webnovel

Keributan

***

Aletta melenguh dalam tidurnya yang terganggu. Bukan karena cahaya matahari yang menembus dari celah-celah gorden, bukan pula karena kicauan burung ataupun alarm yang dia setel pukul 08.30 WIB, dan bukan pula karena rasa pengar.

Aletta menarik napas panjang dalam tidurnya, kemudian membuka mata perlahan. Mengangkat tangan kanan untuk menghalangi penglihatannya yang langsung disambut dengan cahaya terang dari lampu dan sorot matahari. Sementara tangannya yang lain meraih ponsel yang tak jauh dari sisinya.

07.51 WIB. Rasanya dia baru saja tidur.

Aletta menyibak selimut, menjejakkan kaki di lantai yang dingin karena pendingin ruangan yang disetelnya di suhu 17°C. Kakinya melangkah menuju kamar mandi dan mencuci wajah sekilas sebelum akhirnya keluar dari kamar untuk mencari dalang dari keributan yang mengganggu tidurnya.

Keributan itu memang memekikkan telinga saat Aletta keluar dari kamar. Tidak heran. Dari dalam kamar saja sudah terdengar sayup-sayup, apalagi saat keluar.

"Berani kamu sama Mama?!"

"Memangnya apa yang perlu ditakuti dari Mama yang jarang pulang ke rumah dan tiba-tiba mengurusi kehidupan putrinya yang jarang ditemui?"

"Gea Agustin!"

"Tidak usah sok-sokan peduli, Ma! Gea tidak butuh kepedulian Mama!"

Aletta memicingkan mata, melongok ke lantai bawah di mana Gea dan Tina, mama Gea, sedang adu mulut.

'Haruskah aku turun?' batin Aletta memperhatikan keduanya yang tak mau mengalah dalam perdebatan. Dia menghela napas pelan. 'Turun saja, lalu lerai mereka.'

Aletta melangkah perlahan, turun mengitari tangga dengan wajah seolah tak tahu dan tak mendengar apapun. Semakin ke bawah, semakin teriakan itu mengganggu pendengarannya. Anehnya, dengan suara yang memekikkan telinga seperti itu, tidak ada satupun pekerja rumah yang keluar untuk melerai. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan kejadian semacam ini sehingga memilih untuk tak peduli lagi.

"Mama tidak perlu ikut campur dengan kehidupanku! Urusi hidup Mama dan selingkuhan Mama saja!"

"Gea!" Tina mengangkat tinggi dagunya. "Dari siapa kamu belajar bicara seperti itu?"

Gea menghela napas gusar. "Dari siapa lagi? Tentu saja dari Mama!"

Jantung dan mata Aletta rasanya mau copot saat tangan Tina terangkat ke udara untuk menampar Gea yang sudah memejamkan mata, siap untuk ditampar.

"Tante Tina!" seru Aletta sambil berlari ke arah mereka. Tangan Tina tertahan di udara. Mereka menoleh berbarengan pada Aletta yang tinggal beberapa langkah lagi sampai di hadapan keduanya.

"Ale," gumam Gea tak mengalihkan tatapan dari gadis yang memakai piyama hitam dengan rambut panjang yang diikat asal.

Rahang Tina menggertak. Dia mendengus kasar, lalu menurunkan tangannya yang tertahan di udara.

"Selamat pagi, Tante! Sudah lama tidak bertemu," ujar Aletta sambil tersenyum. Sesekali dia melirik Gea yang hanya menatapnya saja.

"Aletta," sapa Tina sambil tersenyum tipis. "Memang sudah lama kita tidak bertemu. Kamu ke mana saja?"

Sudut bibir Aletta berkedut. Dia menunduk sekilas, kemudian menjawabnya, "New York, Tante. Sudah delapan tahun. Ale kira Tante sudah tahu dari Gea." Gadis itu melirik Gea yang baru saja merotasikan mata.

Tina melirik Gea yang langsung menatapnya tajam. Seolah mengatakan, "Bagaimana bisa diberitahu kalau setiap pulang Mama hanya mencari ribut? Dan memangnya... berapa kali Mama pulang dalam setahun?"

Tina menatap Aletta lagi sambil tersenyum simpul. "Mungkin Tante lupa. Kalau begitu, menginap lah dengan nyaman. Beritahu pekerja di rumah ini kalau kamu membutuhkan sesuatu. Auguste tidak membayar mereka untuk bermalas-malasan," ujar Tina sedikit menyinggung Auguste, papa Gea.

Aletta mengangguk singkat seiring dengan kepergian Tina yang menuju kamar utama di lantai atas. Dia melirik Gea, sebelum akhirnya menoleh penuh padanya.

"Mungkin tante lupa, mungkin tante lupa," cibir Gea memajukan bibir. "Lupa apanya? Memang tak pernah kuberi tahu karena dia selalu pulang untuk mencari ribut! Lalu apa katanya tadi? Auguste tidak membayar mereka untuk bermalas-malasan? Seperti pernah bertemu dengan papa saja!" Gea berdecak sebal dengan sebelah tangan yang berkacak pinggang.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Aletta yang mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu.

Gea menggeleng pelan seraya berjalan menuju dapur, dibuntuti oleh Aletta.

"Hari burukku dimulai kalau salah satu dari mereka pulang," jawabnya sarkas.

Aletta hanya mengangguk-angguk kecil karena tak tahu harus menjawab apa.

"Omong-omong, terima kasih, Ale. Berkatmu aku tak perlu memakai make up tebal untuk menutupi bekas tamparan."

"Memangnya kamu mau pergi ke mana?" tanya Aletta peka.

"Aku mau ke kampus untuk memberikan tugas."

"Tugas akhir?"

"Bukan. Tugas kelompok yang ada padaku. Tugas akhir masih lama, aku sempat cuti beberapa bulan waktu itu."

"Katakan padaku kalau kamu butuh bantuan. Aku akan membantumu untuk menyelesaikan studi S2 dengan cepat."

"Tentu. Kamu sudah ada di sini dan aku akan memanfaatkan mu dengan baik, Magister." Gea meledek Aletta yang telah menyelesaikan studi S2-nya dengan nilai yang sangat memuaskan di New York.

Saat memasuki dapur, pandangan Gea tertuju pada mangkuk berisi sup yang terletak di meja bar. Dia mengambil semangkuk sup itu, kemudian menghangatkannya di oven. Sementara Aletta duduk di kursi tinggi sembari memperhatikan Gea.

"Dylan memintamu untuk menghubunginya saat kamu bangun," ujar Aletta setelah terdiam lama, menyampaikan apa yang didengarnya semalam.

Gea mengangguk singkat, kemudian mengeluarkan semangkuk sup yang telah dipanaskan dari oven. Dia membagi sup itu untuknya dan Aletta, kemudian meletakkannya di meja bar.

"Aku sudah menghubunginya. Tujuanku ke bawah memang untuk mengambil sup karena Dylan menyuruhku, tapi malah bertemu dengan nenek lampir itu," sungut Gea yang setelahnya menyeruput sup tanpa sendok. Aletta menatapnya sejenak, lalu mengikuti apa yang Gea lakukan.

Gea meletakkan mangkuk yang telah kosong itu dengan kasar. "Tadinya aku mau membangunkan kamu, tapi tidak jadi. Kupikir kalau kamu merasa pengar, nanti juga bangun sendiri. Ternyata bukan rasa pengar yang membangunkan mu, tapi keributan yang dibuat oleh kami. Aku minta maaf telah mengganggu tidurmu, Ale."

"Tidak masalah. Memang sudah waktunya aku bangun," sahut Aletta mengambil mangkuk milik Gea, lalu turun dari kursi tinggi menuju wastafel untuk mencuci mangkuk-mangkuk itu. "Aku akan mengantarmu ke kampus kalau kamu tidak keberatan," ujar Aletta lagi pada Gea yang tengah menumpu wajahnya pada meja.

"Serius? Kamu bisa mengemudikannya dengan baik, kan?" tanya Gea yang teringat pada mobil mewahnya.

Aletta mengangguk singkat. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mencuci dua buah mangkuk. Setelahnya, dia membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa bahan dari sana.

"Kamu mau apa?" tanya Gea ikut turun dari kursi dan menghampirinya.

"Membuat sarapan untuk kita," jawabnya sembari membuka plastik yang membungkus selada. "Yang tadi itu bukan sarapan, tapi obat pengar. Jadi, kamu bersiap-siap saja dan aku akan membawakan sarapan ke kamar. Ini pelayanan VIP untuk menghibur sahabatku, oke?"

"Aaa, Alee...!" Gea menggelayut manja pada Aletta sambil tersenyum lebar. "Aku akan bersiap-siap! Terima kasih, Ale!" serunya yang setelah itu berlari kecil menuju kamar untuk bersiap-siap pergi ke kampus. Sementara Aletta mengamati kepergiannya sambil terkekeh kecil, sebelum akhirnya sibuk di dapur tanpa seorang pun yang membantu.

***

Aletta menaikkan kacamata hitam, lalu menoleh pada Gea yang sedang membuka seatbelt.

"Tidak lama, kan?"

"Tidak." Gea menunjukkan map plastik berwarna biru yang berisi tugas kelompoknya. "Aku hanya menyerahkan ini kepada dosen. Tapi, untuk jaga-jaga, kamu parkir saja. Takutnya ada beberapa revisi yang diperlukan."

"Kalau begitu, lebih baik aku parkir saja." Aletta melihat sekelilingnya. "Tempat parkir masih jauh dari sini?"

"Tidak, kamu tinggal belok kiri saja. Kalau bosan, pergilah ke kafe yang tak jauh dari tempat parkir." Gea membuka pintu mobil, lalu melongok lagi pada Aletta. "Oh, kartu debitku ada di dashboard. Gunakan saja kalau kamu ke kafe. Aku pergi dulu, Ale!" serunya yang langsung menutup pintu dan berjalan cepat masuk ke Fakultas Ekonomi dan Bisnis di salah satu universitas terkenal.

"Ya, ya." Aletta mengangguk-angguk. Tangannya memegang kemudi mobil sambil mencari tempat yang Gea sebutkan tadi. "Dia bahkan tidak memberi kesempatan bicara padaku," sambungnya sambil tersenyum kecil.

Mengikuti petunjuk yang Gea sebutkan tadi, mobil mewah berwarna kuning itu berhasil masuk ke tempat parkir dengan aman dan selamat.

Aletta tidak mematikan mobil karena dia tidak memiliki niat untuk pergi ke kafe. Dia benar-benar menunggu Gea di mobil. Gadis berkacamata hitam itu tersenyum geli saat mengingat dia mengendarai mobil, tetapi belum memiliki SIM Indonesia karena sudah delapan tahun tidak tinggal di sini. Namun, dia memiliki SIM Amerika Serikat walaupun tak akan berlaku jika saja mereka kena tilang.

Aletta mengambil ponsel yang berada di tas kecil, lalu membuka beberapa sosial media yang username-nya disamarkan. Sebab itulah, tidak ada satupun teman-teman sekolah, kecuali Gea, yang mengetahui kondisinya dengan baik saat dia tinggal di New York.

Memang tidak adil. Aletta bisa mengintai orang-orang yang dikenalnya dari sosial media, tetapi orang-orang itu tidak bisa mengintainya karena nama samaran yang terjaga kerahasiaannya oleh dirinya dan Gea saja.

***

Waktu berlalu dengan cepat. Gea kembali dengan tersenyum lebar tanpa membawa map plastik berwarna biru yang tadi dibawanya.

Pintu mobil terbuka. Gea langsung membanting tubuhnya di atas kursi mobil. Gadis itu menoleh pada Aletta.

"Tidak ada revisi! Terima kasih, Tuhan." Gea menghela napas lega dan bersandar dengan nyaman.

Aletta ikut senang mendengarnya. "Kamu punya banyak waktu luang sekarang."

"Setidaknya untuk beberapa minggu," balas Gea tersenyum tulus. "Nilai kelompokku yang tertinggi."

"Itu bagus. Kalian sudah mengerjakannya dengan baik." Aletta memegang stir, kemudian mengemudikan mobil mewah yang keluar dari area parkir dan melewati Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis. "Mau ke kafe?" tanya Aletta menoleh pada Gea saat mobil benar-benar telah keluar dari area universitas.

"Tunggu sebentar." Gea mengeluarkan ponsel, kemudian membuka Google. Dia mencari rekomendasi kafe yang mampu membuat perut dan mata mereka kenyang. "Kurasa...." Gadis itu menggantung ucapannya saat melihat notifikasi dari grup Line Alumni SMA.

Aletta yang menunggu ucapan Gea pun menoleh sekilas, mengangkat sebelah alis karena penasaran. "Kurasa apa?" tanyanya.

"Ale, ada rapat reuni alumni."

Tubuh Aletta tersentak kecil. Bibirnya berkedut. "Alumni mana yang kamu bicarakan? Kita satu sekolah sejak sekolah dasar," balasnya sedikit gugup, tetapi cukup penasaran juga.

"SMA, Ale, SMA!" seru Gea sambil menggerakkan jari di atas layar, membalas pesan di Grup Line Alumni SMA.

Manik cokelat Aletta yang sempat bergetar melirik Gea sekilas. "Memangnya kenapa kalau ada rapat? Kamu mau ikut?"

"Tentu saja!" Gea berseru dan menoleh pada Aletta dengan semangat. "Aku akan mengajukan diri sebagai panitia tambahan!"

"Kamu serius?"

Gea mengangguk berkali-kali. "Jadi, bawa aku ke Kafe Guatemala yang tak jauh dari sini! Aku akan memandu mu lewat Maps!"

Aletta terdiam sejenak. Dia menggigit tipis bibirnya yang berwarna plum, kemudian menghela napas pasrah begitu mendengar Maps yang telah diaktifkan.

"Baiklah, baiklah." Aletta pun memasang tajam pendengarannya untuk mengikuti arahan dari Maps. Sementara Gea terus memainkan ponsel, membalas pesan-pesan yang ada di Grup Line Alumni SMA, sampai akhirnya anak itu menanyakan sesuatu yang mulai membuat jantung Aletta berdegup kencang.

"Apa kamu mau ikut acara reuni, Ale...?"

———