webnovel

BAB 8 – POSITIF

"Selamat ya, Pak Aiden, istri bapak positif hamil. Perkiraan usia kandungan tiga minggu. Kondisi ibu membutuhkan istirahat yang cukup ya, Pak, asupan nutrisinya juga harus terjaga dengan baik ya. Setiap pagi harus minum susu ibu hamil, bebas mau rasa apa atau pun merek apa. Intinya yang disukai istri bapak saat ini, kadang sebelumnya suka cokelat pas hamil jadi benci sekali dengan apa pun yang berbau cokelat. Pak Aiden juga harus mengerti kondisi mood ibu hamil yang kadang naik turun. Sebisa mungkin Pak Aiden memehami apa pun kemauan Bu Aiden. Kemauan apa pun selagi masih dalam hal positif dan tidak membahayakan, turuti saja, Pak. Buat suasana hati sang ibu merasa bahagia terus, jadi tidak berpengaruh pada perkembangan janin."

"Kalau kondisi sang ibu stres terus banyak beban pikirannya, akan berdampak pada kesehatan dan perkembangan janin. Usahakan apa pun masalahnya jangan membuat ibu hamil terus kepikiran, beritahu boleh tapi pelan-pelan, Pak. Jangan membuat khawatir. Kalau ibu hamil ada masalah, cari jalan keluar bersama. Tanya secara perlahan ya, Pak. Vitamin dan asupan lainnya juga harus diperhatikan ya, Pak. Meski yang hamil Bu Aiden, tapi bapak sebagai suami harus selalu memantau. Karena ini adalah jabang bayi kalian berdua," tuntas Dokter Dewi. Tubuh Aiden terasa kaku, ia bingung harus memasang ekspresi wajah seperti apa. Ini adalah berita gembira yang seharusnya membuat dia bahagia, tapi di sisi lain dia sadar jika ini juga awal dari sebuah bencana.

"Bu Aiden sebentar lagi siuman ya, Pak. Tolong dijaga ibu dan janinnya, nanti resep obat akan saya tuliskan. Sekali lagi selamat ya, Pak." Aiden menerima jabatan tangan dari Dokter Dewi dengan senyuman kakunya. Dia melangkah keluar dari ruangan tersebut setelah mendapatkan lembar tulisan resep obat yang dia perlukan untuk Amira. Jantung Aiden berdetak lebih kencang dari biasanya, dia takut bila Amira marah dengannya. Tapi, dibalik itu semua hatinya malah semakin mantab untuk bertanggung jawab atas semua perbuatan yang telah dia lakukan pada Amira. Meski Amira jelas akan menolak mentah-mentah semua rencananya tersebut, tapi dia akan terus berjuang untuk sang buah hati.

Aiden duduk di samping ranjang tidur Amira, dia menatap wajah perempuan tersebut yang masih terlelap begitu damai dan tenang. Tak ada wajah Amira yang nampak menyimpan amarah seperti di apartemen, tangannya terulur mengelus pipi ranum perempuan tersebut. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, ada perasaan yang menghangat kala menatap wajah damai Amira. Terlebih sebuah fakta bila di dalam rahim Amira ada anaknya yang tengah tumbuh dan berkembang. Bagaimana tidak bahagia? Perempuan yang tak sengaja dia sentuh malam itu, kini ternyata mengandung buah hatinya. Amira, anak perempuan dari salah satu rekan kerja ayahnya. Meski ini akan sedikit sulit, tapi tetap dia usahakan sampai mana pun. Hak akan tersebut akan tetap jatuh padanya, tak bisa lepas dari dia. Meski jelas menimbulkan pro dan kontra, tapi dia tidak akan mempengaruhi keputusan Aiden untuk tetap maju menikahi Amira. Semua tidak akan merubah keputusannya, apa yang sudah dia perbuat tetap akan dipertanggung jawabkan.

"Semoga saja kamu nggak marah ke saya ya, Mi. Karena ini adalah perbuatan yang tidak sengaja saya lakukan ke kamu, maka saya siap bertanggung jawab. Saya sudah merusak masa depan kamu, Mi. Jangan pernah menyalahkan baby, tapi salahkan saya." Aiden menghela napas panjang, dia menggenggam tangan Amira dengan lembut. Mencium punggung tangan perempuan tersebut dengan begitu sayang. "Apa pun resikonya, saya akan tetap bertanggung jawab. Karena bagi saya… meminta mahkota perempuan hanya pada istri saya bukan pada orang asing. Meski saya terlebih dahulu mengambilnya, maka saya akan menjadikan kamu satu-satunya sampai nanti. Kamu yang akan menjadi pendamping hidup saya sampai nanti, Mi. Kamu adalah milik saya seutuhnya, begitu pula dengan sebaliknya. Saya yakin jika kamu adalah orang baik yang terlahir dari lingkungan begitu baik."

"Kamu pergi ke tempat itu karena tidak sengaja dan malah bertemu dengan saya, Mi. Si bajingan ini malah mengambil apa yang seharusnya belum menjadi milik saya. Maaf ya, Mi, waktu itu saya berada di bawah pengaruh minuman alcohol dan obat. Maaf, Mi, karena saya kamu harus terkena getahnya. Padahal ini murni kesalahan saya." Aiden kembali mencium punggung tangan Amira, dia memejamkan matanya saat menempelkan telapak tangan Amira ke pipinya. Air matanya tak sadar ikut menetes. Sebesar itu rasa bersalah yang bersarang di dalam dadanya, ada perasaan takut dan kecewa yang timbul.

Pandangan matanya beralih pada perut Amira yang masih datar, bibirnya berkedut membentuk senyuman manis. Di sana ada buah hatinya yang sekitar delapan bulan lebih sedikit akan melihat betapa indahnya alam semesta ini. Hatinya ikut menghangat sendiri, tak terasa ia akan menyandang gelar seorang papa muda. Mana mungkin dia akan menyia-nyiakan kesempatan seperti ini, dia setengah berdiri lalu mencium perut Amira lembut. Tangannya pun ikut mengelus permukaan perut yang masih datar itu. Hatinya terasa damai. Tapi ada perasaan takut bila Amira terbangun nanti, dia tak bisa sedekat ini dengan baby. Pasti Amira tak mau dia pegang, apalagi sampai mengelus perutnya. Jelas Amira tak akan memperbolehkan dirinya mendekat barang satu senti saja. Perempuan itu jelas akan mempersulit dirinya untuk dekat dengan buah hatinya sendiri.

Dia kembali ke kursinya setelah melihat pergerakan jari Amira, takut perempuan itu mengira jika dirinya tengah berbuat macam-macam. Aiden harap cemas menunggu Amira membuka matanya, hal pertama apa yang harus dia ucapkan ke perempuan tersebut. Pasti akan canggung sekali. Berusaha untuk akrab dengan perempuan tersebut, ini juga demi anaknya. Tak mau bila Amira sampai berbuat macam-macam dengan sanga buah hati, bisa saja Amira melakukan hal apa pun karena ingin membuang bayi tersebut. Semoga saja tidak demikian, Aiden tidak ingin kehilangan anak tersebut apa pun alasannya. Bahkan demi anak itu dia rela melakukan apa saja asal masih positif.

Mata indah itu terbuka, dia mengerjabkan beberapa kali agar pandangannya tidak kabur. Dia menoleh ke arah Aiden, laki-laki tersebut memasang senyuman paling menawan yang ia punya. Sebisa mungkin tetap menunjukkan sisi yang paling terbaik. "Haus?" Amira hanya diam sambil memijat pangkal hidungnya, sepertinya merasa pusing.

"Kamu butuh apa, Mira? Mau minum atau mau makan?" tanya Aiden. Dia takut bila Amira tak berani jujur pada dirinya, maklum saja perempuan tersebut seperti anti dengan dirinya.

Amira menoleh lalu menggelengkan kepalanya, dia menatap Aiden penuh arti. Bahkan tatapannya jatuh pada dada dan bahu bidang milik laki-laki tersebut. Aiden mengerutkan dahinya, nampak ada yang aneh dari perempuan ini. "Ada apa? Kamu pengen apa, Mira? Jujur aja pengen apa, nanti saya carikan."

Amira menggigit bibir bawahnya, dia ragu untuk menjawab. Tapi, keinginannya tersbeut sudah tidak bisa ditahan lagi. Menurunkan ego dan gengsinya demi tercapai keinginannya. "Saya tidak mau apa-apa, Pak. Tapi boleh nggak… Pak Aiden peluk saya?"

Aiden mengerjabkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangguk menyetujui. Sebenarnya dia ragu dengan keinginan Amira, terasa begitu aneh. Tapi akan tetap dia berikan dengan sebaik mungkin. Pasti bawaan baby, pikirnya.