Nuke datang pagi-pagi sekali, bahkan dia menjadi orang pertama yang membuka pintu kelas, alasanya adalah mawar merah di lacinya. Dengan hati-hati dia menurunkan wajahnya menghadap laci meja. Bunga mawar itu masih tergeletak di sana, tapi anehnya, posisi benda itu di dalam sana berubah. Mungkinkah si pengirim datang ke kelasnya kemarin?
Nuke menarik benda itu keluar. Kini fokusnya bukan lagi ke pada bunga itu, tapi pada sticky notes merah jambu yang menempel di batang bunganya.
"Aku tidak bersembunyi, aku terlihat. Cobalah rasakan lebih dalam, maka kamu akan merasakan kalau aku dekat denganmu."
"Nuke?"
Nuke melempar dua benda itu kembali ke dalam laci setelah mendapati Mela berdiri di ambang pintu.
"Tumben dateng pagi, nggak bareng Kenzie?"
Nuke menggeleng "Nggak, gue dianter ayah, Kenzie nggak berangkat hari ini, lagi demam katanya. Lo sendiri, tumben berangkat pagi?"
Mela berjalan menuju tempat duduknya "Gue piket, Selasa ini jadwalnya piket pagi." ucapnya sambil meletakan tas di atas meja, lalu berjalan menuju pojok belakang kelas untuk mengambil sapu.
Nuke sudah berusaha keras mengacuhkan benda-benda misterius itu, tapi pada kenyataanya dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Setiap Nuke berniat berhenti, benda-benda misterius lainnya berdatangan.
"Nuke!"
Nuke menoleh menghadap Mela. Tiba-tiba saja cewek itu membanting sapu di tanganya ke lantai "Lo nggak dengerin cerita gue?!"
"Cerita apa?" tanya Nuke bingung, apa dari tadi Mela mengajaknya bicara?
"Ish!" Mela mengerucutkan bibirnya, sambil mengambil sapunya kembali. Nuke keterlaluan, padahal Mela sedang bercerita tentang vokalis band ganteng di perkemahan waktu itu.
"Sory Mel, gue sama sekali nggak denger lo lagi ngomong" sesal Nuke.
"Lo lagi mikirin apa, sih? Oh gue tau, lo pasti lagi mikirin.." Mela menggantung ucapanya.
Jantung Nuke sudah dag dig dug menanti ucapan Mela selanjutnya. Jangan sampai Mela tau kalau dia sedang memikirkan benda-benda misterius itu. Bisa makin rumit kalau dia sampai tau.
"Lo lagi mikirin Kenzie kan! udahlah Ke, nggak usah parno, palingan besok dia udah sembuh."
Nuke tersenyum lega. Dia mengangguk supaya tidak menimbulkan curigaan. Stop Nuke stop, berhenti mikirin orang itu kalau hidup lo nggak mau makin pelik. Namun hati dan pikiran itu dua hal yang berbeda. Otaknya menolak memikirhan hal itu, namun hatinya terlalu memaksa untuk mencari tau.
💌
Dengan langkah kecil, Nuke menyusuri ruang-ruang di supermarket, mencari beberapa jenis buah untuk dibawanya ke rumah Kenzie. Nuke menyerahkan satu lembar uang seratus ribuan utuk membayar lima buah pir dan lima buah jeruk kepada mas kasir.
Disupiri mbak Ojol alias ojek online, Nuke berangkat ke rumah Kenzie. Butuh waktu perjalanan sekitar lima belas menit untuk sampai ke rumah cowok itu.
"Saya udah bayar pake aplikasi ya mbak," ucap Nuke sambil melepas helmnya.
"Oh iya mbak, terimakasih" mbak ojol menerima helm yang diulurkan Nuke, lalu tersenyum padanya sebelum pergi.
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawaban setelah Nuke mengetuk pintu. Seorang wanita muda membukakan pintu, wajahnya persis sekali seperti Kenzie. Kenzie pernah beberapa kali menceritakan tentang kakak perempuanya, dan dapat Nuke pastikan cewek ini adalah kakaknya.
"Nuke ya?" tanyanya. Suaranya sangat lembut seperti suara Kenzie.
"Iya," jawabnya.
"Aku Indah. Jangan tanya aku tau nama kamu dari mana, Kenzie sering cerita tetang kamu," benarkan tebakan Nuke. Nuke sedikit malu dengan kalimat Indah yang terakhir "Mau jenguk Kenzie? Masuk aja, di dalem juga ada temenya Kenzie"
"Temenya Kenzie?" tanya Nuke dalam hati. Namun belum sempat berfikir siapa orang itu, Indah sudah mengajaknya masuk.
Nuke tidak menyangka rumah berukuran minimalis ini tersusun sangat rapi dan indah. Tampak lebih memukau dari rumahnya yang berukuran lebih besar.
"Itu Kenzie" tunjuk Indah.
Mata Nuke membulat sempurna. Lagi! lagi! dan lagi! Nuke menemukan pacarnya itu tengah berdua bersama cewek itu. Amara, teman Kenzie yang indah maksud.
"Hai" sapa Amara seolah Nuke melihatnya dengan Kenzie dalam keadaan baik-baik saja.
"Yaudah, aku tinggal dulu ya. Kenzie, jaga rumah, kakak mau pergi ke toko" ucap Indah. Dia berjalan keluar rumah, membiarkan tiga manusia itu menghuni ruang keluarganya.
Kenzie mengusap wajahnya kasar. Sudah dia duga kejadiannya akan seperti ini. Dia tau Nuke akan datang menjenguknya. Namun dia juga tidak menduga kalau Amara tiba-tiba datang ke rumahnya dengan niat hanya untuk sekedar bermain.
"Sini Ke ikut gabung, kita ngobrol bareng."
Nuke tertawa sini mendengar ajakan Amara "Lo mendingan pulang deh," Nuke berucap sengit. Wajah Amara seketika berubah menjadi masam.
"Nuke" panggil Kenzie. Cowok itu semakin dibuat pusing dengan keadaan di depanya. "Gue bisa jelasin," pintanya.
"Lo tenang aja Ke, gue sama Kenzie udah nggak ada ap-" Amara kembali berucap namun langsung di sela oleh Nuke.
"Diem! Gue nggak butuh penjelasan dari lo!"
"Nuke plis! Gue pusing kalau lo marah-marah," Ucapan Kenzie seketika membuat dada Nuke terasa sesak. Untuk pertama kalinya cowok itu menyalahkannya. Nuke menatap nyalang pacarnya itu, berharap cowok itu mengatakan kalai dia baru saja salah dengar.
"Iya Ke, mending lo bantuin gue ngrawat Kenzie aja."
Nuke menatap Amara tajam. Cewek itu benar-benar berniat merusak hubunganya dengan Kenzie "Lo nggak usah repot-repot ngurusin Kenzie. Lo urusin aja keluarga lo yang berantakan, biar nggak ngrepotin orang lain."
Amara tampak berkaca-kaca dengan ucapan Nuke. Dia mengusap kelopak matanya yang mulai basah.
"Nuke! lo nggak boleh gitu," bela Kenzie. Walaupun Nuke tidak suka, tapi tidak seharusnya dia berkata kasar, apalagi ucapanya menyangkut masalah keluarga.
"Lo kok jadi belain dia?" ucap Nuke tidak terima. Emosi sudah mendekati batasnya. Dia siap meledak.
"Gue bukan belain dia!" tegas Kenzie. Lama-lama dia tidak tahan dengan kelakuan Nuke yang teralalu kekanak-kanakan dan mudah sekali marah.
"Lo belain dia! Lo masih sayang sama dia! Iya kan?! Lo keterlaluan Zie. Sekarang lo pilih dia yang pergi, atau gue yang pergi?" serang Nuke tanpa memberi kesempatan untuk Kenzie. Namun dia tidak menduga kalau setelah itu jawab Kenzie lebih menyakitkan.
"Kalau lo mau pergi, yaudah pergi aja."
Nuke terpaku. Sungai-sungai kecil mulai menggenangi kelopak matanya. Dia tidak berani menatap Kenzie, bahkan Kenzie juga enggan menatapnya. Nuke menarik nafasnya dalam, mendekati Kenzie, meletakan sekantong buah disamping cowok itu.
"Semoga cepat sembuh," ucap Nuke lalu segera beranjak ke luar rumah.
Kenzie menghela nafasnya pajang. Pusing di kepalanya semakin terasa saat dia merasa bersalah dengan ucapanya.
"Yang sabar ya Zie. Emm, yaudah, lo mau makan? Biar gue siapin ya?" ucap Amara perhatian. Jujur dia merasa sangat lega, Kenzie membelanya, dan membiarkan Nuke pergi. Itu sebuah kemajuan besar. Amara melihat sebuah pintu terbuka lebar di hati Kenzie.
"Nggak usah Ra, gue mau istirahat aja. Mending lo pulang sekarang, keburu malam."
Amara tidak keberatan, setidaknya karena Kenzie mengusirnya secara halus "Ya udah, Gue pulang ya, semoga cepat sembuh Kenzie." Amara tersenyum senang, hari ini sudah cukup membuatnya sebagai seorang pemenang.
💌
Berkali-kali Nuke mengusap air matanya, berusaha baik-baik saja agar orang yang berlalu lalang tidak menatapnya kasihan. Hari sudah mulai gelap, sementara seragam sekolah masih melekat ditubuhnya. Ibunya sudah banyak kali mengirim pesan, supaya Nuke cepat pulang, dia hanya membalas bahwa sebentar lagi dia akan pulang.
Nuke tidak percaya kalau Kenzie bisa bersikap seperti itu padanya. Dia tidak menyukai Amara karena cewek itu penuh dengan kepura-puaraan, semua sikapnya jelas menunjukan kalau dia masih sangat menginginkan Kenzie. Seharusnya Kenzie melihat itu, bukan malah menganggap Nuke sebagai cewek pencemburu dan overprotektive, yang tidak mau Kenzie dekat-dekat dengan cewek lain.
Nuke kembali mengusap air matanya saat sebuah telfon terhubung ke nomer hp-nya. Tanpa melihat layar handphonenya Nuke mengangkat terlfon itu.
"Hallo?"
"Abab!"
Nuke menahan menafasnya saat mendengar suara dari seberang sana. Tanpa mengucapkan namanya, Nuke tau siapa yang menghubunginya.
"Ada apa, Ken?"
"Ada apa! ada apa! fotokopin essay sejarah gue mana?!" ucap Kenzo dengan nada sewot.
Nuke menepuk jidatnya sendiri. Dia lupa mengembalikan fotokopian milik Kenzo yang Nuke pinjam kemarin. Gawat, essay itu dikumpulkan besok, dan tidak mungkin Kenzo bisa menyontek karena ada beberapa soal yang berbeda untuk setiap anak.
"Ada di rumah gue."
"ABAB! Lo gimana sih, lo balikin nggak sekarang!" Kalau bukan Nuke yang salah, dia pasti sudah marah-marah dengan ucapan Kenzo.
"Tapi gue belum pulang, Ken."
"Jam segini belum pulang! Emang lo lagi di mana? Lagi ngamen? Apa lagi mangkal?"
"Sembarangan banget sih, Ken" Nuke menggerutu kesal. Mulut Kenzo itu memang tipe-tipe mulut yang nggak pernah difitrahin, makanya asal jeplak kalau ngomong.
"Yaudah, gue jemput lo sekarang, lo di mana?"
"Beneran?"
"Menurut loh? ini demi esay gue."
"Oke, gue sharelok sekarang juga."
Nuke memutuskan telfonya, lalu membagi lokasi keberadaanya pada Kenzo. Lumayan tumpangan gratis, dompetnya sangat tipis untuk memesan ojek apalagi taksi.
Lama berselang. Sebuah mobil berhenti di hadapan Nuke. Seorang cowok keluar dari sana. Dia berjalan mendekati Nuke dengan wajah senewen.
"Bener-bener lo ya, Ngrepotin! Ngrepotin! Ngrep-" Kenzo yang berucap gemas langsung menghentikan ocehanya saat melihat kondisi wajah Nuke yang sembab "Lo nangis Bab?"
"Engg-"
"Udah-udah nggak usah dijawab, cepet masuk," sela Kenzo, dia masuk ke dalam mobilnya di bagian sisi kemudi. Nuke yang baru akan masuk, langsung dikejutkan dengan penampakan seseorang dibalik pintu yang dia buka. Galang?
"Hah, mau ngapain lo? Duduk di belakang sana," ucap Galang tanpa ekspresi. Nuke mengerucutkan bibirnya, lalu menuruti perintah Galang. Dimana ada Kenzo, di situ ada Galang. Mereka sangat mencurigakan.
Di sepanjang perjalanan, Nuke terus dibuat risi dengan tatapan dua makhluk di hadapanya lewat kaca gantung. Nuke memalingkan wajahnya menghadap jalanan melalui kaca mobil. Dilihatnya warung-warung kaki lima mulai membuka daganganya, dan beberapa lampu jalan mulai menyala.
"Lo kenapa sih, Ke, akhir-akhir ini lo suka nangis?" tanya Galang tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Siapa yang nangis? gue nggak nangis," elak Nuke.
"Kalau bukan abis nangis, kenapa mata sama muka lo merah? Salah sceancare?" walaupun Galang bodoh, tapi dai tidak terlalu bodoh untuk menyadari sesuatu yang sudah jelas.
"Jujur aja Ke, nggak bakal kita jadiin bercandaan kok," entah kenapa mendengar ucapan Kenzo membuat Nuke meneteskan kembali air matanya. Nuke memang butuh pendengar saat ini, dan mereka berada dalam waktu dan tempat yang tepat.
"Gue.."
Dua cowok itu tidak sabar menanti ucapan Nuke selanjutnya "Lo kenapa? Kenzie ya?" tebak Kenzo, yang langsung dibalas anggukan oleh Nuke.
"Lo diapain sama dia? diselingkuhin?"
"Ya enggak gitu juga, sih, Ken. Jadi.." Nuke menceritakan semua masalahnya dengan Kenzie pada mereka seolah dua cowok di depanya itu adalah sahabatnya yang paling dia percaya. Mereka pendengar yang baik, juga mengerti perasaan Nuke.
Mereka menatapnya paham sekaligus kasihan setelah Nuke menceritakan masalahnya. Kenzo memanggil Nuke saat berhenti di lampu merah. Dengan tanganya, dia memberikan gesture supaya Nuke mendekat.
"Mau ngapain?" tanya Nuke.
"Udah sini."
Nuke mendekatkan dirinya pada Kenzo, dan dengan tidak jelasnya cowok itu mengelus pucuk kepala Nuke.
"Apaan sih Ken" Nuke menjauhkan tubuhnya kembali.
"Katanya, cewek itu kalau nagis suka dielus kepalanya biar tenang" iya, Kenzo pernah membaca artikel seperti itu di internet. Maklum lah, jomblo kurang kreatif.
"Ngaco lo, Darto!"
"Terus, biar lo tenang kudu diapain, dipeluk? Kalau itu sih, gue nggak mau."
"Siapa juga yang mau dipeluk sama lo."
Nuke mendengus kesal, Dia merapikan kembali rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah Kenzo. Tapi benar juga ucapan Kenzo, entah kenapa Nuke merasa lebih baik sekarang. Kadang cowok tau bagaimana cara memperlakukan cewek dengan baik, tapi susah kalau harus menerapkanya pada kehidupan nyata.
"Kalo menurut gue sih, mending lo putusin aja Si Kenzie" usul Galang. Menurutnya, sebaik-baiknya cowok, kalau udah buat cewek nangis, udah nggak pantas lagi disebut cowok baik.
"Enak aja, gue masih cinta sama dia."
"Tapi cinta lo dibalas dengan penghianatan Ke, itu ibaratnya air susu dibalas dengan air comberan."
"Air tuba, Darto!" ralat Galang sambil terkekeh, sementara Kenzo menatapnya tajam.
Nuke menghela nafas kasar. Dia tidak bisa seenaknya memutuskan Kenzie, karena dia yakin Kenzie juga masih mencintainya.
Dua puluh menit perjalanan, mereka sampai di rumah Nuke. Cewek itu angsung kembali ke kamarnya sesaat setelah mengembalikan essay milik Kenzo. Masih terngiang-ngiang ucapan Kenzie beberapa waktu yang lalu. Bahkan sampai sekarang cowok itu belum menghubunginya.
Nuke menenggelamkan kepalanya di balik bantal. Mengistirahatkan sejenak pikiranya. Semua yang sudah berlalu dia coba biarkan berlalu. Dia yakin, hubunganya akan kembali membaik besok.