka.

"Sini, Mbok. Coba rasakan air ini," ujar Nalini. Kedua tangannya berulangkali disatukan untuk menyiduk air dan kemudian meminumnya. "Airnya segar sekali, Mbok. Bisa langsung diminum."

Nyai Dhira tertarik dan mengikuti apa yang dilakukan Nalini. Ia mencoba mencicipi air itu sedikit. Wajahnya menunjukkan rasa suka cita dan mengangguk menyetujui apa yang dikatakan Nalini.

"Kamu benar, Nduk. Ini air murni. Air alami. Rupanya sumbernya di sini," ucapnya. Beberapa kali Nyai Dhira meminum air dengan kedua tangannya seperti orang kehausan. Ia baru teringat, mereka sepertinya sudah lama sekali tidak makan dan minum cukup akibat dikejar-kejar orang kampung.

"Satu lagi, Mbok. Air sebagus ini akan membuat ramuan obat kita semakin mujarab," kata Nalini dengan nada riang. Ia teringat pelajaran obat-obatan dari ibunya. Air yang bersih bisa menentukan seberapa manjur obat bekerja menyembuhkan penyakit.

Nyai Dhira kembali mengangguk. Ia lantas teringat dengan dapur sederhana yang ditunjukkan oleh Eyang Guru dan ingin membuat ramuan di sana. "Kamu cepatlah berganti pakaian. Simbok mau memeriksa dapur."

Nalini kemudian cepat menyelesaikan urusannya. Beruntung beberapa kain mereka tidak terlalu basah dan bisa dikenakan. Sementara pakaian yang basah, ia angin-anginkan di atas bebatuan. "Mungkin kita harus membuat jemuran juga di sini, Mbok."

Nyai Dhira tidak segera menyahut. Ia sedang berada dapur dan tersenyum senang melihat apa yang dicarinya tersedia semua di sana. Bahkan batu dan tumpukan kayu kering untuk membuat perapian sudah tertata rapi.

Setelah selesai dengan urusannya, Nalini menghampiri ibunya yang sedang menjerang air. Mereka berdua duduk di depan tungku sembari menghangatkan diri.

Setelah air matang, Nyai Dhira mengambilnya sedikit lalu mencampurkannya dengan tumbukan kunyit. "Sini kakimu, harus segera dikasih obat biar lukanya tidak infeksi," ujar Nyai Dhira.

Nalini menurut dan mengulurkan kaki kirinya. Telapak kakinya tampak terluka cukup dalam. Dengan telaten Nyai Dhira membalurkan ramuan itu di atas luka. Nalini meringis menahan perih.

"Sakit, Nduk?" tanya Nyai Dhira. Mantan tabib itu telaten memeriksa bagian luka, ia berharap tak menemukan serpihan kayu atau tanah yang masuk. "Beruntung tidak ada duri yang tertinggal," ucapnya lega sembari menghela nafas.

"Tidak ada, Mbok. Sudah aku keluarkan sendiri," jawab Nalini dengan senyum bangga. Memang tanpa sepengetahuan ibunya, ia mencoba menangani sendiri lukanya sejak awal agar tidak berdampak parah. "Kalo masih ada kayu menancap, aku tak mungkin bisa berjalan."

Nyai Dhira merengut tapi senang mendengar perkataan putrinya. "Rupanya kau mendengarkan pelajaran pengobatan dariku. Aku kira selama ini kau cuma senang bermain-main saja," ucapnya. Nyai Dhira lalu membebat luka itu dengan potongan kain bersih.

"Sudah selesai, Nduk. Coba dipakai jalan," anjurnya menyuruh Nalini menggerakkan kakinya yang sudah diperban.

Nalini berdiri dan mencoba berjalan perlahan. Mulanya ia masih agak pincang, tapi kemudian mencoba jalan menapak. Rasa nyeri yang dirasakannya mulai berkurang jauh. "Sudah tidak terlalu sakit, Mbok."

Nyai Dhira tersenyum. "Iya, Nduk. Dalam beberapa hari ini pasti lukamu akan mengering dan sembuh," ujarnya.

Nyai Dhira kemudian mengingat dalam hati untuk membuat alas kaki jika nanti mereka melakukan perjalanan jauh. "Kita harus mengenakan sandal, biar tidak tertusuk kayu lagi," ucapnya.

"Iya, tentu saja, Mbok. Kemarin kita dikejar-kejar, mana ingat untuk menggunakan alas kaki," jawab Nalini seraya tertawa. Namun, kesedihan tiba-tiba merayapi hatinya. Ia menyadari posisi mereka saat ini yang tidak lagi memiliki tempat tinggal maupun tujuan. Gadis itu terdiam lama.

"Kamu sedih, Nduk?" tanya Nyai Dhira sambil mengusap kepala anaknya. Perempuan itu merasa sangat bersalah membuat anaknya ikut menderita bersamanya. Semua ini karena penyakit wabah yang tak bisa diatasinya. "Maafkan Simbok ya."

Nalini menggeleng mendengar ucapan ibunya. "Tidak, Mbok. Simbok tidak salah dan tak perlu minta maaf. Semua terjadi akibat fitnah dari orang-orang yang tak terima dengan kematian anggota keluarganya, padahal itu semua karena wabah."

Nyai Dhira memeluk putrinya. Ia merasa terharu hingga dadanya merasa sesak. Nalini yang ditinggal ayahnya sejak kecil, memiliki sifat sangat mirip dengan mendiang suaminya. Dia lah satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya.

"Mbok, aku mau melihat pintu rahasia yang kemarin digunakan Eyang Guru untuk pergi, bagaimana?" ujar Nalini tiba-tiba. Gadis itu memang selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar. Tapi sepertinya tak tepat jika digunakan saat ini.

"Jangan, Nduk. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam pintu itu. Sudahlah kita tunggu saja di sini, sampai Guru kembali." Nyai Dalini berusaha mencegah keinginan putrinya.

Nalini menampakkan wajah kecewa. Ia sungguh ingin tahu apa yang ada di balik pintu itu.

"Tapi aku ingin tahu, Mbok."