webnovel

Gadis Misterius

"Jesus! Tolong aku."

Abel harus melakukan sesuatu. Jangan sampai Tristan memergokinya dengan posisi tak lazim bersama Kevin. Dia tidak mau semuanya jadi tambah rumit. Tapi sepertinya Kevin menginginkan lain.

"Kevin, lepasin enggak? Atau kamu bakal--"

"Bakal apa?"

Abel menggeram kesal. Sementara langkah kaki itu semakin dekat. Tidak ada waktu lagi, dia harus berpikir cepat. Secara mengejutkan sebuah ide terlintas di pikirannya. Ide yang mungkin buruk, tapi bisa jadi membantunya. Tanpa pikir panjang dan tanpa di duga Abel mengecup Kevin di bibir. Di bibir!

Abel tahu dia sudah gila. Otaknya sudah tidak waras. Tapi ini jalan satu-satunya agar Kevin melepaskannya. Paling tidak Kevin bisa melonggarkan pelukannya di tubuh Abel. Seketika Kevin menahan napas saat merasakan rasa dingin di bibirnya. Dia terbelalak tidak percaya dengan apa yang diperbuat Abel.

Namun setelah Kevin sadar bahwa Abel benar-benar menempelkan bibirnya, pria itu melonggarkan pelukannya, dan berakhir di pinggang wanita itu. Saat Abel mengira idenya berhasil, tapi Kevin justru menggunakan kesempatan emas ini, untuk memiringkan kepalanya, membuat posisi bibir mereka menjadi pas. Detik berikutnya saat dengan tidak terduga bibir Kevin bergerak, Abel menyadari bahwa idenya salah total. Dia malah memasukan dirinya ke mulut buaya.

Abel memejamkan matanya, menahan kedua tangannya di pundak Kevin. Dia harus benar-benar melepaskan diri sebelum dia terbuai oleh Kevin. Dengan sekali hentakan, Abel menarik kepalanya, mengambil ancang-ancang lalu membenturkan kepalanya ke kening Kevin dengan keras. Seketika Kevin mengaduh kesakitan. Disaat itulah Abel dapat memisahkan dirinya, berdiri tak seimbang sambil memegangi keningnya. Kepalanya mulai berdenyut saat Tristan dan bu Gusti menyingkap tirai itu.

Abel menghela napas, waktu yang tepat.

"Bel, kamu kenapa?" Tristan menyentuh pundak Abel. Wanita itu berusaha berdiri tegak tapi justru lantai rumah sakit terlihat bergelombang.

"Aku enggak apa-apa." Ringis Abel, tangannya memegangi lengan Tristan. "Aku mau ke toilet."

***

Abel menyembunyikan diri. Dia mengatur degup jantungnya yang berdebar kencang. Rasanya benda itu mau keluar dari rongganya. Perlahan jemarinya menyentuh bibir. Semuanya telah banyak berubah. Tapi sentuhan itu.. Masih tetap sama. Rasanya seperti baru kemarin. Bagaimana bisa Abel masih mengingat segala tentang Kevin, di saat dia sudah mati-matian untuk move on. Oh ya, seharusnya bukan move on tapi lets go. Karena sepertinya Abel masih diam di tempat tak bergerak

Dia juga tidak tahu, apakah idenya butuh penyesalan atau tidak.

Tangannya tertahan saat memutar kunci toilet oleh suara seseorang.

"Ka Kevin baik-baik aja kok Bu," Abel menempelkan telinganya di balik pintu. "Iya, Lily masih di rumah sakit kok jagain Ka Kevin... Iya bu.. Iya.. Mas Tristan? Ada juga kok."

Hah? Kenapa gadis itu menyebut nama Tristan dan Kevin. Karena penasaran Abel membuka sedikit pintu toilet berharap dia bisa melihat penilik suara itu. Abel menyipitkan mata. Seorang gadis yang sedang menghadap cermin wastaffel. Dia Lily. Gadis yang bersama Kevin tadi.

"Aku pulang sama pak Ridwan, Bu.. Iya ke rumah ka Kevin.. Iya Bu.."

Abel masih terus mendengarkan percakapan gadis itu lewat telepon.

"Iya ibu Rindaku sayang, tenang aja, Lily bisa jaga diri dan jaga Kak Kevin kok. .. Tenang aja ya, Bu, Mas Tristan juga jaga Lily sama Kak Kevin."

Dengan cepat Abel kembali menutup pintu toilet saat gadis itu berbalik badan. Abel menggigit bibir bawahnya, menatap lantai toilet yang basah nampak berpikir. Otaknya mendadak penuh pertanyaan. Siapa gadis bernama Lily itu. Apa hubungannya dia dengan Kevin dan juga Tristan.

***

Walau harinya dipenuhi oleh pekerjaan, sampai-sampai membuat dia kerja lembur, tapi percakapan Lily dengan (yang diduga) ibunya Kevin, masih memenuhi otaknya. Membersihkan dirinya dengan air hangat pun tak membantunya menghilangkan rasa penasaran itu. 

Dua tahun dia menjalin hubungannya dengan Tristan, tapi pria itu sama sekali tidak menceritakan soal gadis bernama Lily. Apalagi hubungannya dengan Kevin. Terlalu sangat jelas jika menganggap itu hanya sebuah kebetulan semata. Jalan satu-satunya untuk mengobati rasa ingin tahunya adalah dengan bertanya pada Tristan.

"Bel, besok mau ikut enggak ke rumah tante Lidia?"

Abel hendak membuka kulkas untuk mengambil jus jeruk, saat Mama Debby bertanya.

"Ada apa, Ma?"

"Anaknya tante Lidia, mau di baptis." Jawab Mamanya. "Kalau enggak ada acara kamu ikut, ya."

"Anaknya yang mana Ma?"

"Daisy, yang baru lulus SMA. Mau kuliah di Amrik katanya. Terus minta di baptis dulu."

Abel mengambil botol beling berisi jus jeruk lalu menuangkannya ke dalam gelas. Duduk di kursi bar mini di dapur.

"Tumben ngajak aku, enggak biasanya."

"Papa mau ada acara," Mama Debby nyengir, ketahuan maksud dari mengajak Abel. "Jadi kamu setirin Mama ya."

"Tuh kan," ujar Abel. "Pasti ada maunya."

"Kamu mau apa enggak nih jadinya?"

"Ya udah, mau nolak nanti jadi anak durhaka."

Abel tidak benar-benar serius dengan perkatannya. Dia akan selalu senantiasa membantu Mamanya.

"Kamu gimana sama Tristan? Lancar-lancar aja kan?"

Mama Debby duduk di depan Abel sambil membawakan brownis panggang kesukaan Abel.

"Lancar kok Ma," jawab Abel.

"Kamu harus lebih sabar menghadapi kesibukan Tristan." Abel memang banyak bercerita pada Mamanya masalah Tristan. "Kamu juga harus bersyukur dapat calon suami yang punya pekerjaan tetap, baik, sayang sama kamu."

"Iya Ma, kalau aku enggak punya stok sabar yang banyak, mungkin hubungan aku sama Tristan udah bubar barisan dari dulu."

Mama Debby tersenyum kecil, sedangkan Abel tertawa. Obrolan sederhana ini pasti akan Abel rindukan kalau nanti sudah menikah dengan Tristan, dan waktu untuk menghabiskan malam bersama dengan Mamanya akan berkurang.

"Kalau ada apa-apa, sesuatu yang mengganjal langsung di bicarakan, jangan di pendam. Lama-lama bakal jadi bom waktu, dan itu akan jadi bumerang buat hubungan kalian berdua."

Nasihat Mama Debby seolah menampar wajah Abel. Atau mungkin firasat seorang ibu tak akan pernah salah. Beliau seakan sedang mengetahui permasalahan putri semata wayangnya. 

Abel terdiam, Mama nya benar. Dia harus segera menanyakan segala pertanyaan yang bersarang di kepalanya pada Tristan. Atau mungkin Kevin.

***

Acara pembaptisan sudah selesai. Abel mencoba berkeliling rumah tante Lidia yang cukup besar untuk menjamu para tamunya. Sesekali Abel mencicipi makanan yang disajikan di sana. Kemudian kembali melihat-lihat. Tidak banyak yang dia kenal di sana, selain tante Lidia dan Om Mikail selaku tuan rumah sekaligus teman Mamanya.

Langkah kakinya tertahan saat kedua bola matanya melihat seorang gadis yang dia kenal, sedang berdiri sendirian. Lily. Ya, ingatan Abel masih bagus. Dia tidak melupakan paras gadis cantik itu. Rambutnya yang coklat ikal tergerai indah.

Perlahan Abel mencoba mendekati Lily. Dengan gugup Abel mengusap telapak tangannya. Dia mengambil napas dalam, mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya dia menyapa.

"Lily."