Emban Sasi menarik tangan Nalini ke deretan pondok yang ada di ujung, tak jauh dari dapur. Ruangan itu luas tanpa sekat. Beberapa dipan besar terbuat dari kayu dan bilah batang bambu tampak memenuhi ruangan. Tikar pandan menutupi permukaannya. Di sanalah para dayang dan emban tidur.
"Ini, Nduk. Ambillah kain yang cocok untukmu dan ibumu," ucap Emban Sasi seraya membuka peti kayu. Di dalamnya tersimpan tumpukan kain berwarna coklat, hampir seragam.
Nalini mendekat dan mengambil dua kain jarit yang tergeletak di tumpukan paling atas. Kain itu masih berbau soga, tandanya masih baru. Gadis itu lalu mencium aroma khas batik. Malu-malu ia melirik kain tua yang melilit tubuhnya dan berbau apek.
"Kenapa tersenyum sendiri, Nduk?" tanya Emban Sasi heran menatap Nalini. "Apa kau jarang membeli kain baru?"
Nalini mengangguk malu-malu. "Iya, Emban Sasi. Kami berasal dari dusun. Harga kain bagi kami sangat mahal. Belum tentu setahun sekali kami bisa membelinya," terang Nalini jujur.
Emban Sasi manggut-manggut. "Selama tinggal di istana ini, kita para dayang dan emban akan selalu diberi kain yang baru."
"Terima kasih, aku tak pernah menyangka bisa sampai ke tempat ini," ujar Nalini. Matanya yang indah masih menatap pola kain batik yang ada di tangannya. Meskipun sederhana dan kain itu yang diperuntukkan untuk para dayang istana, Nalini menganggapnya sangat indah.
"Pakailah kain itu, Nduk. Ketika menghadap raja atau permaisuri, kita harus berpakaian rapi. Simpan kainmu di tempat itu," tunjuk Emban Sasi pada kotak kayu lain yang ada di bawah dipan.
Nalini mengangguk dan meletakkan barang mereka di sana. "Apakah nanti aku dan ibuku tidur di sini, Emban?" tanya Nalini.
"Betul, Nduk. Kalian bisa tidur di dipan ini. Kebetulan dua emban yang biasa menggunakan tempat ini baru pergi dari Ndalem Kaputren," jelas Emban Sasi. Ia lalu melangkah ke kotak kayu yang lain dan membukanya.
"Ke mari, Nduk. Pilihlah atasan yang cocok untuk kalian. Kain ini untuk menutup bagian atas tubuh kalian."
Nalini mendekati Emban Sasi dan takjub melihat tumpukan kain tipis bermotif indah, seperti brokat yang ditenun. "Apakah kami juga menerima ini, Emban?" tanyanya seraya menutup mulut, nyaris tak percaya. Kain batik biasa saja sudah termasuk barang mewah baginya, sekarang mereka diberi juga selendang warna warni.
Emban Sasi mengangguk. Iya lalu memilihkan selendang warna merah muda untuk Nalini. "Kamu cocok pakai ini, Nduk. Warna ini pantas dikenakan gadis cantik sepertimu," puji Emban Sasi seraya menempelkan kain itu di atas kulit putih Nalini.
"Lihat, serasi sekali bukan?" tanya Emban Sasi sambil tersenyum pada Nalini. Gadis itu hanya bisa mengangguk malu-malu.
"Sebentar, masih ada lagi. Kalian juga harus mengenakan stagen, agar lilitan kain jarit lebih rapi." Emban Sasi mencari-cari stagen di antara tumpukan selendang. "Ini dia, masih ada yang baru. Satu untukmu, satu untuk ibumu," ujarnya.
Nalini menerima gulungan kain yang tebal kaku dan panjang itu. "Bagaimana cara mengenakannya, Emban?" tanya Nalini kebingungan. Ia memang belum pernah mengenakan stagen seperti itu. Barang itu sangat langka dan terbatas hanya dimiliki orang-orang yang tinggal di kotapraja.
"Pakailah kain jaritmu dulu, aku akan membantumu mengenakannya," ujar Emban Sasi berbaik hati.
Nalini patuh menuruti perintah emban yang baik hati itu. Ia segera beranjak ke bilik yang hanya berupa sekat kain untuk berganti kain. Tak lama ia pun keluar dengan langkah kecil karena ketatnya kain yang ia kenakan.
Emban Sasi kemudian melilitkan stagen melingkari perut sepanjang pinggang dan bawah dadanya hingga rapat dan ketat. Lekuk tubuh Nalini jadi terlihat jelas.
"Aku yakin jika para pangeran itu melihatmu, mereka akan berebut mendapatkanmu, Nduk," ucap Emban Sasi seraya tersenyum lagi menatap keelokan tubuh Nalini.
Pipi gadis itu bersemu merah, ia malu terus-terusan dipuji oleh Emban Sasi. "Tidak mungkin, Emban. Aku hanya gadis dusun, tidak cantik dan anggun seperti gadis-gadis yang ada di kotapraja ini," sanggah Nalini merendah.
Emban Sasi menepuk bahu Nalini. "Tapi kamu masih asli, Nduk. coba kamu berdandan dan memoles wajahmu sedikit, kalah semua gadis yang ada di sini."
"Sudah sudah, Emban. Jangan terus-terusan memuji, nanti saya jadi besar kepala," potong Nalini cepat. Ia tak enak dan ingin segera kembali ke dapur. Gadis itu teringat pada ibunya yang masih sibuk menyiapkan jamu.
"Iya, iya. Ini yang terakhir, kamu juga harus menyisir dan menggelung rambutmu dengan rapi. Gunakan ini," perintah Emban Sasi sambil menyodorkan sisir yang terbuat dari tanduk.
Nalini menerimanya dan kemudian mengurai rambutnya yang panjang. Disisirnya perlahan dan kemudian digelung dengan rapi.
Emba Sasi mengulurkan selendang merah muda sambil tersenyum puas melihat penampilan baru Nalini. "Pakai selendang ini untuk menutup bahumu," ucapnya.
Nalini memakai selendang itu dan merapikan posisi di atas bahunya berulangkali. "Begini, Emban? Sudah pas?" tanyanya. Nalini pernah memiliki selendang tapi lebih sering digunakannya untuk menggendong bakul, berbeda dengan selendang hias ini.
"Sudah, Nduk. Nanti setelah makan siang, antarkan jamu buatan ibumu untuk Kanjeng Ratu ya!" perintah Emban Sasi sambil beranjak meninggalkan tempat itu.
"Baik, Emban Sasi. Terima kasih," jawab Nalini sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Ia kemudian mengikuti abdi dalem itu kembali ke dapur.
Nyai Dhira yang masih menumbuk jahe dan temulawak kaget melihat penampilan baru Nalini. Netranya tak berkedip memandang putrinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Ia nyaris tak percaya melihat sosok yang jelita itu adalah anaknya, si gadis dusun.
"Nalini ... itu kamu, Nduk?" gumam Nyai Dhira pada putrinya. Pekerjaan menumbuk akar rimpang itu ia hentikan sementara.
Nalini melangkah pelan-pelan mendekati ibunya. Langkah kakinya jadi sedikit lebih lambat karena kain ketat yang dikenakannya. "Iya, Mbok ... bagaimana? Wagu ya, Mbok?"
"Wagu bagaimana? Ayu gitu lho, Nduk. Sini, sini." Nyai Dhira meminta Nalini agar lebih mendekat padanya. Setelah di depannya, ia membetulkan selendang yang menutupi bahu anaknya.
"Jangan terlalu terbuka, Nduk. Kamu masih gadis," bisik Nyai Dhira di telinga Nalini.
Nalini mau bertanya lagi tapi urung, ia hanya mengangguk. "Tapi, Mbok ... kain ini rasa-rasanya terlalu ketat, aku jadi tidak bebas bergerak."
Nyai Dhira tertawa kecil mendengarnya. "Memang begitu cara berpakaian orang di istana, Nduk. Kita harus menyesuaikan diri juga," ujar wanita setengah baya itu bijak.
"Aku tak bisa jalan cepat apalagi berlari, Mbok," keluh Nalini seraya menyingsingkan kainnya tapi buru-buru dia jatuhkan lagi.
"Sudah, jangan banyak drama. Nanti juga bisa jalan cepat kalau sudah biasa," bujuk Nyai Dhira. Mereka memang biasa mengenakan kain, tapi hanya selutut, tidak diulur sampai ke bawah seperti gaya perempuan di kota praja.
Nalini kemudian bermaksud membantu Mbok Dhira memarut kunyit, tapi buru-buru dicegah. "Sudah, biar Simbok saja yang memarut. Kamu jerang air saja di cemplon itu," tunjuk Nyai Dhira ke belanga kecil di atas perapian.
"Tapi, Mbok? Ah, aku tahu kenapa Simbok tidak mengijinkan aku memarut kunyit," rajuk Nalini. Ia paham dari dulu ibunya sering melarangnya memarut kunyit.
"Nanti jarimu kuning-kuning," balas Nyai Dhira.
"Kalau begitu terus kapan aku bisa meracik jamu sendiri, Mbok?" protes Nalini lagi.
Nyai Dhira menghela nafas. "Nduk, kamu yakin mau meneruskan pekerjaan sulit ini?" tanya Nyai Dhira tiba-tiba.
Nalini mengangguk cepat. "Tentu saja, Mbok. Aku suka membuat obat, merebus jamu, menolong orang sakit. Kalau tidak ada yang mau mengobati orang bagaimana nanti orang-orang yang sakit bisa sembuh?"
Menang, semenjak peristiwa difitnah dan dikejar-kejar warda dusun, Nyai Dhira diam-diam ingin putrinya hidup jadi perempuan biasa saja. Namun, Nalini dari kecil terlanjur menyukai ilmu pengobatan.
Nyai Dhira masih belum bersuara, ia sibuk menyelesaikan bahan-bahan herbal lalu memasukkannya ke dalam belanga khusus obat. Nalini memperhatikannya dengan seksama. Pekerjaan yang mungkin sudah ribuan kali dilihatnya.
"Kenapa Simbok tiba-tiba berpikir aku sebaiknya tidak jadi tabib?" desak Nalini. Ia sedikit heran dengan perubahan sikap ibunya.
"Apa kamu sudah lupa kejadian yang menimpa kita kemarin? Simbok difitnah, rumah kita dibakar, dikejar-kejar bahkan mau dibunuh.... " Nyai Dhira berkata dengan bibir gemetar.
"Iya, Mbok. Aku paham. Resiko pekerjaan kita memang sangat berat, kita berurusan dengan nyawa orang," kata Nalini. Meski begitu tekad dalam hatinya tidak goyah.
"Akan aku buktikan kalau kita tidak bersalah, Mbok."