***
Langkah Aletta terhenti di ujung trotoar yang langsung menghadap ke PT Sinar Juanda yang merupakan tempat kerjanya. Gedung yang didominasi dengan kaca itu tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan gedung-gedung lain yang ada di sekelilingnya.
Aletta menyesap Chocolate Macchiato sambil menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Matanya melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 07.47 WIB. Masih ada cukup waktu sebelum masuk jam kerja.
Satu menit kemudian, lampu merah pejalan kaki berubah menjadi hijau. Para pejalan kaki yang rata-rata membawa segelas minuman itupun langsung menyebrang dengan langkah cepat, menuju perusahaan masing-masing walaupun merasa enggan melakukan kegiatan apapun di hari Senin ini.
Aletta mempercepat langkah, memasuki lobby perusahaan yang tentunya ramai oleh para pekerja. Di lantai ini pula, ada beberapa kafe dan kantin yang terlihat ramai oleh para pekerja yang sedang sarapan.
"Maaf, tunggu sebentar!" pinta Aletta sambil bergegas naik ke lift yang hampir tertutup. Orang-orang yang berada di dalam lift memperhatikan Aletta yang terlihat tidak familiar di mata mereka.
"Kamu orang baru, ya?" tanya seorang wanita berkacamata dengan rambut sebahu yang berdiri di sampingnya.
Aletta mengangguk kecil. "Iya, baru hari ini."
Wanita itu mengangguk-angguk. "Bagian apa?"
"Translator, Kak."
Wanita itu tersentak kaget menatap Aletta. "Lho... kamu satu bagian denganku! Siapa namamu?"
Aletta tersenyum kikuk. "Iya, Kak. Aletta Coline, panggil Ale saja. Kalau Kakak?"
"Aku Frislee Sandopart. Semua orang di sini memanggilku Mbak Sisi. Aku kira anak baru darimana... ternyata satu bagian, haduh-haduh...." Sisi geleng-geleng kepala, membuat beberapa orang yang berada di dalam lift tersebut tertawa kecil.
"Anak baru, Mbak... dijaga baik-baik, loh. Jangan sampai direkrut perusahaan lain lagi," ujar salah satu pria yang berdiri di belakang Sisi.
Sisi menoleh dan memukul pelan lengan pria itu. "Berisik kamu! Ya, mereka kan direkrut karena punya skill yang bagus. Masa aku harus menghalangi mereka?"
"Loh, Mbak kan juga punya skill bagus. Menguasai tujuh bahasa, namanya apa kalau bukan skill yang bagus?" balas pria itu sambil terkekeh kecil.
"Hush! Kalau aku direkrut perusahaan lain, siapa yang mau jadi kepala bagian translator? Lagipula aku lebih nyaman di perusahaan ini kok," balas Sisi sambil tersenyum simpul pada Aletta yang sedang takjub begitu mengetahui wanita di sampingnya itu sudah menguasai tujuh bahasa.
Pintu lift terbuka di lantai dua. Beberapa orang keluar dari lift, termasuk pria yang tadi menggoda Sisi, sehingga membuat lift itu agak kosong.
"Ruangan kita ada di lantai tiga, Ale. Kamu sudah tahu, kan?"
"Sudah, Mbak. Sudah diberi tahu Pak Rizal HRD. Gabungan tim editorial dan translator, ya?"
"Betul sekali. Digabung agar tidak bolak-balik untuk revisi. Nah, sudah sampai, ayo turun!" Sisi mengajak Aletta, yang langsung diikuti oleh gadis itu.
"Pagi, Mbak! Bawa siapa? Anak baru?" tanya seorang gadis yang rambutnya dikepang dengan pakaian yang teramat santai, hanya kaus oblong berwarna putih dan celana kulot berwarna hitam yang dipadukan dengan sandal jepit berwarna hijau, merk terkenal yang biasa dipakai oleh orang Indonesia.
"Iya. Yang kemarin Jumat diberi tahu Pak Rizal." Sisi menoleh pada Aletta. "Nanti kamu perkenalkan diri saat jam masuk saja. Kalau sekarang, masih ada beberapa yang belum datang."
"Oh, baik, Mbak." Aletta mengangguk kecil sambil tersenyum simpul. Tangan kirinya yang memegang segelas Ice Chocolate Macchiato rasanya mulai dingin karena gugup.
Gadis yang rambutnya dikepang itu melirik Aletta, kemudian balik menatap Sisi dan bertanya, "Mbak, ruangannya di mana?"
"Di samping ruangan ku," jawab Sisi dengan santai.
"Woah...!" Mata gadis itu berbinar-binar menatap Aletta. Dengan cepat, dia sudah berada di depan Aletta dan mengambil tangan kanan Aletta secara paksa, berkeinginan untuk menjabatnya. "Aku Tissa, 24 tahun. Aku lupa nama kamu siapa, padahal Pak Rizal sudah memberitahu waktu itu."
"Aletta Coline, 25 tahun, panggil Ale saja," jawab Aletta yang merasa bingung karena gadis di hadapannya menjadi antusias secara tiba-tiba.
"Kamu...." Tissa memberikan tatapan menyelidik pada Aletta. "Menguasai berapa bahasa? Jangan-jangan kamu penggantinya Mbak Sisi?"
"Heh! Kenapa kamu bicara seperti itu? Ingin saya hengkang dari perusahaan ini?" balas Sisi mendelik dengan raut yang dibuat-buat. Dia hanya sedang bercanda.
"Aku kan hanya bertanya, Mbak. Habisnya ruangan di sampingmu selalu kosong karena belum ada translator poliglot." Tissa menatap Aletta dengan rinci. "Berapa bahasa, Ale? Pasti lebih dari tiga, kan?"
Aletta terkekeh canggung. "Hanya lima bahasa. Masih kalah dengan Mbak Sisi," jawabnya mengangguk hormat pada wanita berusia tiga puluh dua tahun itu.
"Uwooh!!" Tissa menghadap Sisi sekilas. "Mbak! Lima bahasa, loh!"
"Lebay kamu," cibir Sisi menanggapi Tissa yang berbinar ceria.
Dia menghadap Aletta lagi. Menghiraukan cibiran dari Sisi. "Bahasa apa saja?"
"Tissa, bicaranya sambil berjalan saja. Kita menghalangi pegawai yang baru datang, sela Sisi menghentikan pembicaraan saat melihat lift terbuka dan mulai banyak pegawai yang berdatangan di lantai tiga itu. "Sekalian kamu antar Ale ke ruangannya." Sisi berjalan terlebih dahulu ke ruangannya dengan langkah cepat.
"Baiklah." Tissa mengangguk kecil, lalu berjalan di samping Aletta, menyejajarkan dirinya yang terlihat mungil di samping Aletta. "Jadi, bahasa apa saja?"
"Indonesia, English, Belanda, Mandarin, dan Jepang. Aku sedang belajar bahasa Korea juga karena Korean Wave akhir-akhir ini."
"Wah, Ale! Kita bisa bicara dengan bahasa English dan Mandarin mulai sekarang," ujar Tissa tersenyum lebar.
"Kamu menguasai Mandarin dengan baik?"
"Tentu saja. Aku lulusan Sastra Cina. Kamu lulusan sastra apa?"
Aletta menggeleng sambil terkekeh singkat. "Aku bukan lulusan sastra. Aku lulusan Manajemen Teknologi dan Operasi."
"Hah?!" Tissa terperanjat kaget sampai menghentikan langkah. "Kamu serius? Oh My God, kamu keren sekali! Baru kali ini aku bertemu dengan translator yang bukan lulusan sastra!"
"Ah, masa? Memangnya Mbak Sisi lulusan apa?"
"Sastra Inggris. Kamu serius, Ale? Manajamen Teknologi dan Operasi?"
Aletta mengangguk penuh keyakinan. "Ya, bahkan aku sudah menyelesaikan studi S2."
Tissa menepuk-nepuk pundak Aletta. Hidungnya terlihat kembang-kempis dan dadanya membusung bangga. "Ale, mulai saat ini, aku menganggap kamu sebagai salah satu dari emasnya PT Sinar Juanda."
"God... julukan apa itu? Jangan sembarang memberikan julukan, Tissa. Kamu bahkan belum melihat kemampuanku dalam menyelesaikan pekerjaan. Aku tidak mau mengecewakanmu karena ini pertama kalinya aku bekerja," ujar Aletta merasa gusar dan berat hati, takut tak bisa memenuhi ekspektasi dari gadis yang mulai saat ini menjadi rekan kerjanya.
Tissa kembali berjalan, begitupun Aletta. Dia mengedikkan bahu. "Tidak masalah. Kamu bisa belajar secara otodidak di sini. Namun yang pasti, aku tahu kamu akan menjadi salah satu emas di perusahaan ini. Trust me! Lima puluh persen perkataan ku itu benar dan lima puluh persen lainnya akan menjadi benar suatu saat nanti."
Aletta terkekeh kecil dengan ucapan Tissa yang sedikit menghibur rasa berat di hati. "Jadi, kamu peramal?"
Tissa mengedipkan mata genit. "Mungkin?" Dia membuka sebuah ruangan yang memiliki satu meja besar dengan komputer di atasnya. Di belakang meja, terdapat satu rak besar yang nantinya akan diisi buku-buku atau dokumen untuk pemilik ruangan. "Wah, akhirnya ruangan ini ada pemiliknya juga." Tissa menoleh pada Aletta yang masih berdiri di depan itu, belum masuk. "Ini ruangan kamu, Ale. Poliglot sepertimu sangat berhak untuk mendapatkannya."
"Pujian darimu terlalu berlebihan, Tissa. Tapi, terima kasih." Aletta tersenyum. Dia melangkah masuk, kemudian meletakkan segelas Ice Chocolate Macchiato dan tasnya di atas meja, lalu mengulurkan tangan pada gadis yang ceria dan sederhana itu.
"Kuharap kita bisa menjadi rekan kerja yang baik."
Tissa menggantung tangannya sambil memanyunkan bibir. "Hanya rekan kerja? Tidak menjadi teman juga?"
Aletta tersenyum lebar karena pertanyaan dan Tissa yang merajuk. Dia pun menanggapi, "Aku tidak keberatan untuk memiliki teman dan rekan kerja sepertimu."
Tissa membalas uluran tangan Aletta dan menggoyangkannya seraya tersenyum lebar.
"Senang memiliki teman dan rekan kerja sepertimu, Ale."
***
Berdiri di hadapan seluruh pegawai di lantai tiga membuat kaki Aletta gemetar gugup. Namun, dia bisa menyembunyikannya dengan baik di balik senyum lebar dan manisnya itu.
"Aletta Coline, 25 tahun, Magister of Management of Technology and Operations, New York."
Sorak-sorai kagum dan bisik-bisik pegawai langsung terdengar begitu Aletta menyelesaikan ucapannya. Dia tetap mempertahankan senyum, meski kini terasa canggung.
"Kamu cantik sekali," puji Gustian, pegawai di tim editorial.
"Loh, Mas Tian... kamu sudah punya tunangan, loh?" Sisi yang tengah bersedekap menatapnya memicing. "Hayo, dijaga matanya."
"Aduh, Mbak... aku kan cuma memuji. Adel mah tetap di hati," sahut Gustian sembari memamerkan deretan gigi putihnya yang disambut dengan gelak tawa.
"Ale, ini kepala bagian tim editor, Mbak Ester." Sisi memperkenalkan seorang wanita bertubuh agak gempal dan memakai hijab berwarna army.
"Aletta, Mbak." Aletta mengulurkan tangan yang langsung dijabat oleh Ester.
"Ester. Pak Rizal sudah bilang kalau kamu translator poliglot. Aku tidak sabar untuk bekerja sama denganmu," ujar Ester dengan senyum yang menanti kemampuan Aletta.
"Saya juga menantikannya, Mbak."
Ester mengangguk singkat. Dia menghadap enam timnya yang lain. "Ini anak-anakku. Ada Gustian, satu-satunya orang paling tampan di tim editorial. Yang pakai hijab ini, Novi. Empat di sana ada, Ika, Paula, Maya, dan Hana."
Aletta mengangguk paham. Untungnya dia memiliki kemampuan mengingat yang sangat bagus. "Mas Tian, Mbak Novi, Mbak Ika, Mbak Paula...."
"Panggil aku Miss Paula saja," pinta gadis cantik yang memiliki rambut panjang lurus.
"Banyak cingcong," sahut Gustian bercanda. Yang langsung ditanggapi Paula dengan mata yang mendelik tajam.
"Tidak apa-apa, Mas Tian." Aletta tersenyum simpul. "Miss Paula, Mbak Maya, dan Mbak Hana."
"Kak Ale, panggil nama saja." Maya mengangkat ibu jari seraya tersenyum lebar. "Hitungannya, aku yang paling junior di sini."
Ester dan Sisi yang dituakan di lantai tiga itu pun tertawa.
"Usianya baru dua puluh tahun," ujar Ester pada Aletta.
"Oh!" Aletta menatap Maya, lalu mengangguk singkat. "Iya, Maya."
"Nah, kamu sudah kenal dengan tim editorial, sekarang saatnya kamu kenal dengan timmu sendiri." Sisi menunjuk tiga orang yang ada di sampingnya.
"Kamu sudah mengenal Tissa tadi. Yang dua ini, Jojo dan Adnan. Sekarang tim kita ada tiga perempuan dan dua laki-laki." Sisi tersenyum dan menatap Aletta senang.
"Selamat bergabung dengan tim translator, Ale."
Sisi menyambutnya dengan tepuk tangan yang diikuti langsung oleh anggota dari tim translator dan editorial.
"Nah, karena Aletta masih baru. Adakah tim translator yang ingin mengantarnya berkeliling perusahaan?"
Jojo dan Tissa segera mengangkat tangan tanpa paksaan. Membuat mereka saling bertatapan.
"Jo, mengalah saja denganku," pinta Tissa sambil menyeringai tipis.
Jojo berdecak kecil. "Aku saja yang mengajaknya berkeliling, Tis."
"Mbak Sisi." Tissa menoleh pada Sisi. "Bukannya Jojo ada jatah translate komik untuk dua hari ke depan?"
Sisi langsung tersenyum menatap Jojo yang mendesah kecewa karena gagal bolos bekerja berkedok mengantar Aletta berkeliling.
"Tissa, ajak Aletta berkeliling perusahaan! Untuk kantor direktur dan wakil direktur tidak perlu sampai masuk, oke?"
"Oke, Mbak! Percayakan saja dengan Tissa!"
"Sisanya kembali ke posisi masing-masing!" perintah Sisi.
"Ayo, ini hari Senin! Banyak deadline dan projek baru!" tambah Ester yang ditanggapi oleh tim translator dan editorial dengan helaan napas panjang.
———
Poliglot (julukan untuk orang yang menguasai bahasa asing. Biasanya 5-12 bahasa asing). Tertarik untuk mempelajarinya?