webnovel

Ancaman Mengerikan

"Apa maksudmu! Jack The Ripper adalah pembunuh berantai ratusan tahun yang lalu! Mana mungkin dia masih hidup!" pekik Roy yang merupakan kepala polisi.

"Aku juga terkejut mendengarnya, bahkan aku tidak bisa melihat, ataupun mengidentifikasi wajahnya! Sungguh ini hal yang sulit." Rendi kembali menjelaskan situasi tak terduga yang saat itu terjadi kepadanya. ia bahkan masih merasa takut sampai saat ini.

"Mungkin dia hanya menyamar saja, karena Jack The Ripper ini sudah ada 200 tahun yang lalu. Apa mungkin dia adalah jelmaan? Hantu? Tidak mungkin, 'kan?" Roy menggelengkan kepalanya dan tak percaya kepada omongan Rendi yang begitu konyol itu.

"Maaf mengecewakan. Namun, aku melihatnya sendiri, dan mensengar ia berbicara. Mungkinkah itu hanya nama samaran? Agar dia ditakuti, karena setahuku, Jack ini adalah pembunuh berantai yang mengerikan di masa 200 tahun yang lalu," jelas Rendi sembari menganalisa apa yang telah terjadi.

"Sudah, sudah. Lebih baik kalian istirahat saja, sudah malam. Terutama kau, Rendi. Aku berharap banyak padamu." Suara pak kepala tentara yang cukup lantang, membuat Rendi hanya bisa mengangguk perlahan.

Situasi seperti ini membuat semua orang di dalam kebingungan. Bahkan semua menjadi runyam ketika mereka tidak menemukan jawabannya. Karena sudah malam, Rendi memutuskan untuk bermalam di kantor polisi. Jujur saja, ia masih trauma sekaligus takut jika bertemu dengan sosok yang mengaku-ngaku sebagai Jack itu.

Ia kembali membuka beberapa file pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang sama, yang mengaku sebagai Jack tersebut.

Semua menjadi semakin misterius, ketika semua wanita diambil organ dalamnya. Namun, anehnya, bekas sayatannya begitu rapi, seakan memang sengaja disayat seperti itu, tiap wanita juga diambil organ dalam tertentu, dan tidak semua sama.

Hingga ia menemukan suatu kejanggalan di latar belakang yang ia baca di buku itu.

"Beberapa berasal dari panti asuhan, sebagai perawat. Lalu, yang lainnya profesinya berbeda-beda," gumam Rendi.

Ia pun sejenak memikirkan kejanggalan tersebut. Memang pembunuhan ini tidak meninggalkan jejak sama sekali, dan selalu memberikan peringatan kepada polisi ketika ia akan beraksi. Seperti kemarin, saat Rendi menemukannya di tempat yang sempit.

"Argh! Masalah ini semakin rumit saja! Mengapa sama sekali tidak menemukan jalan keluarnya sih!" teriak Rendi yang mulai kesal dengan kasus yang ia hadapi saat ini.

Belum lagi, ia masih belum bisa melupakan hawa mengerikan yang saat itu dirasakan. Tak semudah yang ia pikirkan, ternyata semua ini sangat rumit. Sedangkan atasannya meminta untuk ia menangani kasus ini sampai tuntas.

Beberapa menit kemudian, ponsel Rendi berbunyi. Hanya ada nomor tak dikenal, dan ini sudah larut malam, bahkan hampir fajar. Siapa yang menelponnya?

"Hallo?" ucap Rendi.

Sedangkan dari seberang lawan teleponnya, ia taj mendengar suara siapapun, hanya nafas berat yang ia dengar hingga mengganggu di telinga.

"Siapa ini?"

Rendi kembali menanyakan, siapa pria tersebut. Namun, sayangnya, untuk kedua kalinya ia tidak menjawab. Hal ini membuat Rendi semakin kesal, mengingat panggilan itu hanya membuang-buang waktunya yang begitu berharga untuk menyelamatkan orang lain.

"Aku tutup!"

"Kau, pria yang tadi melihatku, bukan?"

Deg!

Jantungnya seakan berhenti berdetak meskipun hanya satu detik, ia langsung tahu dari suaranya. Suara berat yang membuatnya merinding, dan tidak nyaman.

"A–apa maumu?" Rendi berusaha memberanikan dirinya tuk bertanya.

"Jangan temui aku lagi, atau target selanjutnya adalah kekasihmu sendiri," perintah darinya membuat Rendi cukup terkejut. Dari mana dia tahu bawa Rendi memiliki kekasih? Tidak mungkin dia tahu segalanya, 'kan?

"Jangan berani menyentuhnya dengan tangan kotormu itu!" pekik Rendi yang mulai panik mendengar hal itu.

"Itu jika kau meninggalkan kepolisian, dan berhenti menyelidiki identitasku," ancam pria itu dengan suara khasnya yang begitu berat.

"Tidak! Aku akan menyelesaikan ini sampai tuntas, dan akan melindungi kekasihku!" teriak Rendi dengan penuh tekad dan semangat.

Tiba-tiba, ponselnya hening, namun panggilannya masih berlangsung. Hal ini justru semakin membuat Rendi sedikit panik.

"Baiklah, jika itu maumu. Jangan menyesal."

Panggilanpun terhenti, Rendi yang mendengar jawaban seperti itu hanya bisa terkejut, dan kembali mencari nomor tadi, namun tidak bisa tersambung karena dirahasiakan.

"Ck! Sial! Mengapa dia harus tahu tentang Ira yang merupakan kekasihku! Siapa sebenarnya dia, dan apa pula maunya!" Rendi berdecak kesal, karena merasa diancam, kini, posisi kekasihnya sudah tidak aman lagi. Meksipun begitu, ia akan tetap melindungi Ira.

Karena perasaannya tidak tenang sama sekali. Ia pun segera pergi dari kantor polisi, dengan membawa beberapa berkas yang penting untuk ia kerjakan, lalu segera pergi dari kantor.

Sampai di depan, ia bertemu oleh Roy dan pria itu nampal pucat sembari memegang selembar kertas di tangannya.

"Kau mau ke mana?" tanya pria itu.

"Aku harus pergi, ada sesuatu yang harus segera kutangani!" pekik Rendi sembare melewati Roy. Namun, pria itu justru menahan langkah Rendi.

"Aku akan memberikanmu surat ini, akan kufoto setelah ini. Kau harus menanganinya dengan baik!" pekik Roy.

"Surat dari JTR. Ia memberikan petunjuk soal korban selanjutnya." Rendi langsung menyambar surat yang ada di tangan atasannya, lalu segera berlari pergi ke rumah kekasihnya.

Dengan langkahnya yang panjang, ia langsung berlari dengan kencang ke apartemen Ira. Ini tidak bisa dibiarkan, dia juga harus bergerak cepat agar tidak terlambat.

Ia tidak peduli dengan nafasnya yang terengah-engah, ia hanya fokus berlari dan menuju ke apareremen Ira.

Sesampainya di sana, nafasnya sudah terengah-engah dengan keringat yang bercucuran. Detak jantungnya sangat cepat, ia belum bisa mengatur nafasnya karena seluruh badannya terasa sangat keram.

Rendi menelpon Ira, dan memintanya untuk bangun dari tidurnya, hingga bisa membukakan pintu. Sesampainya di lantai 3 di mana Ira tinggal, ketika pintu lift terbuka, terlihat pria baju hitam berada di depan pintu.

Pria dengn nafas yang masih memburu, dan dilanda panik, langsung naik pitam melihatnya. Iangsung berlari dan mengejar pria itu. Namun, Rendi yang sudah kehabisan tenaga, tidak bisa menangkap pria itu, ia justru terjatuh tepat dj depan pintu kamar. Ia sudah tidak kuat lagi, dan membiarkan pria tadi melarikan diri lewat pintu darurat. Ia kembali mengatur nafasnya, dan berusaha untuk bangkit, lalu menekan tombil bel apartemen.

Hingga terlihat seorang wanita kecil, dengan tinggi 155 cm, dan rambut panjangnya, keluar dari dalam apartemen.

"Rendi? Astaga! Kamu kenapa?" kejut wanita itu, dan langsung menghampiri kekasihnya yang sudah terlihat berantakan dengan nafas yang terengah-engah.

"Kau baik-baik saja, bukan?" tanya Rendi yang melihat ke arah kekasihnya itu.

Namun, setelah melihat kekasihnya baik-baik saja, pandangan matanya justru menjadi gelap, dan ia tak bisa melihat, bahkan merasakan apapun.