Dua manusia dalam kamar tersebut tidak melupakan di mana mereka sekarang, malah dalam aktivitas tersebut mereka sempat berbicara.
"Sudah Mas."
"Bentar Nay, nanggung ini." Arkan ikut bersuara.
"Cepetan. Kalau gerak terus Ica bisa bangun."
Arkan berdecak. "Kamu kalau lagi beginian cerewet juga ya, Nay."
Aktivitas tersebut masih berlangsung tanpa ada niatan dari Arkan untuk mengakhirinya.
"Ah... Mas, cepat!"
"Iya Nay, sabar. Ini untuk kamu juga."
Nayna menggigit bibir bawahnya. "Apanya untukku? Ngeles aja bisanya!.."
Di balik pintu kamar Nayna, bu Wati mematung. Ia mendengar sesuatu yang tidak asing bagi wanita yang pernah menikah.
Mereka ...
"Yah ... Nay." Lagi suara putranya tertangkap rungu bu Wati.
Karena jijik mendengar suara-suara itu, bu Wati mengetuk pintu kamar Nayna.
"Nayna!"
Nayna memukul lengan Arkan yang menopang tubuhnya. "Itu suara ibu, Mas."
"Tanggung Nay." Arkan masih fokus pada keindahan wanita di depannya.
Nayna tidak mendengar bantahan Arkan, ia melepaskan diri dan merapikan pakaiannya. Otomatis Arkan mendesah kecewa.
Ibunya ada-ada saja.
"Buka Nayna!." lagi suara bu Wati terdengar dari balik pintu.
Ketika pintu terbuka Nayna harus menerima tatapan tajam bu Wati dengan wajah pucat. Tatapan yang dulu sempat ia terima, dan membuatnya putus asa dan diabaikan.
"Kamu ngapain di kamar Nayna, Arkan?."
Arkan menggaruk tengkuknya, menatap datar wajah sang ibu yang terlihat kecewa.
"Ngobrol."
Wajah bu Wati terlihat murka, ia tidak pernah mendidik anaknya berbohong. Apa ulah ibu muda tersebut? Ia kembali mengingat bagaimana tetangga menggosipkan Nayna.
Dan lihat, kancing kemeja putranya yang tidak beraturan. Dan keadaan kemeja nyaris kusut dengan banyak lipatan acak.
"Ngobrol sampai ada suara seperti itu?." Kini tatapan bu Wati sudah mengarah pada Nayna, yang berdiri dua langkah di belakang Arkan.
"Ibu kecewa sama kamu, Nay." ucapannya memang bernada kesal, namun tidak keras.
"Jangan salahkan Nayna." Arkan berkata pelan, ia melihat Nayna yang menangis dalam diam.
"Ibu tidak menyalahkan salah satu antara kalian. Yang salah kelakuan kalian. Kalian berzina. Apa kalian tidak takut Tuhan!?."
Arkan memijit kepalanya, terasa pusing bersamaan kalimat ibunya. Dan, Nayna masih menangis.
Nayna maju dan memeluk lutut bu Wati, yang segera ditepis oleh pemiliknya. "Nay minta maaf, Bu."
"Tidak perlu! Sekarang saya tahu siapa kamu sebenarnya. Benar kata orang- orang kampung, kamu bukan wanita baik-baik."
Nayna sesenggukan di lantai, menangisi kejadian demi kejadian dalam hidupnya. Tidakkah ada sedikit rasa manis yang menyapa episode hidupnya. Kenapa harus berteman dengan air mata terus?.
Melihat drama di depannya. Arkan menarik lengan Nayna dan membantunya untuk berdiri.
"Jangan menghakimi Nayna, Bu. Ibu patutnya marah padaku."
Senyum miris bu Wati melukai perasaan Nayna. "Kamu sudah jadi Ibu Nay, kamu pasti menginginkan yang terbaik untuk Ica anakmu nanti. Kamu paham kan?"
Nayna mengangguk dengan tangan sesekali mengusap pipinya yang basah.
"Saya tidak membencimu, tapi saya kecewa. Walaupun saya tidak menyukai Laras, tapi dia bisa membuktikan dia wanita baik-baik."
Arkan tidak ingin mendengar kelanjutan kalimat ibunya dan menyuruh Nayna menutup pintu kamar dan beristirahat. Sementara dirinya menarik bu Wati ke depan, ia tidak mau ibunya marah- marah lagi pada Nayna.
"Ibu pusing, mau tidur!." bu Wati tidak ingin melihat wajah putranya yang sudah berbuat kotor dengan seorang janda.
Apa janda begitu menggoda?
Tapi, Nayna sama sekali tidak seperti penggoda. Pikiran bu Wati sangat lelah memikirkan dua orang itu. Mereka sudah dewasa, pantas melakukan itu. Tapi status mereka yang mengharamkannya. Anaknya yang bahkan masih perjaka harus tergoda dengan janda anak satu. Wajar Arkan tertarik, Nayna masih muda dan cantik. Tapi tetap saja salah.
Ketika pagi menggantikan malam yang telah lewat, Nayna belum juga keluar dari kamarnya. Wanita itu berdiri di depan kaca, melihat siluet-nya yang berjejak maha karya Arkan. Hampir seluruh tubuhnya menyisakan bercak merah.
Seharusnya ia tidak melakukannya, tapi naluri tidak mau mendengarkannya. Instingnya beradu dengan logika mengabaikan kenyataan luka yang siap merebak kembali.
Ketukan pintu kamar diabaikan, ia sudah mengirim pesan pada Arkan. Kalau ia akan keluar saat pulang nanti tanpa harus pusing memikirkan kerabat bu Wati yang tidak melihat kedatangannya.
Ketukan itu kembali mengganggu rungunya. Perlahan ia bangun dan hampir berteriak.
"Sarapan dulu, Ica pasti lapar." bu Wati berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit.
Lingkaran hitam dan mata bengkak, mempertegas kalau Nayna tidak tidur dan dan menangis semalaman.
"Iya Bu." Nayna menunduk, tidak berani melihat wanita di depannya.
Bu Wati meringis dalam hati melihat keadaan Nayna, ia kasihan. Tapi kecewanya lebih besar.
"Ada nasi dan lauk di meja, makanlah."
Nayna mengangguk, dan menutup pintu kamar begitu bu Wati melenggang pergi. Nayna kembali menangis dengan memeluk lututnya dibalik pintu kamar.
Pesan yang masuk ke ponselnya membuatnya .semakin terisak. Seketika ia berpikir apa sudah saatnya ia meninggalkan semuanya?, Semua yang telah memberikan bentuk luka yang telah dipelihara selama dua tahun ini.
08.10
Arkan. Makan Nay.
Dan cukup diam kalau ibu tanya. Biar aku yang menyelesaikan.