Ryouta mendadak terkekeh pelan. "Dulu aku pernah sakit parah. Sepertimu, hampir sekarat. Tapi beda sebab tentunya," Ah! Ginnan rasa dia pernah dengar soal itu dari Nana. "Lalu anakku, Renji. Dia yang justru paling stress karena kondisiku waktu itu. Dia cemas sepanjang hari, terserang panik seperti kerasukan entah apa, dan terus menangis di sisiku seolah aku sudah meninggal dunia." Ginnan merasakan tarikan di ulu hatinya.
Senyum Ryouta perlahan mengembang, dan tak pernah terlihat selembut itu hingga sekarang. "Aku tidak tahu kenapa dia berbeda dari anak yang lain. Tapi, memang begitulah Renji kami," katanya. "Sejak saat itu, dia sering pingsan, muntah apapun yang dimakan, sering menyakiti diri sendiri, dan terus memburuk seiring waktu."
Jari-jari Ginnan kini terasa dingin. "J-Jadi…" gumamnya tertahan. "—maaf kalau salah, tapi apa Renji begitu karena memikirkan Ayah?"
Ryouta mengendikkan bahu. "Aku harap tidak, tapi kenyataannya memang begitu," katanya. "Dia adalah tipe yang jika sangat mencintai seseorang, atau apa lah… akan mengabaikan dirinya sendiri."
Di titik ini, Ginnan tidak tahu harus berkomentar apa. Seluruh tubuhnya kaku. Dia ingin senang, tapi tak bisa sepenuhnya. Dia ada di titik autis, namun ingin segera pergi ke Renji dan memeluknya erat.
"Meskipun memang layak disesali, tapi kepergian Renji dari rumah ini juga membuatku senang akan sesuatu," kata Ryouta. Langsung membuat Ginnan mengerutkan keningnya dalam. "Karena, yeah… kondisi kambuh Renji tidak lagi ketergantungan denganku karena dia sempat membenciku. Perasaan kecewa, jauh, dan sakit hati padaku—itu merubahnya jadi sosok yang lebih kuat lagi. Jadi, dia mungkin tak lagi peduli, meskipun aku mati hari ini sekali pun—"
"A-Ayah…" suara Ginnan bergoyang. "Ayah, jangan bilang seperti itu"
"Aku sedang bicara fakta, Nak," kata Ryouta, lalu mendadak menyuap lelehan cokelat rotinya untuk Ginnan. "Tapi, kuharap… setelah mengerti rumus ini, kau tidak akan pernah pergi meninggalkannya sampai kapan pun."
DEG
Ginnan membuang muka tanpa tahu sebabnya. "S-Soal itu…" katanya. Dengan suara memelan. "Aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya kok—"
"—Bagus—"
"Tapi, Ayah—"
"Jika iya, bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi padanya nanti?" sela Ryouta lagi. Tegas, panas, dan penuh atensi kuat. "Seandainya kau mendadak berubah pikiran, menyesal hidup dengan puteraku, dan tak mau peduli lagi dengannya—Renji kami… dia mungkin menjadi seseorang yang rusak seperti dulu."
Ginnan pun berkaca-kaca mendengarnya. "Aku t-tidak mau membayangkannya." Apalagi saat melihat kondisi Renji tiga hari lalu. Tidak. Tidak mau. Demi apapun Ginnan tak ingin sesuatu seperti itu terjadi—
"Benar, sekarang kau sudah tahu konsekuensinya," kata Ryouta. Lalu menepuk-nepuk pucuk kepala Ginnan layaknya memanja bocah. "Jadi, lebih baik perhatikan saja dirimu, Nak. Jangan melukai diri sendiri. Juga jangan biarkan orang lain melukaimu. Karena apapun yang terjadi padamu, semua itu akan berdampak pada puteraku. Mengerti?"
Ginnan sudah tak tahan lagi. Dia pun mengucek matanya yang kini mendadak basah. Di sana, dia mendadak sesenggukan meski rasanya malu sekali, apalagi setelah Ryouta menerangkan kejadian apa yang menimpa Renji selama dia tak sadarkan diri.
.
.
.
Renji tidak menunjukkan gejala bulimia apapun pada seminggu pertama. Dia hanya makin emosional, sering marah, terus menerus merawat Ginnan, dan melupakan jam makannya sendiri hingga muntah darah—
"Nak, Ibu sudah buatkan kare manis kesukaanmu. Tolonglah… makan dulu, oke? Ini sudah lima hari—"
BRAKH!
Renji justru membanting pintu kamar dan menguncinya. Pria itu tak membiarkan siapa pun masuk, bahkan perayaan natal atau tahun baru yang direncanakan saja tak pernah terjadi. Semua hiasan di rumah itu sia-sia. Dan pernyataan Renji soal acara keluarga bertiga hanyalah bohong belaka di masa depan. Setelah itu, gejala kepanikan Renji mulai berlanjut. Dia menemani Ginnan sepanjang hari dengan mengetik novel. Niatnya mungkin bekerja dan membunuh waktu. Namun saat Ginnan mulai merintih sakit terus menerus, Ryouta melihat pria itu membanting Ipad-nya ke lantai dan menginjak-injaknya hingga hancur karena tak bisa berpikir lagi.
Lalu bagaimana dengan karyanya? Jangan khawatir soal karya separuh jadi itu. Sebab Renji tidak hanya membanting, pria itu juga memasukkan sisa serpihannya ke dalam perapian untuk dibakar habis. Dia kalap. Nana yang dia nilai sangat mengganggu Ginnan saja dibentak kasar, lalu diusir keluar dari kamar itu dengan tatapan mata paling mengerikkan sejak dia pulang kembali.
Baik Nana atau Ryouta, mereka tak lagi mengusik Renji. Mereka memilih pergi, menjauh, hanya mengawasi—tahu-tahu malamnya pria itu pulang dengan darah yang penuh di punggung.
"Nak? A-Apa… apa yang sudah terjadi padamu?"
Nana yang menghadang di depan pintu pun didorong jauh.
"Aku hanya ingin tidur," kata Renji. Lalu masuk tanpa melepas sepatu dan menuju ke kamar Ginnan. Darah pun menetes-netes di atas lantai, membuat ruangan itu langsung digelungi aroma karat, keringat, serta parfum sekaligus. "…dimana Ginnan? Apa dia sudah sembuh?" tanyanya, entah kepada siapa, lalu menendang pintu dengan wajah bersih ekspresi.
Dua jam setelahnya, Ryouta pun menenengkan Nana selama orang suruhan membersihkan lantai rumah mereka. Dia mungkin tidak melihat langsung, tapi seratus persen yakin bila Renji baru saja berkelahi di luar sana. Entah dengan siapa, entah karena masalah apa, yang pasti luka itu jelas-jelas dikarenakan sayatan benda tajam setelah dipukul sekeras-kerasnya.
Lukanya dibalut perban Renji sendiri dan baru sungguhan ditangani setelah dokter panggilan mengurus Ginnan di rumah. Pria itu tetap diam. Suram. Dan sulit diajak komunikasi hingga panas Ginnan mulai turun. Makanan yang pertama dia suap setelah hampir dua minggu hanyalah bubur. Itu pun karena Ginnan bersedia melahapnya setelah baru terbangun. Ginnan mungkin tidak tahu, namun selama dia gelisah, Renji juga merasakan luka-lukanya sendiri.
"Ayah, mungkin sebaiknya aku pergi terlebih dahulu," kata Veer, yang sempat pulang ke rumah dan melihat kondisi Renji seperti itu. Fei Long yang duduk di sebelahnya juga ikut angkat bicara. "Iya, Paman. Maaf aku mungkin sedikit lancang, tapi urusan keluarga Veer di New Delhi juga sangat mendesak. Nanti kami pasti ke sini lagi untuk memberitahu kelengkapannya kalau sudah selesai."
Ryouta mungkin baru saja mengelus dada karena dua lelaki di depannya mengaku berganti status, namun beberapa saat kemudian, dia justru mengusir lembut. "Ya, ya… Ayah tahu," katanya. "Sana pergi. Jangan sampai sakit perjalanan di cuaca begini."
Veer pun tersenyum cerah, dan mungkin tak pernah seperti itu selama ini. Sementara di rumah, Renji sendiri terus menikmati rasa sakitnya sendiri. Kondisi kewarasan pria itu ikut memburuk jika demam Ginnan naik. Dan senyumnya terus mengembang gila bila suhu Ginnan makin normal.
Nana tidak pernah melihat Renji yang seperti itu. Tidak sekali pun meski dulu Renji pernah kesakitan kala Ryouta struggle parah dengan kondisinya. "Ayah, kau tidak akan punya pilihan lagi," kata Nana.
Ryouta yang sedang menyiram bunga berdehem pelan. "Aku tahu, aku sudah kalah dari calon menantuku," katanya. "Ginnan hebat. Di sudah merebut puteraku dariku. Haha…" tawanya.
Nana memeluknya dari belakang. "Bukan merebut, Ayah," katanya. Menenangkan. "Dia melengkapi putera kita."
"Yeah, apapun lah…" kata Ryouta. "Aku hanya berharap mereka baik-baik saja mulai sekarang."