webnovel

Terpaksa Berbohong

"Udah gak apa-apa, Mbak. Pake ini aja!" Di luar dugaan, Mas Bram malah berucap demikian sembari mengeluarkan kartu ATMnya dan memberikannya padaku. Sepertinya harga dirinya sebagai lelaki masih tinggi, tentunya ia tidak ingin terlihat pelit di depan Abang dan Kakak iparnya. Dalam hati aku tersenyum, iyes.

Tanpa menunggu lama aku segera mengambil kartu ATM dari tangan Mas Bram, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Ya udah kalau gitu," balas Mbak Risa.

Dengan kartu ATM ini, aku berencana membeli segala keperluan yang kemarin sempat tertunda gegara, Mas Bram membelikan ponsel untuk wanita si*lan itu. Kali ini aku akan membeli semua yang ku mau. Lihat saja Mas akan kukuras tabunganmu.

"Aku pamit dulu ya!" ucapku, Lalu bersiap melangkah menuju kamar untuk mengambil jaket.

"Nay, Mbak ikut ya!" ujar Mbak Risa.

Aku menoleh, lalu mengangguk dan tersenyum. Usai mengambil jaket aku kembali ke ruang tamu.

"Ayo, Mbak! Mas titip Rania ya!"

"Hem," balas Mas Bram sekenannya.

"Mas, aku pergi dulu ya jagain Galih sama Nadia!" pamit Mbak Risa sama Mas Fatir.

"Ma, kami pergi dulu ya!" pamit Mbak Risa.

"Iya, hati-hati."

"Mama, minta dibeliin apa?" tanya Mbak Risa.

"Mama pengen yang seger-seger."

"Mita, juga ya, Mbak sekalian juga sama snack kentang," ucap Mita menimpali.

"Iya, kalau Mas sama Bram?"

"Terserah aja," balas Mas Bram dan Mas Fatir hampir berbarengan.

Setelah pamit aku dan Mbak Risa pun segera pergi ke Supermarket membeli bahan masakan untuk makan malam nanti. Rencananya besok mereka baru akan pulang.

Tiba di Supermarket aku pamit ke ATM sebentar untuk tarik tunai, sebelum mencari bahan makanan. Saat menekan enam digit pin ATM Mas Bram, hal yang kulakukan adalah mengecek saldo, aku tercengang saat melihat saldo dalam ATM, ternyata Mas Bram punya simpanan sebanyak ini 700 ratus juta.

Aku segera melakukan penarikan sebanyak dan sebisanya, untuk membeli segala keperluanku mulai dari bedak, lipstik dan skincare lainnya tidak apa meski tidak begitu mahal, karena waktu yang tidak memungkinkan jika harus mencari di tempat lain.

Usai melakukan penarikan aku segera keluar menemui Mbak Risa, dan mencari bahan masakan untuk menu makan malam nanti. Mulai dari beberapa macam sayur dan jenis seafood. Aku sengaja membeli lebih banyak untuk menu beberapa hari kedepan.

"Em, Nay kayaknya semua bahan sudah lengkap, kamu ada yang mau di beli lagi gak?" tanya Mbak Risa.

"Em, a-aku ..." Ragu aku berucap, tetapi sepertinya Mbak Risa bisa membaca pikiranku.

"Eh, Nay kita lihat-lihat alat kosmetik di sana dulu yuk!" ajaknya.

Aku pun mengangguk cepat menyetujui ajakannya, karena memang itu keinginanku.

"Cobain deh, kayaknya warna lipstiknya cocok buat kamu," mbak Risa menyodorkan lipstik dengan warna peach ke arahku.

"Ya udah aku ambil yang itu," ucapku. Aku pun membeli segala keperluan untuk perawatan wanita, tidak mengapa bukan, aku membeli alat kecantikan dengan uang suami sendiri, meski tanpa memberitahunya dahulu dari pada wanita lain yang menikmatinya?

Usai membeli segala keperluan, juga pesanan Mama dan Mita. aku dan Mbak Risa pun membeli beberapa cemilan, lalu segera pulang. Tiba di rumah sepertinya anak-anak tengah tidur mungkin kecapekan habis bermain.

Kulihat Mas Bram dan Mas Fatir masih sibuk bercengkrama di ruang tamu sementara Mama dan Mita entah kemana.

Aku dan Mbak Risa pun menaruh barang belanjaan ke dapur, cemilan yang tadi kami beli sengaja ku taruh di ruang tamu untuk menemani obrolan Mas Fatir dan Mas Bram. Untuk masalah ATM, biar saja kusimpan dulu. Akan kupikirkan bagaimana cara agar perempuan itu tidak jadi menerima transferan.

"Nay, salat Zuhur dulu yuk!" ajak Mbak Risa, yang muncul dari arah dapur usai menaruh barang belanjaan.

Aku pun mengangguk, lalu mengerjakan empat rakaat bersama Mbak Risa.

Usai salat kami pun makan siang bersama, dengan menu yang ku masak tadi pagi, khusus untuk makan siang. Untung aku masak lebih banyak dari biasanya padahal aku tidak tau kalau akan kedatangan tamu. Sayur sop, goreng ayam tepung, goreng tempe dan sambal trasi menjadi menu makan siang ini. Untuk malam rencananya aku dan Mbak Risa akan masak bersama.

Rasanya begitu nikmat makan bersama seperti ini, kecerian di meja makan semakin begitu terasa dengan colotehan anak-anak yang berebut ayam goreng, membuat kami tidak bisa menahan tawa atas kelucuan mereka.

Usai makan kami istirahat sebentar, Mbak Risa sama Mas Fatir istirahat di kamar tamu. Aku begitu merasa tegang takut kalau Mas Bram menanyakan kartu ATMnya sementara aku belum melakukan rencana selanjutnya.

Bagaimana pun perempuan itu tidak boleh menerima transferan dari Mas Bram, aku harus cari alasan agar Mas Bram tidak jadi transfer ke rekening perempuan itu.

"Dek, mana kartu ATM, Mas?" tanya Mas Bram saat aku tengah merapikan barang-barang yang tadi kubeli. Aku menggigit bibir, diam sejenak mencari alasan.

"Em, a-anu, Mas Maaf, ATMnya tadi aku lupa naruh, ini lagi aku cari-cari gak ketemu," kilahku pura-pura mengacak-angacak barang mencari kartu ATM. Dalam hati aku terus beristighfar karena sudah berbohong, namun hanya ini yang bisa kulakukan saat ini, bermain cantik. Aku tidak mau gegabah, lalu berpisah dan tidak dapat apa-apa. Bukan karena aku matre tetapi ini demi Rania.

Mata Mas Bram melebar, jelas sekali kemarahan di gurat wajahnya. "Kok bisa kamu seceroboh itu? Itu juga barang-barang kamu beli pake uang di ATM, Mas?" sergahnya.

Aku mengangguk, "Maaf, Mas!" ucapku, lalu menunduk pura-pura merasa bersalah. Aku tidak peduli akan kemarahan Mas Bram, karena sudah terbiasa menghadapi kemarahannya. Namun, jangan sampai ada KDRT, tentunya aku tidak akan tinggal diam.

Mas Bram begitu terlihat kesal, ia keluar dari kamar sembari membanting pintu dengan kasar. Membuatku terlonjak kaget.

[Mas, kok belum ditransfer juga sih] sebuah pesan masuk dari perempuan itu. Tidak lama kemudian ada balasan dari Mas Bram.

[Iya, Maaf Sayang. Itu ATMnya tadi dipake istri, Mas dan dia sekarang lupa naruh]

[Kok, bisa sih, Mas. Istri kamu yang bodoh itu pake ATM kamu?] disertai emotion marah.

Ha! Apa perempuan itu bilang, aku bodoh dan bisa pake ATM Mas Bram? Hei, aku ini istri sahnya Mas Bram. Rasanya ingin sekali aku membungkam mulut perempuan itu dengan ulekan cabai. Dadaku bergemuruh, membaca pesan-pesan mereka, seketika rasanya darah naik ke kepala.

[Iya, maaf] balas Mas Bram dengan emotion sedih, merasa bersalah.

Mas, Mas bisa-bisanya kamu bersikap begitu sama perempuan lain. Aku membanting ponsel ke atas kasur dengan kasar, rasanya begitu geram dan kesal membaca percakapan demi percakapan mereka. Aku mengambil kartu ATM yang tadi kusembunyikan, baiknya ku apakan kartu ATM ini? Saat tengah memegang kartu ATM tiba-tiba handle pintu kamar ditekan, bagaimana ini?

Bersambung ...