webnovel

Gadis bernama Lily

"Lily."

Gadis itu menolehkan kepalanya. Sempat tertegun melihat Abel berdiri di hadapannya. Dia meneliti Abel dari ujung rambut hingga ujung kaki, merasa pernah melihat Abel tapi entah di mana. Dia tidak ingat.

"Aku Arabella."

Dengan senyum Abel mengulurkan tangannya. Lily tampak ragu tapi akhirnya gadis itu menyambut uluran tangan Abel.

"Lily," jawab Lily.

"Emm kita pernah ketemu di rumah sakit." Abel mengingatkan. Detik berikutnya sebuah ingatan datang pada Lily. Dia ingat. Dia bertemu dengan Abel di rumah sakit.

"Oh ya, saya inget." Mata gadis itu berbinar karena sebuah ingatan datang padanya.

"Kamu.. Kenal sama Daisy?" Apalagi yang bisa  Abel tanyai selain ini. Setidaknya ini baru bab pembukaan.

"Saya temannya Daisy. Pernah satu sekolah waktu SMP."

Teman sekolah? Berarti usianya sama dengan Daisy, masih 17 tahun. Mengetahui fakta bahwa Lily anak remaja, Abel bersorak riang. Cuma gadis kemarin sore, pasti tidak ada hal istimewa dengan Kevin.

"Tante.. Tahu darimana nama saya?"

Hah? Enggak salah dia bilang tante. Pikir Abel. Mungkin memang sudah waktunya dia berkunjung ke klinik kecantikan untuk perawatan anti penuaan dini.

"Dari Kevin," jawab Abel. Tanpa diperintah satu tanganny terulur mengusap pipinya. Meraskan tekstur kulitnya yang di rasa masih mulus. Setidaknya dari jerawat.

"Kevin?" Lily menyipitkan mata, seolah nama Kevin adalah sebuah kata dari bahasa asing yang tak diketahui artinya. "Tante siapanya Kevin?"

Awalnya Lily berdiri santai, tapi kini tubuhnya menegang. Badannya menghadap Abel seutuhnya.

"Emm temen.. " jawab Abel ragu. "Temen kerja.. Satu kantor." Terang Abel kembali. Merasa bingung sendiri dengan raut wajah Lily yang terkejut.

Abel tidak tahu apakah dia baru saja salah bicara atau apa. Karena Abel mendapati Lily hanya berdiri tegak memberinya tatapan yang sulit diartikan. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan.

"Maaf tante, kayanya saya harus pergi."

"Tunggu, tunggu." Dengan cepat Abel menaham Lily yang akan pergi dengan menangkap lengan gadis itu. "Saya boleh tanya sesuatu?"

Lily menatap tangannya yang di genggam Abel. Menyadari bahwa lawan bicaranya seperti tak nyaman di sentuh, Abel melepaskan gemggamannya. Tahu kalau Lily tak akan menjawab, Abel harus bertanya pada point pentingnya.

"Kamu sendiri siapanya Kevin? Dan kenapa kamu kenal sama Tristan?"

Abel malah semakin bingung dengam reaksi Lily yang menegang di tempat. Sepertinya dia sama sekali tidak bersikap galak. Dia biasa-biasa saja. Tapi Lily seolah memberi jarak antara dia dan dirinya. Seolah Abel makhluk berbahaya yang patut untuk dijauhi.

Abel menarik napas saat Lily melesat pergi begitu cepat, meninggalkan pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Baru akan mengejar Lily, niat Abel tertahan oleh dering ponsel yang menyala. Dari Mama. Pasti Mamanya sedang mencarinya.

***

Kenapa begitu banyak pertanyaan untuk Kevin dan Tristan. Sejak pagi sampai menjelang malam begini pesan whatsapp Abel tak di balas oleh Tristan. Dia terus menimang-nimang ponselnya berharap kekasihnya memberinya sedikit pesan. Paling tidak memberitahunya dia sedang apa dan dimana. Sesederhana itu, tapi nampaknya begitu sulit bagi Tristan.

Saat Abel masih berpikir bahwa dia tidak akan pernah menjadi prioritas Tristan, satu notifikasi masuk di layar ponsel. Seharusnya Tristan, tapi kenapa justru nama Kevin yang muncul berkali-kali.

Abel mengernyitkan keningnya, melihat pesan masuk dari Kevin yang hanya berisi stiker boneka memegang bunga. Secara bersamaan dia mendengar bel rumahnya di tekan. Abel mengabaikan pesan Kevin, berlari menuju pintu.

Begitu pintu di buka dia menemukan seorang pria berjaket denim berdiri di depannya. Pria itu menyambut Abel dengam senyuman.

"Dengan ibu Arabella Gasyafani?" Pria yang sedang memegang ponsel itu bertanya.

"Iya, saya sendiri."

"Ini bu ada kririman bunga. Mau di taruh di mana?"

Hah? Tapi Abel tidak melihat setangkai bunga pun yang di bawa si pria ini.

"Di sana Bu, bunganya." Seperti sedang membaca pikiran Abel, pria si pengantar bunga menjulurkan tangannya ke arah luar, kemudian memimpin Abel di depan.

Abel mengikuti langkah si pengantar bunga, dan saat itu juga dia menganga. Matanya melotot, mendapati rangkaian bunga besar sekali bertengger di atas mobil pick up.

"Ini Bu, kira-kira bisa saya turunkan sekarang?"

Gila! Dia tidak memesan rangkaian bunga apapaun, dan Mamanya pun mungkin tak akan pernah memesan hal-hal yang tak berguna ini. Mamanya bukan tipe ibu  romantis, yang rela merogoh kocek hanya untuk sesuatu yang akan berakhir menjadi sampah. Tapi kalau bukan Mamanya, lalu siapa yang mengiriminya rangkaian bunga mawar segede gaban ini.

Di tengah-tengah penasarannya. Ponselnya kembali berdering. Kini bukan pesan melainkan panggilan masuk dari Kevin.

"Hallo,"

["Hallo sweet heart. Gimana? Kamu suka sama bunganya?]

Terjawab sudah siapa pengirim rangkaian bunga raksasa ini. Ternyata pelakunya adalah Kevin.

"Kamu apa-apaan sih Vin, di rumah aku enggak ada yang meninggal."

["Loh kok, meninggal sih? Aku kan ngirimin rangkaian bunga mawar sebagai lambang cinta, bukan bunga kamboja"]

Abel berdecak, lalu satu tangannya dia taruh di pinggang. Makin hari kelakuan Kevin semakin di luar jangkauannya saja. Bagaimana bisa dia memiliki ide konyol seperti ini.

"Tapi ini gede banget Vin,"

["Ya bagus dong, itu artinya cinta aku sama kamu juga besar"]

"Vin, bisa enggak bunganya kamu bawa pulang lagi?"

["Enggak bisa dong Bel, aku udah bayar mahal. Jadi kamu harus nerima."]

Abel meringis, lalu memijat keningnya yang mulai berdenyut. Di sana terlihat pria si pengantar bunga berdiri tidak sabaran. Menatap Abel penuh awas. Lalu pria itu meminta jawaban pada Abel tentang nasib rangkaian bunga tersebut.

"Oke, aku bakal terima bunganya, tapi ada syaratnya."

["Ya ampun Bel, pake syarat segala."]

Terdengar nada tak suka di sebrang sana.

"Mau apa engga nih?"

Kevin mengembuskan napas, tidak ada pilihan lain selain menerima syarat dari Abel.

["Oke, apa syaratnya Bel?"]

Abel menyeringai saat Kevin menyetujui ajuan syarat darinya. Dia memang harus mendapatkan segala jaaaban atas semua pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Sedangkan kekasihnya masih saja sibuk di luar sana.

"Aku mau tahu apa hubungan kamu dengan gadis bernama Lily dan juga... Tristan." Ucap Abel. Detik berikutnya ada keheningan yang panjang. Abel mengerutkan kening mengira sambungan telepon terputus, dia menjauh kan ponsel dari daun telinganya untuk memeriksa. Telepon masih tersambung tapi Kevin diam saja, entah kenapa.

"Vin, kamu enggak pingsan kan?"

Sebelum Abel mendapat jawaban dari Kevin, dia melihat sorotan lampu mobil dari kejauhan, semakin lama mobil itu semakin dekat. Abel baru menyadari siapa pemilik mobil tersebut saat kendaraan itu terparkir persis di sisi rumahnya.

Abel menahan napas, panik saat lampu itu mulai meredup. Dia terserang kegugupan parah, lalu melihat rangkaian bunga besar masih terpampang jelas di atas pick up, wajah pria si pengantar bunga yang mulai jengkel, dan Tristan berdiri di sana dengan wajah heran memerhatikan bunga mawar segede gaban.

Sambungan telepon dimatikan cepat-cepat. Abel harus memutar otak mencari alasan bagaimana bisa rangkaian bunga tersebut bertengger di depan rumahnya.