webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang · LGBT+
レビュー数が足りません
61 Chs

BAB 1 Bagian 12

Nana pun mengangguk setuju. "Aku juga." Namun, mendengar semua kisah itu, jujur… Ginnan jadi bingung harus apa di depan Renji. Dia pikir, dia hanyalah gigolo rendahan. Tak berharga. Orang luar pasti mencaci kalau sudah tahu identitasnya—tapi… Ginnan tak menyangka kini dirinya dianggap seberharga itu oleh seorang Renji Isamu.

"Ren?"

Renji langsung menoleh ketika dipeluk dari belakang. Pria itu tidak jadi memilih-milih pakaian dari lemari, dan dia terpejam kala Ginnan mengecup hidungnya manja.

"Hm?"

Ginnan menampilkan cengiran kecil. "Aku cinta Renji Isamu," katanya, tiba-tiba. Renji pun mengerutkan kening. "Aku sangat cinta, cinta, cinta…! Hahaha…"

Renji baru saja mandi waktu itu. Dia hanya menggunakan handuk yang melilit pinggang, dan mengelus pucuk kepala Ginnan sayang. "Kau ini sebenarnya kenapa."

"Memang aku kenapa?" Ginnan sengaja pura-pura tak tahu. Dia mengulas senyum paling manja dan Renji jelas tidak tahan untuk mengesun keningnya. "Tidak boleh dekat dengan kekasihku?"

"Boleh, tentu saja," Renji kembali berbalik memilih baju. "Tapi aku harus berpakaian dulu." Ginnan nyengir dan meremas bentukan otot-otot di perutnya.

"Kalau aku minta jangan berpakaian bagaimana?"

"Hm?"

Ginnan menyeringai kecil. "Ren, kau mau melakukannya?" Tapi Renji sudah mengecek keningnya—"Eh?"

"Kau belum sungguhan sembuh. Aku tidak mau kondisimu turun lagi. Jangan memaksakan diri."

Ginnan langsung memerah. "A-Aku tidak memaksakan diri. Tapi aku harus mandi dulu sebentar. Mau kan?"

Kali ini Renji berbalik dan meraih pipi-pipi yang disukainya. Pipi itu kini lebih tirus. Ginnan jelas kehilangan bobot tubuhnya selama sakit, padahal pria itu pernah mengharapkan Ginnan semakin gemuk seiring waktu. "Mau sebentar atau lama? Aku bisa memuaskanmu seperti di sofa dulu—tapi tidak kalau kau meminta seks yang sesungguhnya. Kau paham tidak apa yang kupikirkan selama kau sakit?"

Oh, astaga. Renji benar-benar tegas kali ini!

"Ren..."

"Sekali tidak tetap tidak."

Ginnan didorong ke belakang, mundur-mundur, lalu terbanting ke ranjang begitu saja. Dia panik. Mungkin karena sudah tidak bercinta agak lama, rasanya dipeloroti jelas sangat-sangat memalukan.

"Ren, tolong. Aku tidak mau kalau hanya aku—"

Tangan Ginnan dipegangi, diremas, lalu dijadikan satu di depan dada. Renji tidak mengatakan apa-apa, namun Ginnan langsung gelisah saat menatap bola matanya yang kini penuh lika-liku hati. Yang tadinya bersemangat, kini Ginnan sangat sedih. Apalagi saat mulai disentuh tak peduli selembut apapun itu. Ahh... Renji? Sebegitunya dia takut kehilangan Ginnan? Rasanya nyaris tak masuk akal, namun Ginnan benar-benar melihatnya langsung kali ini. Maka meski takut, dia tetap menurut.

"Umn, Ren? B-Bisa kau lepaskan tanganku?" pinta Ginnan pelan. Sejak tadi keringatnya sudah mengucur deras karena dimanja Renji di bawah sana. "Aku janji aku tidak akan bahas yang tadi. Please?"

Renji hanya diam, tetap datar, dan melanjutkan sentuhannya. Kelaki-lakian Ginnan kini sudah keras di tangannya. Hati-hati, dia mengusap dan memijat-mijat bagian itu hingga sang pemilik mulai meneteskan air kental dari ujung.

"Ren?"

Ginnan bahkan baru sadar kemaluannya sangat bersih saat ini. Ugh, bukankah sebelum dia sakit bagian itu mulai tumbuh bulu? Sejak kapan Renji merawatnya sejeli itu? Apa Renji mencukurnya saat dia masih pingsan dan tak mampu bersih-bersih sendiri?

"Sekarang pegangan kemana pun sesukamu."

Tepat saat tangan Ginnan dilepaskan, Renji sudah menunduk di depan kedua kaki terbukanya untuk mulai memuaskan. Pria itu tidak bercanda. Ginnan pikir dia hanya mengancam saat bilang akan menyentuh seperti kala mereka make out di sofa. Tapi nyatanya tidak. Isi pikiran Ginnan kini mulai berkabut karena lidah Renji sungguh lihat membungkus rapi miliknya.

"Ahh....ngh."

Pria itu tak sungkan menghisap kuat, meminta apapun yang ada di dalam untuk keluar, dan Ginnan jelas kelabakan di atas ranjang mereka berdua. Demi Tuhan. Batang tegang Ginnan sungguh tenggelam di mulutnya! Ginnan pun berusaha duduk dan mengelus pipi Renji lembut.

"Ren, pelan-pelan—oh astaga! Aku, tidak buru-buru kok. Sungguh—"

Renji membuatnya terlonjak dan hingga hampir mencekik leher pria itu. Namun, meski amat sangat gila, Ginnan tetap berusaha menahan diri. Ah, Renji baru saja mandi! Jangan sampai dia terkotori lagi, kan?

"Ahhh... Pleassse," pinta Ginnan nyaris menangis. "S-Sudah, Ren. Sungguh... Aku tidak apa-apa..."

Sebelum gelombang ingin keluar itu memuncak, Ginnan pun mendorong Renji sekuat tenaga. Nafasnya tersengal ketika memandang wajah tampan Renji yang sedikit terkejut. Bibir pria itu dihiasi cairan lembut, dan Ginnan segera mengusapnya agar bersih meski jarinya sedikit gemetar. "Aku itu ... bukan sedang bernafsu atau apa," jelasnya. "Tapi, aku ... kangen." Suaranya memelan di akhir. "Tidak boleh ya, aku ingin melakukannya denganmu karena itu?"

Renji hanya diam dan memandangnya.

Ginnan pun segera menutupi ereksinya dengan selimut terdekat. "Dengar, Ren. Kau boleh menganggap aku tidak tahu apa-apa, tapi takkan kubiarkan kau begitu terus padaku," katanya. "Aku sudah sembuh, sumpah. Aku hanya masih lemas karena kebanyakan tidur. Aku janji akan jaga kesehatan lebih lagi habis ini. Oke?"

Renji menatapnya lurus.

"Apa jaminan yang bisa kudapat?"

"Aku..."

Ginnan bingung seketika.

"…"

"Tunggu—j-jaminan apa maksudmu? Kita kan pasangan sekarang. Apa kau tidak percaya padaku?"

"..."

Kini gantian Ginnan yang mengesun kening Renji sayang. Jujur, dadanya sangat berat menerima setiap afeksi yang Renji tunjukkan padanya. Ini sangat berlebihan, serius. Tapi, Renji bukan seseorang yang bisa dia perlakukan semaunya seperti dulu. Persis kata Ryouta, pria itu sudah tidak hidup untuk dirinya sendiri. Ahh... Entah kenapa Ginnan jadi merindukan sosok Renji yang dulu.

Bukankah Renji adalah seseorang yang sangat hebat? Dia tak ingin dibantah dengan cara apapun, dan tidak hidup untuk siapa pun kecuali dirinya sendiri. Keren. sungguh. Meski dulu dia sangat membenci sosok Renji yang itu. Haha, apa ini saatnya Ginnan melakukan jurus andalan?

"Sekarang kau berdiri, jangan begitu," kata Ginnan dengan senyuman. "Aku tidak suka kau menunduk untukku seperti ini. Oke Sayang?"

Bola mata keemasan Renji berkilat sekilas.

"Tapi kau masih tegang di sini."

Ginnan langsung menutupi selimut bagian pangkal pahanya meski tak terlihat sama sekali. "S-Soal ini, biarkan? Aku tidak apa-apa kok. Sedikit sakit, tapi nanti pasti tidur sendiri. Ha ha." Ahh ... Ini gawat. "Atau, mn, aku lebih baik ke kamar mandi. Akan kuselesaikan dengan cepat, aku janji."

Renji memegangi tangannya.

"Ren?"

Renji tidak mau melepaskan dirinya.

"J-Jangan bilang kau—" Ginnan meremas selimutnya kalut. "Baik, kali ini tolong jawab serius. Kau tidak berniat menontonku melakukannya di sini kan?"

"Aku akan menyentuhmu jika diperbolehkan."

"Tapi tidak dengan seks. Bagus. Tidak perlu ulangi lagi," kata Ginnan menahan kesal. "Hanya saja, aku tidak tahan lebih lama, tolong…" matanya penuh linangan air bening hingga Renji menatap jari jemari kecilnya yang tampak kaku di genggamannya.

"Maaf," Ginnan hampir tidak percaya Renji sungguh mengatakan itu dengan tanpa menatap matanya. "Lupakan apa yang baru kukatakan. Aku hanya…"