webnovel

BAB 7 – PINGSAN

"Pak Aiden? Ada perlu apa datang ke sini? Rumah papa bukan di sini, Pak." Takut, khawatir dan cemas, bercampur menjadi satu. Terlebih tatapan mata laki-laki tersebut seolah tengah mengawasi sekitar dan juga tubuh Amira, perempuan itu nampak kebingungan dengan hal apa yang harus dia lakukan. Dirinya dan Aiden belum cukup lama saling mengenal, bahkan hanya mengetahui sebatas namas saja. Belum sampai terlalu dalam, jelas ada rasa ketakutan tersendiri dalam diri Amira. Takut Aiden ada niat buruk padanya, sebab sudah mendapatkan lampu hijau dari kedua orang tua.

"Saya? Saya mencari kamu, Mira, bukan ayah kamu. Boleh saya masuk? Ada suatu hal yang ingin saya bicarakan dengan kamu…, privat." Amira menghembuskan napasnya perlahan, akhirnya menganggukan kepala perlahan. Meski sempat ragu, tapi tak ada pilihan lain selain mengiyakan. Dia juga tak kuat berjalan terlalu lama untuk mencari kedai kopi di bawah. Dan juga si Salma tengah perjalanan ke tempat dia, jadi ada kemungkinan mendapatkan teman nantinya. "Silakan masuk, Pak Aiden."

Pandangan Aiden menyapu ke seluruh ruangan di sana, hingga jatuh pada sofa yang cukup berantakan. Banyak sekali bungkus makanan yang berserakan, sepertinya memang Amira tak memiliki waktu yang longgar untuk merapikan ruangannya. Tak begitu masalah, dia masih melihat beberapa hal lainnya. Seperti kumpulan foto masa kecil Amira sampai pada piala yang berjejer, cukup menarik untuk dia gali lebih dalam lagi. Amira melebarkan matanya, dia tak menyangka jika sofa yang menjadi tempat keluh kesahnya sangat berantakan sekali. Bekas makanannya berceceran dimana-mana, sungguh kesan pertama yang cukup tidak bisa dikenang.

"Maaf, Pak Aiden, saya kurang enak badan akhir-akhir ini jadi semua berantakan seperti ini. Silakan duduk, Pak. Mau minum apa?" tanya Amira. Dia mencoba memasang ekspresi terbaik yang dia miliki, meski suasana hatinya kurang begitu berkenan dengan hadirnya Aiden di sana. Aiden menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah, Ami. Saya hanya ingin berkunjung biasa dan juga ingin membicarakan beberapa hal dengan kamu. Ada waktu sebentar, kan?"

"Ada masalah apa ya, Pak Aiden? Hal apa yang ingin dibicarakan dengan saya? Semua masalah pekerjaan harusnya bersama papa, bukan saya." Amira semakin mengerutkan dahinya, dia menahan gejolak dalam perutnya karena mencium parfum Aiden. Bau parfum milik Aiden terlalu menyengat di hidungnya, ingin menjauh tapi takut dikatakan tidak sopan dengan tamu. Tapi, bila lama kelamaan jelas dirinya tak akan kuat menahannya. Berkali-kali dia membuang napas dan terus mencoba menetralkan penciumannya dengan mengingat bau-bau yang dia sukai. Akhir-akhir ini dia cukup begitu sensitif sekali dengan hal apa pun, mulai dari bau makanan, ruangan dan juga orang di sekitarnya.

Aiden menatap lurus pada perempuan tersebut, dia mengamati wajah pucat dan juga baju yang sedikit lusuh milik Amira. Berbeda sekali dengan terakhir kali bertemu di restoran, tapi masih cantik di penglihatannya. Dan dirinya juga ingin memastikan dengan hak tinggi warna merah yang pernah dikenakan Amira. Rasa penasaran yang membawanya sampai berada di apartemen Amira, dia nekat pergi ke sana karena alasan hak tinggi warna merah tersebut. Tapi, masih terlalu ragu untuk menanyakan sekarang. Padahal seharusnya segera saja. Jangan terlalu mengulur waktu, pasti Amira penuh tanda tanya melihat kedatangannya ke apartemen seperti ini dengan hubungan perkenalan yang belum begitu akrab.

"Hm…," lanjutnya, "Ami, saya ingin bertanya tentang hak tinggi warna merah milikmu. Apa itu selalu kamu pakai kemana pun pergi?" Amira mengerutan dahinya, dia merasa aneh dengan pertanyaan yang dilontarkan Aiden padanya. Untuk apa menanyakan hal yang tidak penting seperti ini? Padahal Amira sudah deg-degan dengan masalah yang katanya ingin dibicarakan tersebut. "Iya…, sepatu itu yang selalu saya pakai kemana pun pergi. Untuk acara semi formal atau pun santai. Ada apa ya memangnya, Pak Aiden?"

"Ami… masih ingat dengan saya tidak? Laki-laki ceroboh yang tengah mengambil… mahkota Amira." Sempat tersendat, tapi tak menyurutkan niatnya untuk bertanya hal yang telah mengganjal hatinya selama ini. Wajah Amira berubah merah padam, dia paham dengan maksud laki-laki di hadapannya tersebut. Berkali-kali mengontrol napasnya agar tetap tenang dan nyaman. "Saya ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah saya perbuat kepada kamu, Amira. Cepat atau lambat… saya akan menikahi kamu. Apa yang sudah saya rusak, akan saya pertanggung jawabkan."

"Maksud anda apa, Tuan Prakoso? Mengapa anda mencari saya? Saya tidak butuh pertanggung jawaban dari anda, untuk apa anda ingin bertanggung jawab sedangkan saya tidak mengandung anak anda? Apa yang membuat anda ingin menikahi saya? Tidak ada anak di dalam rahim saya. Percuma anda menikahi saya, Tuan Prakoso. Saya rasa anda memiliki perempuan ideal yang akan anda nikahi, jangan karena anda sudah merenggut mahkota saya lalu merasa tidak enak hati dan malah ingin menikahi saya." Amira menghembuskan napasnya perlahan, kepalanya semakin terasa pusing. Bau parfum dan emosi yang tiba-tiba meninggi, membuat kepalanya langsung terserang pusing. Sebisa mungkin dia menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak pingsan di hadapan Aiden.

"Amira, saya tidak memandang kamu hamil atau tidak. Tapi, saya ingin bertanggung atas hal yang sudah saya perbuat. Perihal cinta atau pun sayang itu bisa kita bangun seiring berjalannya waktu, itu adalah hal mudah. Cinta datang karena terbiasa. Saya tidak mau terbayangi rasa bersalah pada kamu, Ami. Kalau bisa… segera saja kita menikah. Saya akan bicara dengan Om Heru secepatnya untuk mengurus tanggal pernikahan kita, Ami. Demi apa pun saya bersungguh-sungguh dengan kamu, Ami." Aiden menatap Amira begitu lamat, dia bahkan sampai tidak berkedip memandang perempuan tersebut. Laki-laki itu bahkan sedikit menggeser tubuhnya untuk bisa lebih dekat dengan Amira.

Amira mulai membungkam mulutnya, dia tak bisa menahan rasa mual yang terus menyerangnya. "Jangan mendekat, Pak Aiden. Saya… tidak kuat mencium aroma parfum anda. Jadi mual, Pak."

Aiden membulatkan matanya, dia malah panik sendiri. "Kita ke dokter saja ya, Ami? Kamu sepertinya memang kurang enak badan, wajahmu pucat sekali. Ayo kita ke dokter, saya akan antar kamu."

Perempuan tersebut menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, Pak Aiden. Saya memang beberapa hari terakhir sangat sensitif dengan bau apa pun. Sudah biasa, Pak."

Tapi, ternyata Amira salah. Semakin dia tahan, malah semakin kepalanya pusing. Tubuhnya limbung, membuat Aiden kalang kabut. Dia langsung membobong tubuh Amira menuju rumah sakit terdekat. Panik dan takut terjadi sesuatu hal pada Amira. Wajahnya semakin memucat.

"Kamu kenapa, Amira? Semoga tidak terjadi suatu hal yang buruk dengan kamu." Aiden menunggu lift tersebut segera sampai di lantai pertama, tapi seperti lama sekali. Takut kondisi Amira semakin begitu mengkhawatirkan.