Makan siang kali ini begitu dingin dan kaku, baik Elvano atau Alekta tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Mereka hanya menyantap makanan yang ada di hadapannya.
Sedangkan Arda hanya menjadi penonton bagi kedua pasangan suami istri yang sedang perang dingin ini. Dia memikirkan beberapa cara untuk membuat mereka berdua bisa bersikap seperti layaknya pasangan suami dan istri.
Namun, dia menghempaskan semuanya karena semua cara yang terpikir olehnya tidak akan berhasil terhadap tuannya. Ditambah lagi dengan sikap sang nona juga tidak akan mungkin berhasil.
Arda melihat mereka berdua selesai menyantap makan siangnya, dia pun menghubungi bagian hotel untuk merelakan semuanya. Tidak berapa lama beberapa pelayan mengetuk pintu.
Dia membukakan pintu kamar lalu menyuruh mereka untuk segera merapikan semuanya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk merapikan semuanya. Mereka pun pamit undur diri setelah semuanya rapi dan bersih.
"Tuan, apakah ada yang diperlukan lagi?" tanya Arda pada Elvano.
"Pergilah. Kau belum makan siang, 'kan!" perintah Elvano pada Arda.
Arda mengangguk lalu dia pamit undur diri, dia berjalan keluar dan menutup pintu kamar dengan rapat. Dia menjelaskan napasnya, terpikir dalam benaknya untuk menuju restoran yang ada di depan hotel. Dia pun berjalan ke restoran tersebut.
***
Alekta duduk di atas tempat tidur, dia merasa bosan berada di dalam kamar hotel terus. Dia pun masih kesal dengan Elvano yang membawanya pergi dari taman itu dengan paksa tanpa meminta persetujuan darinya.
"Kau belum menjabat pertanyaanku sedari tadi, mengapa kau menarikku dan membawaku kembali ke hotel?!" tanya Alekta dengan nada kesal.
Elvano menatap Alekta sekilas lalu kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia tidak ingin membicarakan hal itu saat ini karena semua pekerjaannya harus selesai dengan cepat. Agar dia bisa mencari orang itu.
Alekta beranjak lalu berjalan menuju Elvano, dia menatap pria itu dengan tajam. Dia ingin melihat sejauh mana pria itu bisa diam membisu jika dirinya terus menatapnya.
Dia duduk tepat di depan Elvano, tanpa banyak bicara hanya memandanginya terus. Alekta ingin tahu apakah pria itu bisa terganggu olehnya atau tidak.
Elvano tidak terpengaruh dengan apa yang dilakukan oleh Alekta. Dia masih terus saja fokus dengan dokumen yang ada di tangannya.
"Bisakah kau serius menanggapi aku?!" Alekta bertanya sembari mengambil dokumen yang ada di tangan Elvano.
"Kau ingin aku seperti apa?" Elvano balik bertanya.
"Bersikaplah seperti biasa. Aku ini sedang bicara denganmu, apa kau menganggap aku ada?" timpal Alekta.
"Apa kau menganggap aku ada? Apa di hatimu itu ada aku? Apa kau ...,"
Elvano menghentikan kalimatnya, dia mengambil kembali dokumen yang ada di tangan Alekta. Ini bukan waktunya untuk berdebat dengan wanita yang ada di hadapannya itu.
Alekta terdiam karena mendengar balasan dari Elvano yang membuatnya merasa jika pernikahan mereka berdua tidaklah mungkin berhasil. Karena salah hatinya masih ada pria lain yaitu Caesar.
Entah mengapa dia sangat mencintai pria yang sudah mengkhianatinya itu. Meski dia sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tetap saja Alekta tidak bisa lepas dari rasa cinta itu.
Dia menatap kembali Elvano, dia mengingat apa yang pernah dikatakan olehnya saat malam pertama pernikahan mereka. Perkataannya itu membuat dirinya tidak bisa mengerti tentang hati Elvano.
Alekta pun beranjak dan pergi meninggalkan Elvano yang masih sibuk dengan semua dokumennya. Dia sudah malas melihat Elvano yang tidak bisa diajak bicara baik-baik.
Meski dirinya benar-benar merasa bosan berada di kamar hotel dan melihat pria yang selalu bekerja setiap saat. Ponsel Alekta berdering, dia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.
Diangkatnya telepon tersebut karena yang menghubunginya adalah Casandra. Mereka berdua pun mengobrol panjang lebar dan tanpa di sadari membuat Alekta tertidur. Namun, Casandra masih saja mengoceh karena tidak tahu sahabatnya itu tertidur.
Elvano berjalan mendekat dan mengambil ponsel Alekta. Dia melihat nomor yang tertera adalah nomor Casandra, dia pun mendengar semua ocehan adiknya itu.
"Alekta, sudah tidur ... aku akhiri saja percakapan kalian," ujar Elvano lalu memutuskan sambungan teleponnya.
Setelah mematikan sambungan telepon, Elvano menyimpan ponsel Alekta di atas nakas. Dia melihat wajah wanita yang sudah menjadi istrinya itu begitu cantik jika sedang tertidur pulas.
"Kau cantik. Andai saja tidak cerewet dan rasa ingin tahuku begitu besar," ujar Elvano sembari berjalan menuju sofa dan kembali bekerja.
Beberapa saat kemudian ponsel Elvano berdering, dia mengangkat teleponnya. Setelah itu dia mengambil jasnya lalu berjalan keluar kamar hotel.
Sebelum menutup pintunya dia melihat ke arah Alekta yang masih tertidur. Dalam benaknya berkata mungkin tidak akan terjadi sesuatu padanya.
Ditutupnya pintu kamar, dia berjalan menuju sebuah klub. Di mana dirinya mendapatkan undangan dari seorang. Di lobi sudah menunggu Arda, dia pun akan ikut bersama Elvano.
"Tuan, apakah Anda yakin akan menemuinya?" tanya Arda pada Elvano.
"Aku harus menemuinya. Ini adalah hari terakhir aku akan menemuinya," jawab Elvano pada Arda.
Arda mengangguk lalu dia berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan olehnya. Meski di dalam hatinya merasa tidak tenang karena sang tuan akan bertemu dengan orang itu.
Seorang sopir membukakan pintu mobil, Elvano pun memasuki mobil diikuti oleh Arda. Mobil melesat meninggalkan hotel menuju sebuah klub.
Dalam perjalanan menuju klub, ponsel Elvano kembali berdering. Dia mengangkatnya lalu terdengar suara seseorang yang memintanya untuk segera tiba di klub yang sudah diberitahukan olehnya.
Elvano sedikit kesal dengan orang itu yang terlihat tidak sabar. Tanpa berkata-kata dia memutuskan sambungan teleponnya.
Tidak begitu lama mobil berhenti di sebuah klub, Elvano keluar dari mobil diikuti oleh Arda. Saat memasuki klub, Arda berada di depan Elvano. Dia mencari orang yang sedari tadi ingin bertemu dengan sang tuan.
Dia melihat seseorang yang melambaikan tangannya, Arda memberitahukan pada Elvano tentang posisi orang yang ingin bertemu dengannya itu. Elvano melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Arda.
Elvano berjalan mendekat pada orang yang sedari tadi menghubunginya. Jika dilihat dengan saksama tidak terjadi hal buruk pada orang itu.
"Untuk apa kau memintaku ke sini?" tanya Elvano tanpa basa-basi dan nada yang dingin.
"Aku merindukanmu ... mengapa kau bersikap dingin padaku?" orang itu menjawab sembari melayangkan pertanyaan juga.
"Aku sudah muak denganmu! Aku tidak mengira kau sekotor itu. Aku pikir kau adalah orang yang baik ... ternyata kau sudah gila dan aku tidak ingin ada hubungan lagi dengan orang gila seperti dirimu!" jelas Elvano.
"Iya. Aku sudah gila karena mencintaimu! Aku melakukan semua ini karena takut kehilangan dirimu. Aku membohongi diriku agar kau tidak menjauh dariku," timpal orang itu dengan nada sedih.
"Sudah cukup Sandy! Aku sudah muak denganmu!" tukas Elvano sembari berjalan pergi meninggalkannya.
"Aku tidak akan menyerah padamu! Aku akan membuat wanita itu menderita bahkan mati!" teriak Sandy dengan nada kesal.