webnovel

Mas Pinjam Kartu ATMnya

"Waalaikumsalam. Lho, Fatir, Risa kok gak bilang dulu kalau mau kesini, Mama kan bisa nyambut kalian," ucap Mama saat Mas Fatir dan Mbak Risa turun dari dalam mobil.

"Iya, Ma sengaja. Biar jadi kejutan," balas Mas Fatir sembari tersenyum, lalu menyambut tangan Mama diikuti Mbak Risa.

"Eyang ...," teriak Galih dan Nadia berbarengan lalu menghambur memeluk Mama, anaknya Mas Fatir dan Mbak Risa. Mama pun balas memeluk kedua cucunya tersebut dengan senang.

"Duh, cucu-cucu Eyang cantik dan ganteng," puji Mama sambil mencium kedua pipi mereka secara bergantian.

"Ayo masuk!" ajak Mama setelah kami saling salam-salaman.

"Gimana kabar, Mama?" tanya Mas Fatir saat kami telah duduk di ruang tamu.

"Seperti yang kamu lihat, Mama baik." Senyum lebar terkembang dari wajah Mama. Betapa senangnya Mama kedatangan Mas Fatir dan Mbak Risa, binar bahagia begitu kentara dari kedua matanya.

"Gimana usahanya, lancar?" tanya Mama, berbinar.

"Alhamdulillah, Ma lancar. ini semua berkat doa dari Mama," balas Mas Fatir, semakin membuat Mama bahagia. "Butik yang dikelola Risa juga Alhamdulillah semakin ramai," lanjut Mas Fatir.

"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu," balas Mama.

"Mau minum apa, Mas, Mbak?" tanyaku menengahi percakapan

"Apa aja, Nay," balas Mas Fatir.

"Kalau, Mbak?"

"Gak usah repot-repot, Nay air putih aja!" balas Mbak Risa dengan tersenyum anggun. Meski Mas Fatir dan Mbak Risa hidup bergelimang harta, namun tidak membuat keduanya tinggi hati dan sombong tiap berkunjung mereka selalu bersikap ramah dan baik, tidak pernah menyinggung statusku.

Aku pun beranjak ke dapur, mengambil air minum. Saat akan mengambil gelas dan menaruhnya di atas nampan tiba-tiba Mbak Risa sudah berdiri di dekatku sambil meletakkan beberapa plastik yang berisi oleh-oleh.

"Gimana kabarmu, Nay?" tanya Mbak Risa basa-basi.

"Em, Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak sendiri gimana?" tanyaku balik.

"Alhamdulillah, Mbak juga baik. Oh iya dari tadi Mbak belum lihat Rania, kemana?"

"Oh ada kok, Mbak tadi habis main sama Papanya dan ketiduran." Aku tersenyum.

"Oh gitu."

Aku pun mengangkat nampan untuk di bawa ke ruang tamu.

"Sini biar, Mbak saja!" ucap Mbak Risa menawarkan diri. Aku pun menyerahkannya, lalu ikut mengekor menuju ruang tamu.

"Lho, kok malah jadi kamu yang bawain?" tanya Mama heran.

"Iya, Ma gak apa-apa," balas Mbak Risa tersenyum.

Mama langsung menatapku tak suka, tetapi aku pura-pura cuek saja.

"Kalian sih, gak bilang dulu mau ke sini, Mama, 'kan bisa masak dulu buat nyambut anak dan cucu-cucu, Mama," protes Mama.

"Gak apa-apa, Ma nanti kita bisa masak bareng," balas Mbak Risa. "Iya, 'kan Nay?" tanya Mbak Risa memastikan.

"I-iya, Mbak," balasku.

Ha! Mama bilang mau masak buat Mas Fatir dan Mbak Risa, apa aku tidak salah dengar, palingan juga aku yang masak. Ah, Mama paling bisa bersikap manis di depan anak-anaknya ini, kenapa gak jujur saja sih, Ma?

"Oh iya, Ma, Risa punya sesuatu buat Mama." tangan Mbak Risa terulur memberikan sebuah paper bag, "Ini untuk Mita Adik, Mbak yang cantik,"

Mita dan Mama nampak begitu senang menerima hadiah pemberian dari Mbak Risa, mereka pun segera membukanya sebuah gamis cantik.

"Wah, bagus banget, Mbak. Mita suka. Makasih ya Mbak," ucapnya dengan nada khas manjanya.

"Iya, sama-sama," balas Mbak Risa.

"Kamu memang menantu idaman, Ris tau aja kesukaan Mama," puji Mama sembari mencoba baju pemberian Mbak Risa.

"Oh iya dan ini untuk kalian bertiga," Mbak Risa menyerahkan sebuah paper bag satu lagi ke padaku.

Aku begitu terenyuh saat membukanya sebuah gamis plus kerudung, dan juga baju kemeja untuk Mas Bram dan tidak ketinggalan gaun cantik untuk Rania. Mataku berkaca-kaca karena terharu mendapat hadiah dari Mbak Risa.

"Terima kasih ya, Mbak jadi ngerepotin," ujarku.

"Sama-sama, gak apa-apa, Nay santai aja," balas Mbak Risa, senyum khasnya tidak ketinggalan.

Kulihat Mama dan Mita menatap tak suka padaku, namun mereka tentunya tidak akan protes di depan Mbak Risa juga Mas Fatir.

Setelahnya kami ngobrol santai, sembari menikmati oleh-oleh dari Mas Fatir dan Mbak Risa. Sementara anak-anak kami biarkan bermain di teras depan.

Terlihat Mas Bram begitu gelisah, karena tidak jadi pergi beberapa kali mengubah posisi duduknya.

"Kamu kenapa, Bram?" tanya Mas Fatir menyadari kegelisahan adiknya tersebut.

"Eh, em gak apa-apa," kilahnya, lalu tersenyum. Tepatnya senyum yang dipaksakan.

"Gimana, pekerjaannya?" tanya Mas Fatir pada Mas Bram.

"Ya begitulah, Mas," balas Mas Bram sekenannya.

Aku yakin, Mas Bram tengah berbohong soal kegelisahannya, dua menit yang lalu perempuan itu kembali mengirim pesan, aku sudah membacanya dari Wa Mas Bram yang sudah kusadap.

[Mas, jadi dateng gak sih?] Emotion marah.

[Maaf, Sayang. di rumah lagi ada Kakak sama Mbak Ipar, Mas] balas Mas Bram dengan emotion sedih.

"Gimana sih, Mas. Ya udah ganti transfer aja] emotion kesal. Belum sempat Mas Bram membalas perempuan itu kembali mengirim pesan.

[Kalau gak jadi juga, Mas dateng aku gak mau nyambut] emotion ngambek.

[Jangan gitu dong, Sayang. Iya nanti, Mas transfer] emotion love.

[Janji ya] disertai emotion love dan cium yang seketika membuatku rasanya mau muntah, dasar perempuan tidak tau diri. Secantik apa sih sampai-sampai Mas Bram bertekuk lutut dan nurut gitu?

Kuyakin itulah sebab mengapa Mas Bram begitu gelisah. Namun saat membaca pesan terakhir kulihat Mas Bram tersenyum lega mungkin karena wanita simpanannya itu akhirnya bisa di bujuk.

Jadi selama ini aku sudah berbagi nafkah dengan wanita asing, aku yang mengurus semua kebutuhan Mas Bram wanita asing malah yang menikmati jerih payahnya ini benar-benar tidak bisa dibiarkan.

"Ma, bahan untuk masak di dapur habis, Naya izin supermarket depan ya!" Aku meminta izin, saat ini juga aku sudah memikirkan sebuah ide untuk meminjam kartu atm Mas Bram, aku yakin di depan Mas Fatir dan Mbak Risa ia tidak akan berani menolak.

"Mas, aku boleh pinjam kartu atmnya gak?" tanyaku ke Mas Bram.

Mas Bram menautkan alis, terlihat sekali ia begitu keberatan mendengar permintaanku.

"Udah pakai uang, Mbak aja Nay," tiba-tiba Mbak Risa menawarkan. Aduh jangan, Mbak. Mas Bram pasti setuju, dan gagal rencanaku. Bagaimana ini, aku harus bilang apa? Perempuan itu tidak boleh menerima trasferan dari Mas Bram, apa yang harus kulakukan? Tolong aku Tuhan!

Bersambung ...