webnovel

Jack The Ripper

"Kya!"

Teriakan seorang wanita membuayarkan lamunan Rendi beserta rekan kerjanya. Mereka tengah bertugas untuk mencari siapa korban pembunuhan malam ini.

"Kau pergi ke utara, aku akan ke selatan!" pinta Rendi.

Dengan sigap mereka langsung berpencar dan menuju ke sumber suara, teriakan itu tidak hanya satu kali, melainkan berulang kali. Suaranya menggema karena adanya bangunan yang berdempetan. Rendi semakin masuk ke dalam sebuah gang kecil. Ia terus berlari meskipun bahunya terluka karena terkena tembok yang masih berupa semen kasar.

Ia tidak peduli karena targetnya sudah semakin dekat. Teriakannya semakin melengking, bahkan terdengar sangat menyiksa di telinga, hingga tak ada lagi suara, dan yang ada hanyalah bau amis yang sangat menyengat.

Ia pun sampai di ujung gang, dan terdapat pertigaan yang cukup luas. Ia yakin sumber suara berasal dari sini karena baunya semakin menyengat, dan ia bisa mendengar suara aneh seperti pria yang tengah tertawa cekikikan.

Rendi membuka cermin kecil yang ia bawa, dan mengarahkan ke sisi lainnya. Ia meninggikkan cermin itu, hingga terlihat seorang pria berjubah hitam tengah membuka perut wanita yang tadi berteriak. Terlihat jelas meskipun di kaca yang kecil. Rendi yang melihat hal itu langsung menutup kembali kaca itu dan merasa mual.

Jantungnya berdegup kencang, padahal tidak sekali dua kali ia menemui kasus seperti ini. Namun, ia seakan memiliki firasat buruk tentang kejadian ini. Ia menghela nafas panjang, dan segera keluar dari persembunyiannya, menodongkan pistol ke arahnya.

"Ini polisi! Angkat tanganmu!" teriak Rendi kepada pria berjubah hitam itu.

Semilir angin tiba-tiba menghempaskan tubuh Rendi, dan juga jubah pria itu. Pria dengan topi chaplin itu, perlahan berbalik badan ke arah Rendi bahkan menyeringai. Matanya tertutup oleh topi chaplinnya itu hingga tak terlihat jelas wajahnya. Bukannya takut, pria itu justru mendekat ke arah Rendi.

"Ja–jangan mendekat!" pekik Rendi.

Melihat sosok pria yang begitu mengerikan, seketika tangannya pun gemetar hebat. Hingga ia sama sekali tidak bisa memegang pistol dengan benar. Namun, pria itu justru semakin mendekat.

"Kubilang jangan mendekat! Atau kau akan kutembak!" teriak Rendi yang berusaha melangkah mundur perlahan, ia tetap memberanikan dirinya untuk memberikan gertakan meskipun lewat teriakkan.

Namun, ia merasa semua itu hanyalah sia-sia. Pasalnya, pria itu justru semakin mendekati Rendi dan menyeringai dengan bentuk bibir yang mengerikan. Rendi yang melihat hal itu, langsung mengeluarkan keringat dingin. Bulu kuduknya merinding bukan main karena hal itu, dinginnya malam juga membuatnya semakin kacau.

Baru kali ini ia bertemu dengan seorang pria mengerikan di hadapannya , dari semua preman, atau penjahat kelas atas yang tangani, pria berjubah hitam ini adalah pria yang paling membuatnya ketakutan setengah mati.

Nafasnya semakin sesak ketika pria itu tak gentar tuk terus maju mendesak Rendi. Hingga ia berada tepat di hadapan Rendi, tepatnya di ujung pistol yang Rendi bawa. Pria itu justru mengarahkan kepalanya ke ujung pistol.

"Ayolah! Kau hanya tinggal menarik pelatuknya!" batin Rendi.

"Tembak saja...." Suaranya lirih, namun terdengar jelas di telinga Rendi, bersamaan dengan senyumnya yang menyeringai, seakan ia tak takut dengan apapun.

"A–apa yang kau lakukan dengan gadis itu!" Rendi mulai menguatkan jiwanya untuk berbicara padanya meskipun sebentar.

"Aku? Aku membuatnya tenang di alam sana. Kau mau menjadi yang selanjutnya?" tanya pria berjubah hitam itu dan senyumnya semakin melebar.

Bruk!

Lututnya yang sudah lemas itu, kini tak mampu lagi menopang tubuhnya, dan ia pun terjatuh. Namun, pria berjubah hitam itu sama sekali tidak menyerangnya. Untuk melindungi dirinya, ia tetap menodongkan pistol itu ke arah pria misterius itu.

"Siapa kau sebenarnya!" pekik Rendi mengarahkan pistolnya ke arah pundaknya.

Pria berbadan besar itu justru mendekatkan dirinya kepada Rendi, membungkukkan tubuhnya hingga 90 derajat, menyeringai sembari berucap, "Jack The Ripper."

Deg!

Jantung Rendi seakan berhenti berdegup kencang, tidak mungkin pembunuh legendaris itu masih hidup.

"Persetan denganmu!"

DOR!

Satu peluru diluncurkan ke pundak pria itu, namun sayangnya karena tangan Rendi bergetar hebat, ia meleset, dan hanya membuat sayatan kecil di pundak pria itu.

Ekspresi wajahnya berubah, dari yang tadinya menyeringai, kini menjadi tanpa ekspresi sama sekali, sepertinya ia marah.

"Kau tidak asyik sama sekali. Polisi lemah sepertimu mana bisa menembakku dengan benar. Kuda-kudamu saja sudah salah." Ia meledek Rendi hingga membuat Rendi begitu geram mendengarnya.

"Apa maksudmu!" Rendi tak terima dengan apa yang ia ucapkan, membuat suhu tubuhnya naik, dan merasa kekuatan dalam dirinya seakan bangkit. Ia kembali mengokang pistol yang ia bawa, lalu kembali menembak pria itu, namun tidak kena.

"Buang-buang waktu!" Ia justru berdecak kesal dan segera pergi meninggalkan Rendi.

"TUNGGU!" teriak Rendi yang berusaha bangkit dari tanah yang sudah ternoda oleh darah dari wanita itu.

"Ha ha ha, kita akan bertemu lagi di pembunuhan selanjutnya!" teriak pria itu sembari berlari, Rendi segera memaksakan dirinya untuk bangun, menembakkan peluru ke arah pria yang tengah kabur itu, dan jejaknya tak lagi ditemukan ketika ia berbelok ke arah lain.

"Ck! Sial!" Rendi berdecak kesal karena merasa dirinya sama sekali tak berguna dalam misi ini.

Ia melihat tubuh mayat yang perutnya sudah terbuka lebar, dan organ dalamnya sudah diambil. Melihat tubuh wanita itu sekaligus rasa takut yang sedari tadi ia tahan, Rendi langsung muntah, dan merasakan sakit di dadanya.

Saat kondisinya sudah membaik, barulah ia menelpon rekan kerjanya, dan memanggil bala bantuan untuk mengautopsi mayat yang masih tergeletak dengan darah segar di sekelilingnya.

Hari ini, Rendi kehilangan keberaniannya hanya karena satu pria misterius. Tepat dini hari, ia kembali ke markas kepolisian bersama dengan rekannya itu. Tentu saja, ia pasti akan mendapatkan teguran dari atasan karena dianggap tidak bisa menembak target yang sudah ada di depan mata.

Di hadapan kepala polisi dan juga tentara, ia melaporkan kejadian yang tengah ia alami.

"Kau bodoh ya! Kau bukan satu atau dua tahun menjadi seorang detektif! Sudah hampir 10 tahun, dan kau menembaknya saja tidak bisa?" hardik kepala kepolisan kepada Rendi.

"Maaf. Auranya tidak seperti pembunuh biasa, bahkan dia melebihi pembunuh kelas kakap," tandas Rendi dengan membela dirinya.

"Alasan! Ini kesempatan emas untuk membunuhnya, tahu! Sudah 15 tahun tidak ada yang bisa bertemu dengannya, dan saat ada di depan matamu, kau justru tidak membunuhnya! Dasar bodoh!" umpat kepala kepolisian kepada Rendi.

Sekali lagi, ia meminta maaf kepada semua orang yang ada di hadapannya saat itu.

"Namun, ia menyebutkan satu nama yang mencerminkan dirinya sendiri, dan keluar dari mulutnya." Rendi menyela pembicaraan mereka.

"Apa?"

Rendi kembali mengingat kembali hawa dingin dan rasa takut yang saat itu ia rasakan. Bahkan sekujur tubuhnya merinding ketika mengingat nama itu.

"Jack The Ripper."

Kedua orang yang berada di ruangan itu langsung membelalakkan matanya, dan tentu tak percaya dengan apa yang Rendi katakan. Pembunuh berantai di masa lalu dan dikabarkan telah meninggal, tidak mungkin hidup lagi, 'kan?