webnovel

Bagi Duit, dong!

"Manja kamu. Luka segitu saja sudah mengeluh. Lalu kan Kanisa sudah bisa berjalan. Kamu tuntun saja dia sambil berjalan!" ucapku ketus.

Aku tak mau meladeni ia yang mau bermanja ria. Matahari baru saja bersinar, tapi ia sudah sibuk cari muka saja. Aku kan banyak urusan. Tak hanya melulu mengurusi dia saja.

"Nggak kasihan kamu sama Kanisa, Mas? Dia ini masih kecil sekali. Tempat Darman itu cukup jauh. Nanti kalau Kanisa terjatuh dan luka, kamu tambah menyalahiku pula."

"Halah kamu ini, mengeluh dan mengomel saja bisanya!"

"Habisnya kamu duluan yang mulai sih, Mas! Aku kan istrimu dan Kanisa ini anakmu juga! Lagi pula, apa susahnya sih, Mas, tinggal mengantarkan saja? Daripada kita ribut, kan alangkah lebih baiknya kalau dari tadi kamu langsung pergi."

Ah, dia ini! Selalu saja membalas kata-kataku!

"Ha, ya sudah, ya sudah. Ngoceh saja kamu. Sakit kupingku mendengarnya." Tak menoleh lagi ke Ranti, aku mengambil wadah jualan pempek Ranti yang ada di atas meja.

"Hah! Merepotkan saja kamu!" gerutuku sambil berjalan ke pintu. Mau tak mau, aku yang akhirnya ke warung Darman mengantarkan pempek bau ini. Kalau tak mempan dengan alasannya sendiri, si Ranti ini pasti selalu saja membawa-bawa soal anak. Membuatku seolah-olah bak bapak yang jahat saja.

***

Ck. Berat juga ternyata bakul ini. Berapa banyak sih pempek dan cuka yang Ranti siapkan? Memangnya banyak sekali apa penggemar pempek bau buatan dia ini?

Nanti kalau tidak laku bagaimana?

Aduh, dia itu. Jualan itu harusnya juga ada taktiknya. Jangan serakah dengan langsung menyiapkan stok banyak dengan harapan ludes semua. Siapkan stok itu secukupnya saja. Kalau habis, ya syukur. Kalau tidak, kan malah jadi buntung.

Toh, tidak akan kaya juga kan dia dari jualan pempek?

Nanti kalau pempeknya tidak laku, mengeluh pula dia. Belum lagi dengan bau sisa pempek yang memenuhi seisi rumah. Mau kubuang, dia jelas marah-marah.

"Itu bikinnya pake duit, Mas! Enak aja mau langsung buang. Kan masih bisa dipanaskan atau diolah untuk dijual besoknya."

Begitu katanya saat aku sudah nyaris membuang sisa pempek yang tak habis ke tong sampah. Tak habis pikirlah aku dengannya.

Aku terus berjalan menuju warungnya Darman. Capek juga ternyata berjalan dengan membawa bakul seberat ini. Apa harusnya tadi aku mengantar pempek menggunakan mobilku saja ya? Ah, tapi janganlah. Nanti bau pempek menempel di dalam mobilku. Kan tidak enak sama penumpang.

Setelah beberapa lama berjalan, terlihat juga warungnya Darman di mataku. Darman itu adalah adik bungsuku. Warungnya itu adalah sejenis ruko kecil yang menjual berbagai sayur mayur dan daging mentah. Ada ikan, udang, cumi, bahkan beberapa macam buah-buahan pun ada di warung Darman. Cukup lengkap di sana.

Mungkin sudah nyaris dua tahun dia membuka warung tersebut. Bukannya tambah sepi, warungnya malah semakin ramai. Pandemi pun sepertinya tak terlalu berpengaruh di jualannya. Tetap saja warungnya itu diserbu ibu-ibu. Mungkin karena harga jual di warung Darman sangatlah murah dibanding penjual lain dengan jualan sejenis.

Aku ingat sekali. Dulu saat awal-awal jualan, Darman bahkan sempat menerima demo dari pedagang sayur yang lain. Kata mereka, Darman merusak harga pasar. Darman bahkan dipaksa untuk pindah lapak. Tak menyerah dan tak lantas menutup lapaknya, Darman malah pindah tempat ke tempat yang lebih bagus dan langsung membeli ruko kecil tempatnya jualan itu.

"Biar nggak diusik orang, Mas, jadi kubeli saja tempatnya sekalian."

Begitu katanya. Dan sekarang, setelah berpindah tempat pun, pembeli tetap berdatangan ke tempat Darman. Penjual yang lain pun jadi tak bisa mengusirnya lagi.

Beruntung sekali si Darman itu.

Saat aku akhirnya sampai di warung Darman, sudah ada beberapa pembeli yang berdatangan.

"Man, nih titipan Ranti," ucapku padanya.

"Baik, Mas."

Dengan sigap si Darman mengambil bakul pempekku dan menaruhnya di antara jualannya. Baru saja Darman membuka tutup bakul itu, sudah ada yang membeli. Tak mau ikut-ikutan, aku menjauh. Membiarkan Darman yang mengurusi jualan pempek Ranti.

Di warung Darman ini, ada istrinya yang ikut membantu menjaga dan juga ada satu orang lagi yang ia perkerjakan untuk membantu. Dulu Ranti sempat menyuruhku untuk meminta pekerjaan saja dengan Darman, tapi aku tak maulah. Masa aku menjadi bawahannya Darman.

Lagi pula, istrinya Darman itu pelit dan suka mengatur. Nanti aku malah diatur-atur dan disuruh-suruh.

Aku lebih suka bekerja sendiri. Bisa bebas. Seperti menjadi sopir greb sekarang ini. Jam kerjanya bebas. Uang yang didapat pun langsung ke tanganku.

Sambil menunggu si Darman agak lenggang, aku mengawasi sekitar. Istrinya Darman sedang sibuk meladeni pembeli. Begitu pun dengan satu pegawainya Darman.

Lalu aku melihat Darman. Orang-orang yang tadi membeli pempek Ranti sudah mulai bubar, jadi Darman kembali duduk di kursinya di tempat kasir.

Aku mendekati Darman. "Man, bagi guit dong," bisikku.

Dari duduknya, Darman mendongak menatapku yang berdiri di sampingnya. "Duit pempek, Mas? Ini." Darman menjulurkan sejumlah uang ribuan dan beberapa sepuluh ribu.

Aku langsung menepisnya. "Bukan duit jualan Ranti, Man. Itu nanti kamu serahkan saja langsung ke Ranti. Aku minta duit kamu."

"Buat apa, Mas?"

Banyak tanya sekali Darman ini.

"Buat beli bensin," jawabku ketus. "Nggak ada bensin buat narik penumpang."

"Berapa, Mas?"

"Cepek ajalah cukup."

"Seratus, Mas? Isi bensin lima puluh ribu aja gak bisa kah?"

"Haduh kamu ini bawel sekali. Kalo gak mau ngasih ya sudah. Banyak tanya sekali." Aku kesal.

"Bukan gitu, Mas ...."

"Jadi kamu mau kasih atau enggak nih? Sama kakak sendiri aja pelitnya minta ampun."

Darman menghela napas. Hah dia ini perhitungan sekali. Padahal aku yakin uang seratus ribu itu tak terlalu berarti bagi warungnya. Warung ramai seperti ini masa membagi seratus ribu ke kakaknya saja tidak mau. Keterlaluan.

"Ini, Mas. Tapi beneran semua uangnya untuk dibeli bensin ya," ucap Darmin sambil mengulurkan selembar seratus ribu.

Aku meraihnya dan dengan cepat memasukkan ke saku baju kokohku.

"Iyalah. Emang kamu kira bakal kuapain uang ini? Toh cuma seratus ribu juga, Man. Kayak banyak banget aja. Seratus ribu emang bisa buat beli mobil? Enggak kan."

"Bukan gitu maksudku, Mas ...."

"Hah ya sudah. Nanti aku dilihatin pula sama istrimu. Nanti dikira aku mau merampok uangmu. Istrimu itu pelit sekali, Man. Perhitungan denganku."

"Lastri bukannya pelit, Mas, dia itu—"

"Halah terus belain saja istrimu itu. Memang lebih penting orang lain daripada ikatan sedarah. Ya sudah, aku pergi dulu. Asalamualaikum!"

Tak menunggu balasan salamku, aku langsung pergi meninggalkan warung Darman.