webnovel

Kebiasaan

***

Tumpukan buku berada di atas meja ruang tamu. Di sisi kiri sofa, ada Aletta yang sedang membaca novel dengan kacamata  bertengger di hidung, sementara di sisi kanan sofa, ada Arkhano yang sejak tadi hanya membolak-balikkan halaman dari buku satu ke buku lainnya.

Arkhano menutup salah satu novel fantasi sambil menghela napas berat. Dia meletakkan novel tersebut, kemudian menoleh pada Aletta yang tidak menghiraukan keberadaannya.

"Ale, aku kan mengajakmu untuk bermain. Kenapa kita malah membaca buku-buku yang membosankan ini?" protes Arkhano seraya menunjuk tumpukan buku tersebut. Memang benar, buku yang ada di sana tidak ada yang menarik selain ditulis dengan bahasa Inggris.

Aletta menoleh sekilas. "Siapa yang mau diajak main olehmu? Ini memang waktunya untukku membaca buku. Kenapa tidak kamu baca saja salah satu dari novel itu?" ujar Aletta menunjuk tumpukan buku yang di antaranya ada beberapa novel dengan dagu.

Arkhano menghela napas jengah. "Siapa juga yang mau membaca novel fiksi ilmiah yang memusingkan?"

"Kalau begitu, diam atau pulang saja." Aletta memutuskan untuk kembali membaca novel.

Arkhano menaikkan salah satu kaki ke atas sofa, kemudian memutar posisi duduknya menghadap ke Aletta. Dia menyandarkan kepala di sandaran sofa.

"Ale, kamu tidak lapar?" tanya Arkhano setelah terdiam cukup lama memperhatikan Aletta.

"Aku sudah makan tadi siang." Aletta menoleh pada Arkhano. "Kamu belum makan?" Dia tersentak kecil saat menyadari perkataanya. "Yah, kenapa juga aku bertanya seperti itu padamu?"

Arkhano terkekeh kecil. "Aku sudah makan, tapi aku lapar lagi."

"Tidak heran. Kamu terlihat seperti orang yang bisa menelan apapun selagi ada makanan di hadapanmu." Aletta menunjuk toples berisi biskuit cokelat buatan Stefani yang hampir habis dilahap Arkhano.

"Mau menemaniku mencari makan?" tawar Arkhano berdiri sambil meregangkan tubuh. "Wah, pegal juga duduk selama dua jam tanpa melakukan apapun," gerutunya.

"Ke mana?" jawab Aletta merasa tertarik. Pada dasarnya pun dia orang yang asik untuk dijadikan teman makan.

"Hmm...." Arkhano berpikir tentang tujuan mereka. "Yah, pokoknya jalan saja dulu. Namanya juga mencari makan."

"Jalan kaki?" Aletta menutup novel yang dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Dia menatap Arkhano yang tengah berdiri dengan tangan yang bertumpu di pinggang.

"Aku akan mengambil motor dulu. Oh, atau kamu ingin naik mobil saja?"

Aletta berdiri sambil meregangkan tubuh. "Motor saja. Nanti macet kalau naik mobil."

"Nanti kamu kepanasan."

"Memangnya Jakarta sepanas apa sih di jam tiga sore? Aku izin ke Mama dulu untuk pergi," ujar Aletta berjalan meninggalkan Arkhano di ruang tamu.

"Ale, aku ikut! Aku yang akan izin dengan Tante Stefani!" seru Arkhano mengejarnya dengan langkah lebar. Mereka pun berjalan bersama menuju ruang keluarga, di mana Stefani sedang asik menonton film di sana.

###

"Sekarang kamu menyesal?" tanya Arkhano saat menunggu lampu merah di persimpangan.

"Sedikit," jawab Aletta yang merasa kepanasan karena matahari masih terik.

Arkhano tertawa kecil. "Nah, kamu tidak bisa menghindar dari sinar matahari kalau naik motor. Nikmati saja, Ale."

"Tenang saja. Sekarang aku sedang menikmatinya."

Motor berwarna biru itu berjalan lagi ketika lampu sudah berubah menjadi hijau. Aletta memperhatikan jalan yang semakin jauh dari rumahnya.

"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Aletta yang mendekati Arkhano karena dia dan laki-laki itu sama-sama memakai helm.

"Aku berpikir untuk makan yang pedas-pedas. Kamu bisa makan pedas, kan?"

"Tidak terlalu, tapi aku bisa."

"Oh, sungguh? Apa kita batalkan saja? Kamu punya ide untuk makan yang lain?"

"Kan kamu yang ingin makan. Aku hanya menemani saja."

"Masa kamu tidak makan juga?" Arkhano sedikit menoleh pada Aletta. "Jadi makan pedas atau tidak?"

"Aku ikut denganmu saja."

Arkhano menyeringai lebar di balik kaca helm. "Baiklah, jangan menyesali perkataan mu lagi, ya."

###

Aletta berdiri di sebuah kios yang ramai sambil membaca banner yang terpampang di depan kios.

Bakso dan Ceker Setan Bu Husna. 100% cabai setan asli!

'Astaga...!' Aletta menoleh pada Arkhano yang sedang memarkirkan motor. 'Laki-laki itu sudah dua kali membuatku menyesal,' batinnya seraya memegangi perut yang pasti akan sakit setelah makan di sini.

Arkhano turun dari motor dan membuka helm, kemudian menyusul Aletta dengan senyum lebar.

"Ayo, Ale!" ajaknya penuh semangat sampai Aletta tak mampu untuk menolaknya.

Mereka duduk di tempat terpojok karena hanya itu yang tersisa. Jauh dari kipas angin dan itu membuat Aletta mengipasi dirinya yang merasa gerah.

Arkhano yang menyadari itu pun merobek kardus yang tak jauh dari sana, kemudian mengipasi Aletta layaknya dayang yang mengipasi ratu.

"Terima kasih."

Arkhano tersenyum tipis. "Kamu mau makan apa?"

"Aku tidak tahu. Kurasa perutku akan sakit kalau memakan 100% cabai setan asli," ujar Aletta jujur padanya.

"Mau makan yang tidak pedas saja?"

"Memangnya ada?"

Arkhano menyerahkan kardus yang digunakannya untuk mengipasi Aletta pada gadis itu. Dia berdiri sambil merapihkan pakaiannya. "Mungkin ada? Aku pesan dulu."

Aletta mengerutkan kening, memandang kepergian laki-laki yang kini sedang memesan makanan.

"Ale, ada!" Arkhano melambaikan tangan dari kejauhan sana. "Mau yang tidak pedas saja?"

Aletta berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Yang pedas saja!"

***

Aletta tersenyum tipis saat mengingat kenangan yang langsung teringat ketika mobil Dylan melewati kios milik Bu Husna yang sampai saat ini masih ramai.

'Kalau dipikir-pikir itu keputusan yang bodoh,' batin Aletta seraya menutup mulut dan terkekeh kecil di baliknya.

Karena selepas pulang dari kios Bu Husna, Aletta tidak masuk sekolah selama empat hari karena terkena diare. Dan Arkhano juga sampai memohon ampun pada Varrel dan Stefani karena dialah yang mengajak putri mereka untuk makan di sana. Namun, orang tuanya tidak menyalahkan Arkhano, tetapi menyalahkan dirinya yang memilih untuk makan pedas padahal sudah ditawarkan untuk makan yang tidak pedas.

"Kamu mabuk, Ale?" tanya Dylan melirik dari kaca mobil.

Aletta berhenti terkekeh, melirik Dylan. "Huh? Tidak," jawabnya.

"Oh, habisnya kamu tertawa sendiri. Kupikir kamu punya kebiasaan seperti itu saat mabuk," ujar Dylan yang menyamakan Aletta dengan Gea yang punya kebiasaan aneh saat mabuk.

"Tidak, tidak. Kebiasaanku saat mabuk tidak seburuk itu," jelasnya sembari tersenyum tipis. 'Hanya teringat pada Arkhano saja,' sambungnya dalam hati.

"Kamu perempuan pertama yang kuat minum-minum yang pernah kutemui," ujar Dylan membuka obrolan di antara mereka. Sejak tadi, mobil itu sepi karena Gea kehilangan kesadaran akibat mabuk dengan whiskey yang diminumnya hanya satu setengah rocks glass.

"Sungguh? Di New York lumayan banyak perempuan yang kuat minum sampai berbotol-botol. Yah, walaupun keesokan harinya mereka baru merasakan siksaan karena kebanyakan minum-minum."

"Dan kamu pernah mengalaminya?"

Aletta terkekeh kecil. "Sekali," jawabnya sambil mengacungkan jari telunjuk. "Setelah itu, aku tidak sembarangan minum-minum lagi. Uh... bahkan aku masih sangat ingat rasa pengar yang membuatku stress saat itu."

"Yah, kamu tahu... yang berlebihan itu juga tidak baik."

"Kamu benar," jawab Aletta yang mengakhiri pembicaraan mereka di mobil. Sepuluh menit kemudian, mobil Dylan telah memasuki pekarangan rumah Gea.

"Kamu bisa berjalan, Ale?" tanya Dylan seraya membuka seatbelt.

"Bisa. Aku tidak mabuk." Aletta keluar dari mobil tersebut dan menunggu tak jauh dari sana. "Mau aku bantu, Dylan?" tanyanya yang memperhatikan Dylan hendak menggendong Gea.

"Bukakan pintu saja. Aku yang akan membawanya ke kamar," jawab Dylan membawa Gea dalam pelukannya yang hangat. Gadis yang tengah tertidur itu bahkan mencari posisi nyaman, bersandar pada dada Dylan yang bidang.

"Baiklah." Aletta menaiki anak tangga, kemudian membuka pintu yang memang tak pernah dikunci sebelum Gea pulang. Aletta menoleh ke belakang, menatap Dylan yang menggendong Gea dengan santai. "Tidak berat?" tanyanya penasaran.

Dylan menggeleng sambil tersenyum simpul. "Dia seringan bulu," jawabnya sambil menatap Gea yang bersandar dengan nyaman.

Aletta memasang raut terkejut, kemudian tersenyum tulus. "Gea akan melompat-lompat kegirangan kalau mendengarnya."

"Padahal dia tidak berat, tapi suka sekali melakukan diet," heran Dylan yang mulai menaiki tangga melingkar satu per satu.

"Yah... para perempuan memang seperti itu. Lagipula kurus belum tentu tidak sehat dan gemuk belum tentu berpenyakit. Aku yakin, Gea telah mengatur dietnya agar menjadi diet yang sehat."

"Dia memang melakukan itu. Hanya saja aku khawatir karena dia pernah melakukan diet ketat."

"Gea pasti punya alasan yang jelas untuk melakukan itu."

Dylan tertawa sejenak. Matanya memandang plafon, mengingat kenangan yang mengkhawatirkan saat itu.

"Waktu itu kami baru berpacaran dan sering sekali menghabiskan waktu untuk makan bersama. Beberapa hari kemudian, kakak tingkat yang suka menawarinya sebagai model menghubungi Gea untuk menjadi modelnya lagi untuk perlombaan antar kampus yang akan dilaksanakan satu minggu lagi."

"Oh, saat itu!" Aletta menatap Dylan dengan tatapan tak percaya. "Yang benar saja... kalau aku di posisi Gea, aku juga akan melakukan hal yang sama. Makan setiap hari tanpa diatur dan tiba-tiba dihubungi untuk menjadi model perlombaan yang cukup bergengsi. Menyentuh nasi pun rasanya tak mau."

Dylan lagi-lagi tertawa. "Sekarang aku tahu kenapa kalian bisa menjadi sahabat selama bertahun-tahun. Jawaban kalian pun sama."

Aletta menanggapinya dengan kekehan kecil. Mereka berbelok ke arah kiri, di mana kamar Gea berada. Aletta membuka pintu kamar Gea, kemudian Dylan yang menggendong Gea masuk ke sana.

"Kamu mau apa?" tanya Dylan pada Aletta yang ikut masuk ke kamar Gea.

"Tidur di sini," jawab Aletta kebingungan.

"Kamu serius?" Dylan meletakkan Gea dengan penuh hati-hati di atas ranjang. "Besok pagi kamu bisa babak belur karena ditendang olehnya," sambung Dylan sambil menutupi tubuh Gea dengan selimut.

"Ah, astaga... aku tidak tahu kalau kebiasaannya saat mabuk begitu buruk," ujar Aletta yang terdiam tak jauh dari pintu kamar. Dia tak pernah minum-minum dengan Gea sebelumnya karena saat itu masih SMA. Ini kali pertama mereka minum bersama.

"Malam ini tidurlah di kamarmu. Aku tidak ingin mendengar Gea yang merasa bersalah karena telah menendang sahabat yang paling disayanginya sampai babak belur," ujar Dylan yang setelahnya mencium kening Gea. "Selamat malam, Sayang. Telepon aku saat kamu sudah bangun," bisiknya pada Gea.

Aletta mengangguk-angguk. "Baiklah, aku akan tidur di kamarku saja malam ini. Omong-omong, kamu akan pulang, Dylan?"

"Tentu saja. Memangnya aku tidak punya rumah?" ujar Dylan menghampiri Aletta mengajaknya untuk keluar dari sana.

"Bukan begitu maksudku. Kukira kamu akan menginap."

"Kamu ingin aku babak belur?" tanya Dylan dengan alis yang mengerut. Dia menggeleng-geleng. "Tidak, tidak... cukup sekali tubuhku remuk karena ditendang Gea saat dia mabuk."

Aletta tertawa terbahak-bahak. "Kamu dan Gea pasti sangat tersiksa saat itu. Jadi, ucapan mu yang tadi itu berdasarkan pengalaman pribadi, huh?"

"Tentu saja." Dylan mengangguk mantap. "Aku tidak akan bisa mengatakannya kalau tidak pernah mengalaminya secara langsung." Dia membuka ponsel dan mengecek jam. "Aletta, sepertinya aku harus bergegas pulang."

"Oh, baiklah. Rumahmu jauh?"

"Bukan rumah, tapi apartemen. Tidak terlalu jauh, tapi akhir-akhir ini mereka memberlakukan jam malam. Itu cukup menyulitkan bagiku yang sering pulang malam," jawab Dylan berjalan terburu-buru.

"Kenapa tidak mengajukan petisi saja?"

"Sudah, tapi entah kenapa belum ada tanggapan dari pemilik apartemen. Kalau mereka masih memberlakukan jam malam sampai dua minggu ke depan, lebih baik aku pindah saja."

"Kamu akan kerepotan. Tidak menginap di sini saja?" tawar Aletta setelah mendengarnya. Gea pasti tidak akan keberatan, kecuali jika orang tuanya tiba-tiba pulang. Gea pasti memilih untuk mengungsikan Dylan daripada kekasihnya itu dimarahi habis-habisan.

"Kamu ingin aku babak belur?"

"Maksudku di kamar yang lain. Hei, rumah ini ada banyak kamar kosong, kan?"

"Nah, lebih baik aku tidur di apartemen daripada tidak bersama Gea padahal ada di satu atap," ujar Dylan menuruni anak tangga. Sementara Aletta berhenti di tangga teratas.

"Baiklah, baiklah. Hati-hati dan terima kasih, Dylan!"

"Ya! Besok pagi aku akan menghubungi bibi agar membuat obat pengar untuk kalian berdua!" seru Dylan menuruni anak tangga dengan cepat sambil melambaikan tangan tanpa menoleh.

———