webnovel

Dasar Manja!

Bu Hamidah mengangguk setuju, membenarkan ucapanku. "Ah, iya benar, Nak Hendra. Enaknya Ranti mendapat suami yang pengertian. Andai sajaaa suami Ibu masih hidup, pasti sama pengertian juga seperti kamu. Ini saja Ibu rajin beribadah di masjid biar nanti bisa bertemu dengan dia lagi di surga."

Aku menimpali dengan senyum. "Amin, Bu. Tapi jangan cepat-cepat pergi menyusul, Bu, perbanyak dulu ibadah selama di dunia," ucapku setengah bergurau.

Bu Hamidah lagi-lagi mengangguk setuju sambil tertawa kecil. "Benar kamu. Ya sudah, kalau begitu Ibu duluan ya. Mari, Nak Hendra." Bu Hamidah pun berjalan duluan sambil menenteng mukenanya di tangan.

Senyum banggaku makin merekah. Lihat, bahkan ketua RT saja kalah dengan diriku. Dibandingkan membanggakan menantunya yang menjabat sebagai ketua RT itu, Bu Hamidah malah lebih bangga terhadapku. Sungguh aku adalah contoh lelaki idaman teladan.

Aku lalu lanjut berjalan ke rumah. Di depan lorong, aku berpapasan dengan ibu-ibu tetangga.

"Eh, Pak Hendra, baru pulang dari masjid?" basa-basi salah satu dari mereka.

"Iya, Bu," jawabku seadanya.

Ya jelaslah dari masjid, memangnya dari mana lagi? Apa mereka tidak lihat setelan kokohku yang rapi ini?

"Aduuuh rajin sekali ya Pak Hendra ini. Tidak seperti suami saya yang masih molor di kasur. Bisa-bisa rezekinya dipatok ayam."

Ya jangan samakan aku dengan suamimu yang pemalas itu dong. Tentu saja aku berbeda. Namun, tetap membalas perkataannya dengan santun, aku pun berkata, "Doakan saja agar suaminya segera berubah, Bu."

"Iyaaa. Enak sekali kalau berbicara dengan Pak Hendra ini ya. Kalem. Suaranya lemah lembut. Bikin betah berbicara." Ibu-ibu itu pun tertawa kecil.

Aku hanya menimpali dengan senyum seadanya. Sebisa mungkin tak bersikap terlalu sombong. Maaf ya, ibu-ibu, jangan sampai kalian juga jadi kepincut padaku. Seleraku bukan emak-emak seperti kalian. Salah kalian sendiri kenapa dulu tak memilih suami dengan becus.

"Eh iya ngomong-ngomong, Pak Hendra, saya baru tahu lho pempek yang di warung Darman itu buatan istri Pak Hendra."

Ibu-ibu yang entah tak kutahu jelas siapa namanya—aku hanya tahu dia tinggal di sekitar rumahku saja, tiba-tiba menyeletuk. Aku juga jadi tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena ibu-ibu ini memakai masker. Miring pula maskernya.

"Iya, Bu, itu buatan Ranti," jawabku.

Untuk apa sih ibu-ibu ini membahas soal pempek? Mengingat pempek, membuatku teringat akan kekesalanku lagi pada Ranti.

"Wah sudah suaminya pekerja keras dan rajin ibadah, istrinya pun bisa membantu suami," puji mereka kemudian.

"Alhamdulillah kalau begitu, Bu," balasku. Tetap bersikap santun. Tak menunjukkan kalau aku sebenarnya sedang merasa kesal.

Ya wajar sih mereka memuji. Sudah sepatutnya begitu. Tentang Ranti yang membantuku, itu juga atas didikanku kan.

Coba saja kalau saat itu aku tidak menasihati Ranti, mana mau dia membantuku mencari uang tambahan. Tetap tak mau tahu menahu soal keuangan yang sedang carut-marut karena efek pandemi. Hanya mau diam saja di rumah menadahkan uang suami.

"Tapi ya, Pak Hendra, pempek buatan Ranti kok tidak sama dengan yang sering anak saya beli ya?"

"Masa, Bu?" tanyaku.

"Iyaaa. Yang sering Nadia beli. Itu lho Nadia anak saya yang sekolah di SMA unggulan, enak sekali pempek yang dia beli. Lebih lembut, cukanya lebih kental, dan yang pasti nggak ada baunya sedikit pun."

Duh, maaf-maaf ya, Bu, nama Ibu saja saya tidak tahu, apalagi dengan si Nadia yang katanya anak ibu itu. Soal si Nadia yang masuk SMA unggulan, apa peduliku. Memangnya aku bertanya anakmu sekolah di mana? Tidak, kan? Dasar sok pamer ibu-ibu ini.

Dan apa katanya tadi? Menjelek-jelekkan pempek buatan Ranti?? Sialan!

Sebelum aku membalas ucapannya, seorang ibu-ibu yang lain sudah berkata lebih dahulu.

"Ah, maklumlah, Bu, yang Nadia beli kan pasti di tempat mahal. Jangan disamakan dengan buatan istri Pak Hendra-lah. Ada harga kan ada kualitas," timpal ibu-ibu yang lain.

Nah, iya! Benar itu! Tahu diri juga dong, Bu, kalau berkomentar!

Pempek yang anakmu beli itu kan harganya pasti jauh lebih mahal. Gila apa masa mau mendapatkan kualitas pempek mahal dengan harga murah seperti pempek buatan Ranti?

Ibu-ibu memang sering kali tak berpikir pakai otak kalau membandingkan. Huh!

Si ibunya Nadia ini kemudian tertawa canggung. Memamerkan giginya yang kuning. "Haha gitu ya, duh maaf kalau begitu ya, Pak Hendra. Sudah terbiasa makan pempek enak, saya jadi merasa agak beda saat makan pempek buatan Ranti."

Masih saja dia seperti merendahkanku.

Sialan. Ya sudah. Kalau begitu, jangan beli pempek buatan Ranti. Beli saja terus pempek enak katamu itu! Ya itu pun kalau sanggup terus membelinya! Kan, katanya suamimu itu pemalas! Jam segini saja masih belum bangun. Kasihan kamu punya suami yang seperti itu.

Ingin sekali rasanya aku membalas ibu-ibu ini dengan makian. Tapi, nanti bisa merusak citra diriku. Jadi, sebisa mungkin aku menahan diri dan membalas dengan perkataan seperlunya saja.

"Iya tidak apa-apa, Bu. Kalau begitu, saya permisi ya."

Tak sudi aku menghabiskan waktu lama-lama denganmu!

"Ah iya, iya monggo. Kita jadi menghalangi jalannya Pak Hendra."

Bagus kalau sadar diri. Sudah menghalangi jalanku, mengejek pula. Dasar!

Aku pun kembali berjalan ke rumah dengan perasaan kesal. Ejekan ibu-ibu tadi begitu melekat di kepalaku. Sialan. Pagi-pagi sudah dihina orang saja.

Ini semua gara-gara Ranti dan pempek bau itu! Benar-benar si Ranti ini. Bisanya hanya mempermalukanku saja!

Lagi pula, kalaupun Ranti bersikeras berjualan pempek, apa tidak bisa membuat pempek yang lebih bagus sedikit? Pelit sekali dia sengaja membeli ikan murahan untuk dibuat pempek.

Aku melangkah lebar-lebar ke rumah dengan perasaan tak baik. Apalagi dengan mengenakan masker, membuatku makin susah bernapas. Membuat emosiku jadi makin tersulut.

Dari kejauhan, dapat kulihat Ranti di ambang pintu sedang menggendong Kanisa sambil bercanda ria. Cih. Pagi-pagi bukannya sibuk membereskan rumah, malah asyik terus bermain dengan anak.

"Asalamualaikum!" ucapku ketus lalu masuk dalam rumah.

"Waalaikumsalam." Ranti berhenti bercanda dengan Kanisa dan sekarang mengekoriku.

"Mas, kenapa kamu baru pulang sekarang? Sudah nyaris jam enam, Mas, aku telat mengantarkan pempek ke warung Darman."

Aku menoleh padanya. "Kalau sudah tahu telat, kenapa tidak kamu antar sendiri saja!" sergakku. Menyebalkan. "Bukannya buru-buru mengantar pempek, malah asyik bermain dengan Kanisa! Enak sekali ya kamu!"

"Ya ampun, Mas. Aku kan memang menunggu kamu pulang. Kalau aku yang mengantar, susah, Mas. Kanisa sudah bangun tidur, jadi tak bisa kutinggal. Belum menggendong Kanisa, membawa bakul pempek dan cuka pula. Haduh mana tebawa aku, Mas. Lagi pula, nih, kamu tidak lihat, Mas?"

Ranti menunjuk lengan kirinya.

"Kamu nggak lihat lenganku luka karena terkena cipratan minyak tadi? Sakit, Mas."

Alasan saja! Jadi istri, mudah sekali buntu akal si Ranti ini. Selalu saja mencari alasan dari setiap yang tak bisa ia lakukan. Manja pula!