"Kamu sudah bohongin aku kan, Mas?" teriakku dengan suara gemetar menahan marah.
Tono yang masih separo mengantuk menatapku bingung. Mungkin seharusnya aku menunggu sampai matahari terbit, baru menanyakan soal ini. Tapi mimpiku semalam bikin aku nggak bisa lagi menahan diri. Jadi kugendong Fitri yang masih terlelap pake selendang, lalu kudatangi kontrakan Mas Tono subuh itu juga.
"A-aku nggak ngerti maksudmu," kata Tono menggeragap. Sorot matanya terlihat cemas.
Kusorongkan foto selfi Tono dan Mas Bagus yang kemarin aku print ke depan wajahnya. Yang berlatar belakang lampu kerlap-kerlip dan gerobak martabak.
"Kamu bilang foto ini diambil malam sebelum Mas Bagus menghilang kan Mas? Dan kamu bilang, kamu pisah sama dia di pengkolan?"
"Iya memang gitu," kata Tono, tapi dia terlihat makin gugup.
"Tapi aku kenal lampu ini. Dan gerobak ini. Lampu kerlap kerlip ini yang di depan toko peralatan olah raga itu kan? Dan gerobak martabak ini, yang mangkal di depannya setelah tokonya tutup. Artinya, kamu nggak pisah sama dia di pengkolan kan Mas? Kamu jalan bareng Mas Bagus melewati jalanan tempat penjual kacang rebus itu jualan. Kalian pulang bareng. Melewati jalan yang sama. Iya kan, Mas?"
Tono diam.
"Jawab, Mas!! Aku mohon jawab!!"
Akhirnya Tono mengangguk.
"Iya," katanya pelan. "Sebenernya kita memang nggak misah. Kita pulang bareng."
"Artinya, kamu tau kemana Mas Bagus menghilang? Dia pergi kemana sebenarnya, Mas? Apa yang terjadi sama dia? Kenapa kamu bohong sama aku? Kenapa kamu sembunyikan semua ini dari aku?" Aku merasa seperti senapan yang membombardir Tono dengan peluru pertanyaan. Tapi aku nggak peduli.
"Karena.. aku nggak tega, Nah."
Aku tercekat mendengar kata-kata Tono. Dan tatapan Tono yang sedih membuat jantungku seakan merosot ke perut.
Apa yang bikin Tono gak tega mengatakan hal yang sebenarnya padaku? Apa terjadi sesuatu yang buruk pada Mas Bagus? Apa jangan-jangan dia sudah…
Bayangan wajah pucat Mas Bagus dalam mimpiku semalam melintas, dan sekuat tenaga aku berusaha menyingkirkannya.
Nyaris setahun aku melarang pikiranku untuk membayangkan hal buruk. Nyaris setahun, setiap kali galau menyerang, aku mendoktrin diriku, mengatakan bahwa Mas Bagus cuma hilang. Bukan celaka. Apalagi meninggal. Apa ternyata, kenyataannya memang berbeda?
Kakiku goyah. Tapi kupaksakan kuat. Seburuk apapun itu, aku harus siap mendengar semuanya.
"Ceritain sama aku, Mas. Aku mau tau semuanya."
"Aku nggak bisa, Nah. Kamu pulang aja."
"Mas! Aku istrinya Mas Bagus!! Aku berhak tau semuanya!!
"Buat apa? Kamu tau juga nggak bakal mengubah apapun!!"
Tono mau menutup pintu. Tapi dengan cepat kutahan.
"Aku nggak akan pergi sebelum kamu cerita semuanya, Mas!!"
"Kamu jangan ngotot!!"
"Kamu yang jangan ngotot, Mas!! Kamu cuma temannya Mas Bagus!!! Kamu nggak punya hak apapun buat sembunyikan semua ini dari aku!!"
"Aku bukan cuma teman Bagus, Nah. Aku juga temanmu. Itu alasanku menyembunyikan semua ini. Karena aku nggak mau melihat kamu hancur!!!"
"Aku memang cuma perempuan lemah. Tapi kamu jangan berani-berani meremehkan aku, Mas!!! Kalo aku selemah itu, mana mungkin aku bisa berdiri di depan kamu sekarang? Kamu pikir hidupku selama ini gampang, Mas, menjadi seorang ibu tunggal yang harus menafkahi diriku sendiri beserta anakku yang masih bayi?"
"Justru karena nggak gampang, makanya nggak perlu kamu tambahi dengan kesusahan yang lain lagi. Kamu pulang aja dan lupakan soal Bagus."
"Apa semua ini ada hubungannya sama kamu, Mas??!! Apa mas Bagus seperti ini gara-gara kamu?! makanya kamu berusaha menutupi kejadian ini dariku??"
Tono menatapku tak percaya.
"Kamu nuduh aku, Nah?"
"Karena sikapmu mencurigakan!! Denger, Mas!! kalo kamu nggak jujur sama aku, aku akan laporin semua ini ke polisi!! Dan aku akan pastikan kamu diperiksa. Dan karena kamu adalah orang terahir yang bersama dengan Mas Bagus, kamu bisa kena masalah besar, Mas!!!"
"Tega kamu berbuat seperti ini sama aku, Nah!!"
"Kamu yang udah tega duluan sama aku!!"
"OKE!! OKE!! KAMU MAU TAU SEMUANYA?!!" Nada suara Tono kini meninggi karena emosi. "AKAN AKU KASIH TAU!!! BAGUS… BAGUS sudah.."
Suara Tono seperti tercekat. Tapi lalu dia memaksakan diri berbicara.
"Dia sudah mati."
Aku seperti disambar petir. Tubuhku mati rasa.
"C-ceritakan semuanya…"
Tono menarik nafas.
"Dia ketabrak mobil waktu nyeberang. Sempat dibawa ke rumah sakit. Tapi terus meninggal disana."
Aku yang tidak kuat lagi menahan beban tubuhku sendiri, merosot lalu menangis tersedu sedu. Sementara Tono terus berdiri mematung, hanya menatapku dengan serba salah.