webnovel

Terasa Tidak Asing

***

08.39 WIB, PT Sinar Juanda

Lift berdenting menunjukkan angka satu di papan info. Pintu pun terbuka, menampakkan lobby perusahaan yang tidak terlalu ramai karena sudah masuk jam kerja.

Tissa dan Aletta melangkah ke luar dari lift dan Tissa kembali memimpin jalan.

"Nah, ini lobby perusahaan. Kalau sudah masuk jam istirahat, di sini akan sangat ramai karena pusatnya pegawai untuk istirahat dan bertemu dengan pegawai bagian lain. Kamu bisa lihat, di sini ada resepsionis, beberapa kafe dan kantin khusus pegawai, serta ruangan tambahan untuk menyimpan cetakan majalah atau buku yang sudah selesai," ujar Tissa sembari menunjuk tempat-tempat yang dia sebutkan.

Aletta menoleh, memandang kafe bernuansa kuning yang memiliki beberapa pengunjung. "Kafenya untuk umum? Bukan untuk pegawai saja?"

"Iya. Kafe di sini untuk umum. Yah, jadi ada beberapa pegawai perusahaan lain di sekitar sini yang memang suka datang. Tapi, kita punya kantin khusus pegawai yang tidak bisa dimasuki oleh orang luar," jawab Tissa sembari memimpin jalan ke kantin pegawai yang dia maksud.

Tissa membuka pintu kaca dan menahan pintunya agar Aletta bisa masuk terlebih dahulu. Begitu masuk, penciuman Aletta langsung disambut dengan wangi masakan yang identik dengan rempah-rempah.

"Wow! Apa mereka sedang menyiapkan makanan?"

Tissa yang sedang menutup pintu pun mengangguk kecil. Dia mendekati Aletta. "Mereka memasak dalam porsi yang cukup banyak, jadi jam segini sudah sibuk dan harus sudah siap sebelum jam dua belas siang."

"Apa makanan di sini gratis?" tanya Aletta agak bersemangat.

Tissa terkekeh kecil, lalu menggeleng. "Tidak ada yang gratis di dunia ini, Ale. Kamu tetap membayar, tapi tidak mahal jika dibandingkan dengan makanan yang ada di kafe-kafe sana," jelas Tissa merujuk pada beberapa kafe yang juga ada di lobby perusahaan.

"Oh... pasti kantin ini sangat ramai saat jam istirahat," ujar Aletta sembari menganggukkan kepala berkali-kali.

"Tentu saja! Selain rasanya yang enak, harganya juga terjangkau. Kamu mau istirahat bersamaku nanti?"

"Ya, tentu. Em... apa menu di sini selalu sama setiap harinya?"

"Tidak. Ke mari, Ale!" Tissa melangkah lebih dahulu menuju sebuah stand banner. Dia menunjuk stand banner tersebut agar Aletta dapat melihatnya. "Ini menunya. Selalu berganti setiap hari. Chicken teriyaki dan daging rica-rica yang paling enak! Kamu harus mencobanya nanti!"

Aletta memicingkan mata, membaca tulisan menu yang terlalu kecil. Dia mengarahkan telunjuk mengikuti tanggal hari ini.

"Tissa, bukankah sekarang waktunya untuk daging rica-rica?"

"Oh, sungguh?" Manik Tissa melebar. Dia melihat ke arah Aletta menunjuk. Dan benar saja. Di sana tertulis daging rica-rica dan capcay. Gadis itu menoleh dengan semangat pada Aletta.

"Wah, kamu akan mencobanya di hari pertama! Dulu saat aku masuk, menu di kantin ini hanya ayam goreng, tahu, dan sambal." Tissa sedikit berjinjit dan mendekatkan bibirnya ke telinga Aletta. "Ayam gorengnya tidak enak, terlalu kering dan garing."

Aletta berusaha untuk tidak tertawa setelah mendengar ulasan ayam goreng dari Tissa. Dia menutup mulutnya dengan tangan, kemudian mengangguk-angguk paham.

Tissa tersenyum lebar. "Jadi, kalau kamu bertemu dengan menu ayam goreng, ku sarankan untuk pergi ke tempat lain saja. Tidak jauh dari perusahaan kita, ada rumah masakan Padang yang tak kalah enak. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki. Oh, astaga! Kenapa aku jadi merekomendasikan makanan padamu?!" Tissa menepuk dahi karena terlalu bersemangat dalam memberi ulasan tentang makanan.

Aletta tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Tissa. Aku orang baru di sini. Sekecil apapun info darimu akan sangat membantuku dalam beradaptasi."

"Ah, Ale... kamu sangat baik." Tissa merengut haru.

"Kenapa? Kenapa kamu memasang ekspresi seperti itu?" tanya Aletta memegangi kedua pipi Tissa.

"Tidak, aku hanya senang," jawab Tissa melepaskan perlahan tangan Aletta yang berada di pipinya.

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah lobby. Membuat mereka menoleh dan mendapati beberapa pria dengan jas hitam yang masuk terburu-buru ke dalam lift.

"Huh, siapa itu?" ujar Tissa yang langsung menelengkan kepala, mengajak Aletta untuk mencari tahu.

Mereka ke luar dari kantin perusahaan. Tissa berbelok ke arah kanan untuk menuju meja resepsionis.

"Hai, Yuni!"

"Oh, Tissa!" Yuni balik menyapa. Dari bawah meja resepsionis, ke luar seorang wanita berkacamata, Putri.

"Kenapa kamu di sini, Tis? Kamu tidak bekerja?" tanya Putri yang baru saja mengambil pulpen yang terjatuh. Sebelum Tissa menjawab, dia baru menyadari  wajah baru di sana. "Oh, siapa gadis cantik ini?"

"Aletta, terima kasih." Orang yang disebut cantik itu tersenyum. "Pegawai baru di tim translator."

"Oh... kamu anak baru. Aku Putri dan ini..."

"Yuni. Kami resepsionis yang tak bisa dipisahkan. Ada satu orang lagi yang bertugas sebagai resepsionis, tapi dia sedang libur. Kamu bisa bertemu dengannya besok."

"Oh, tentu." Aletta mengangguk singkat.

Tissa meletakkan sebelah tangannya di atas meja resepsionis. "Siapa yang baru datang tadi? Mereka terlihat keren."

"Oh... itu pak Nanggala, CEO MH fashion. Yah, memang keren, sih... namanya juga bos pakaian," jawab Putri sembari tersenyum sumringah.

"Wah, pantas saja dari jauh sudah terlihat keren! Mau apa dia di sini?"

"Kamu tidak tahu, Tis? Pak Nanggala kan akan menjadi klien kita. Dia ke sini untuk menandatangani kontrak kerja sama," sahut Yuni yang beberapa waktu lalu selalu menerima telepon dari sekretaris MH fashion.

"Ih, aku tidak tahu. Memangnya untuk apa dia bekerja sama dengan kita?"

"Majalah dan katalog untuk perusahaan pakaiannya. Ku dengar dari manajer, perusahaan percetakan yang lama telah membuatnya kecewa."

"Dan dia memutus kerja sama mereka begitu saja?" tanya Tissa tak percaya dengan apa yang didengarnya.

Putri dan Yuni mengangguk bersamaan.

"Kata manajer, dia orang yang cukup perfeksionis." Putri melirik Aletta yang terdiam dengan ekspresi berpikir. "Kamu kenapa, Aletta?"

Aletta sedikit tersentak, lalu menggeleng. "Tidak... tidak. Hanya saja namanya terdengar tidak asing."

"Tentu saja tidak asing! Toko-toko pakaiannya tersebar di mana-mana. Mungkin satu atau dua pakaianmu berasal dari sana," sahut Putri dengan serius.

Aletta tersenyum canggung. Dia mengangguk meskipun dirinya baru saja menapakkan kaki di Indonesia beberapa hari lalu dan tidak tahu apapun tentang info terbaru. Gea juga tidak pernah menyebutkan brand fashion MH.

Tissa menatap Aletta. "Kamu ingin melihat CEO itu bersamaku, Ale? Siapa tahu ternyata kamu mengenalnya?"

Aletta menggeleng kecil seraya tersenyum. "Mana mungkin? Kita kembali saja ke kantor, Tis. Kamu sudah mengajakku berkeliling dan sekarang saatnya aku mulai bekerja."

Tissa mengangguk-angguk kecil seraya menoleh kepada Putri dan Yuni.

"Yah, kamu benar. Mbak Sisi akan marah padaku kalau membawamu terlalu lama. Baiklah, ayo kita kembali! Dah, Yuni, Putri!"

Tissa melambaikan tangan, begitupun Aletta. Mereka berjalan ke arah lift dan menunggu beberapa menit di sana, sebelum akhirnya masuk dan menghilang dari lobby perusahaan.

***

Aletta meregangkan tubuh setelah berjam-jam menatap layar komputer. Dia melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 16.12 WIB. Sudah 12 menit berlalu sejak jam kepulangan kantor.

Gadis itu memandang pintu kaca buram. Penasaran dengan rekan-rekan tim yang ditinggalnya karena terlalu fokus bekerja di hari pertama. Dia memundurkan kursi, berdiri, dan melangkah mendekati pintu kaca buram. Dia mengintip dari balik kaca yang samar-samar. Di luar sana masih ada Ika dan Maya, tim editorial, serta Jojo, tim translator yang lembur.

"Duh, bisa tidak, ya, aku pulang lebih dulu?" gumam Aletta karena dia masih terhitung pegawai baru meskipun telah memiliki ruangan pribadi. Bahkan, dibandingkan dengan Maya yang merupakan juniornya, Aletta tetaplah pegawai baru.

"Ah, tidak enak kalau pulang lebih dulu."

Aletta kembali ke kursi bersamaan dengan dering ponsel yang mengejutkannya. Dia mengambilnya dan melihat nama Papa tertera di sana.

"Halo, Pa?" Aletta meletakkan ponsel di telinga begitu mengangkatnya.

"Halo. Di mana, Le?"

"Tempat kerja, Pa. Kenapa?"

"Kapan pulang? Papa kan sudah bilang padamu saat kita berpisah di bandara waktu itu," Aletta mengernyit mendengar suara Varrel yang marah-marah dari ujung sana, "Kenapa kamu tidak pulang-pulang? Kalau begini, bagaimana Papa bisa mengizinkanmu--"

"Halo, Le?" Kini suara Varrel yang marah-marah berganti dengan suara Stefani yang lembut. Namun, Aletta masih bisa mendengar suara Varrel yang merajuk karena ponsel yang direbut tiba-tiba.

"Iya, Ma. Maafkan Ale karena tidak kunjung datang."

"Kamu ke mana saja, Le? Menelepon hanya dua kali, itupun sebentar. Papa dan Mama kan khawatir walaupun baru lima hari kita berpisah."

Aletta duduk di kursi dan menjawab, "Maaf, Pa, Ma."

"Pulang, Le. Papamu kangen."

"Kamu kenapa bicara begitu, sih?" Varrel yang merasa malu pun merebut ponselnya lagi. "Kamu memang sudah melupakan Papa dan Mama, Le. Biar saja, tidak usah pulang!"

"Pa...!" Sebelum Aletta menyahuti ucapan Varrel, ponsel langsung ditutup begitu saja. Membuat Aletta menggigit bibir, merasa bersalah karena tidak kunjung datang ke rumah baru mereka dan tetap menginap di rumah Gea. Dia menghela napas pelan, lalu mengetikkan jari jemari di atas keyboard ponsel.

Aletta: Nanti malam aku pulang. Tolong kirimkan alamatnya, Pa.

Papa: Cari saja sendiri!

Aletta mengerutkan kening melihat jawaban yang diterimanya dalam sepersekian detik. Dia tertawa masam ketika membacanya lagi. Dia langsung membuka chat dengan Stefani.

Aletta: Ma, nanti malam Ale pulang. Bisa kirimkan alamatnya? Papa menyuruh Ale untuk mencari sendiri.

Aletta: Kalau tidak dikirimkan, Ale tidak akan bisa pulang karena tidak tahu ada di mana. Jakarta terlalu luas untuk mencari rumah yang tak pernah Ale ketahui alamat dan bagaimana ciri serta bentuknya.

Mama: Papamu memang suka mengada-ngada, Le.

Mama: Share located

Mama: Datanglah. Pintu rumah selalu terbuka untukmu. Papa tidak serius mengatakan hal seperti itu padamu. Papa hanya sedikit malu karena ketahuan merindukanmu.

Mama: Mau makan apa? Mama akan memasakkannya untukmu.

Aletta terdiam cukup lama. Perasaan bersalah itu kembali muncul di relung hatinya. Dia merapatkan bibir.

Aletta: Tidak usah memasak, Ma. Aku akan bawakan makanan untuk kalian.

Mama: Jangan! Sayang-sayang uangmu, Le. Biar Mama masakkan saja.

Mama: Gurame asam manis, mau?

Aletta: Tidak perlu repot-repot, Ma. Ale akan beli makanan saja. Nanti kita makan malam bersama.

Aletta: Atau makan di luar saja?

Stefani tak kunjung membalas. Aletta pun memutuskan untuk membuka m-banking, melihat saldo di rekening yang mulai mengecil.

"Asal tidak makan di restoran bintang lima, aku masih sanggup membayarnya," ujar Aletta setelah melihat digit uangnya.

Tak lama setelahnya, Stefani pun membalas pesan.

Mama: Kata papa, pulang dan makan di rumah saja.

Mama: Serius tidak ingin dimasakkan? Memang tidak rindu masakan mama?

Aletta: Iya, Ma. Tentu saja rindu, tapi malam ini lebih baik beli makanan saja. Besok Ale temani mama ke pasar sekalian memasak.

Mama: Baiklah, papa dan mama menunggumu.

Aletta: Iya, Ma.

Aletta menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 16.25 WIB. Aletta memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Kini sudah pukul 16.27 WIB.

Dia memandangi pintu kaca buram seraya bergumam berkali-kali, "Pulang sekarang atau menunggu sampai jam lima?"

Gadis berpakaian vintage itupun bangkit. "Pulang saja, lah!"

Dia berjalan cepat, mematikan lampu ruangan, membuka pintu kaca buram, dan langsung disambut dengan pandangan dari Ika, Maya, serta Jojo.

———

Next chapter