Sedangkan diluar, Aaron berjalan gontai menuju ibunya di ruang keluarga. Beberapa pembantu tampak sibuk membantu ibunya untuk memindahkan barang-barang dari lantai atas ke lantai bawah. Di lantai atas akan ada beberapa renovasi kecil dan ibunya menginginkan beberapa barang diturunkan ke ruang keluarga. Aaron kemudian naik keatas dan membawa lukisan abad pertengahan yang lebar kanvasnya mencapai satu meter lebih. Beberapa pembantu membawa meja dan guci besar yang terbuat dari keramik menuruni anak tangga. Aaron mengantri dibelakang mereka.
Ibunya memindahkan buku-buku tebal yang semula terletak di laci meja TV ke rak buku yang baru saja ditempel didinding. Rak buku dinding yang praktis itu mula-mula tidak terpakai di lantai atas karena ayahnya lebih sering menghabiskan waktunya dilantai bawah. Jadi buku-buku yang semula berada diatas, ia membawanya ke lantai bawah dan menyimpannya di laci meja TV.
"Kenapa Bethany tidak ikut membantu, ma?" tanya Aaron dengan wajah cemberut setelah ia menyandarkan lukisan yang dibawanya ke tembok. Salah seorang pembantu telah siap untuk memaku dan menggantung lukisan itu. Aaron memegangi anak tangga besi sambil memandangi orang yang naik diatasnya. Sesekali ia mengisyaratkan kalau letak lukisannya sedikit miring.
"Hari ini kan hari kelulusannya, biarkan saja kakakmu itu bersenang-senang dengan teman-temannya. Lagipula, Aaron harus selalu siap siaga jika dimintai bantuan. Aaron kan laki-laki dan harus kuat." Mendengarnya, Aaron semakin cemberut. Beberapa pembantu menahan senyumannya ketika melihat tuan muda mereka yang bertingkah seperti itu. Aaron mengambilkan paku dan mengopernya keatas.
Mendengar putranya yang tidak merespon apa-apa, ibunya berkata lagi, "Kalau Bethany membantu mama, lalu siapa yang menemani kak Lucy dan kak Aisyah?" Wajah putranya seketika menjadi cerah dan menjawab, "Aaron." Ibunya tertawa mendengarnya lalu berkata, "Itu pasti sangat tidak nyaman untuk kak Aisyah karena Aaron laki-laki." Aaron tersenyum menyadarinya. "Iya, mama benar."
Seusainya, ia kemudian menggeser tangga besi itu dan diletakkan disudut ruangan. Nanti tangga besi itu masih akan digunakan lagi untuk mengganti tirai dan lain sebagainya. Seketika Aaron mendapatkan ide baru untuk meloloskan diri dari tanggung jawabnya. Ia menghantam tangga besi itu dan berteriak kencang seakan-akan jemarinya terjepit. Semua pasang mata tertuju kearahnya dan ibunya menunjukkan ekpresi wajahnya yang panik. Ia segera menuju kearah putranya yang terlihat kesakitan itu sambil memegangi jemarinya.
"Apa yang terjadi?" tanya ibunya dengan perasaan khawatirnya. "Jariku terjepit", ucapnya sambil meringis kesakitan. "Ya sudah, cepat sana diobati. Laura, tolong bantu tuan muda mengobati lukanya." Dengan cepat Aaron menyanggahnya, "Tidak usah, ma. Aku bisa sendiri kok." Tanpa mendengar jawaban ibunya, ia segera berlari keluar ruangan. Ibunya tersenyum menyadari kenakalannya untuk kesekian kalinya.
Ia tahu kalau Aaron berbohong sejak dilihatnya jemari putranya itu yang terlihat baik-baik saja. Bahkan semua orang diruangan itu mengetahui akan kebohongan Aaron. Mereka hanya tersenyum sambil menggeleng-nggelengkan kepala. Rumah mewah itu akan terasa sangat sepi jika tanpa keberadaan Aaron dan serangkaian kejahilannya. Tidak apa-apa, setidaknya Aaron sudah sedikit mau membantu, batin ibunya.
Laki-laki muda itu berlari dan bersembunyi di salah satu ruangan. Terlihat seulas senyumannya dan ia meraih tongkat baseball lalu menuju ke arena baseball yang dikelilingi oleh jaring pelindung berwarna hijau. Aaron menekan tombol 'On' pada mesin pelempar bola baseball otomatis dan ia bersiap siaga berdiri beberapa meter jauh didepannya. Dengan mantap ia memegang tongkat baseball dan matanya setajam mata elang memandang kearah lubang mesin itu.
Dalam hitungan detik, serangkaian bola ditembakkan kearahnya. Ia berhasil memukul bola-bola itu tepat sasaran dan terlempar jauh kearah depan menghantam jaring hijau didepan. Hanya sedikit diantaranya yang meleset dan menghantam tubuhnya. Beberapa menit kemudian, pintu dibuka secara perlahan dan terdengar suara kakaknya yang tengah berbicara kepada seseorang, "Aaron pasti ada disini." Bethany berdecak lidah dan berkacak pinggang ketika menyadari dugaannya benar adanya.
"Pantas saja tadi tidak ada, ternyata main disini." Terdengar suara langkah kaki Bethany yang kasar memasuki ruangan luas itu. "Diamlah. Aku sedang berkonsentrasi sekarang. Lagipula tadi aku sudah membantu mama." Aaron tak memandang kakaknya dan terus memukul bola-bola yang menuju kearahnya. "Iya, membantu sangat sedikit sekali. Lihatlah kesana, masih banyak hal yang harus dikerjakan." Aisyah dan Lucy hanya tersenyum menyaksikan pertengkaran antara kakak dan adik itu.
"Ada pembantu kan. Mereka pasti bisa menyelesaikan semuanya tanpa aku." Mendengarnya, Bethany memukul lengan Aaron keras. Ia sangat kesal melihat sikap adiknya itu. "Manja sekali", celetuknya. Lawan bicaranya tak menghiraukannya dan terus memukul bola-bola itu. "Sepertinya tadi mama salah dengar. Bukankah jemari Aaron sedang sakit?" Sebuah suara muncul memasuki ruangan. Semua mata tertuju keasal suara itu. Aaron terkejut menyadarinya. Dua bola melesat dan menghantam tubuhnya. Kemudian ia dengan langkah cepat mematikan mesin pelempar bola otomatis itu dan meletakkan tongkat baseballnya.
Aaron menjatuhkan badannya ke lantai dan mengerang kesakitan sambil memegangi jemarinya. Keempat wanita itu tertawa melihat tingkah palsunya itu. Menyadari kebodohannya, Aaron bangkit duduk bersila dan menunduk malu. "Sepertinya gagal." "Aaron tidak pernah bisa membohongi ibu", ucap ibunya seraya berjalan kearahnya. Ia merapikan baju putranya yang terlihat sedikit kusut itu.
"Apa menu untuk makan siangnya, ma?" tanya Bethany. "Oh iya, berhubung Aaron ingin barbecue, bagaimana kalau kalian sekalian bergabung dengannya? Nanti mama menyusul." Mereka berempat setuju dan berjalan menuju ruangan terbuka disamping bangunan megah itu. Disebelahnya terdapat kolam renang dan diseberangnya terdapat kursi-kursi dan meja beserta dengan alat pemanggangan. Tempat itu memang dikhususkan untuk pesta barbecue di malam tahun baru dan lainnya.
Bethany dan Aaron menuju ke kulkas untuk mengambil bahan-bahan yang akan disate. Sedangkan Aisyah dan Lucy membawakan gelas, piring, dan air minum. Mereka berempat sudah dalam posisi masing-masing lalu Aaron meraih arang yang terletak disamping pemanggangan dan menyalakan api. Ketiga gadis itu sibuk menusuk-nusukkan irisan jamur, tomat, paprika merah dan kuning, zucchini, dan sebagai bahan utamanya adalah daging sapi yang masih segar.
Setelah arang-arang itu siap, Aaron meraih satu per satu tusuk barbeque yang terbuat dari besi stainless itu keatas tempat panggangan. Ia membolak-balikkan barbecue itu secara berurutan hingga matang merata. Melihat paprika yang nyaris terlepas dari tusukan besi itu, ia secara inisiatif meraihnya dan memakan potongan paprika itu. Matanya terbelalak lebar dan wajahnya memerah. Rasa pedas itu menjalar dengan cepat didalam mulutnya. Ia meludahkannya kearah semak-semak hijau yang berada tepat disampingnya dan dengan terburu-buru ia menuangkan air ke gelas.
Ketiga gadis itu terkejut dan menoleh kearah Aaron. Mereka menghentikan kegiatan tusuk-menusuknya sejenak. Bethany mengerutkan kedua alisnya dan berkata, "Apa yang kau makan?" "Paprika." Jawab singkatnya. Bethany tertawa mendengarnya. "Ya jelaslah pedas." Tak lama kemudian, Aisyah memindahkan barbecue yang telah matang keatas piring dan Lucy menyiapkan sausnya. Mereka memakan barbecue itu sambil menunggu Aaron menyelesaikan pekerjaannya. Aaron juga sesekali mengambil satu tusuk barbecue dan memakannya sambil membolak-balik barbecue diatas panggangannya. Ia menikmati barbecue hasil panggangannya dengan posisi berdiri.
Setelah semua barbecue matang, Aaron beranjak duduk disebelah Lucy dan berbaur dalam topik pembicaraan mereka. "Apa kabar dengan Maxim? Apakah kau akan benar-benar meninggalkannya ke Belanda?" tanya Bethany kepada Lucy. Mendengar nama itu, ia sedikit tersedak lalu berkata dengan kesal, "Sudahlah, jangan membahas tentang dia lagi." Bethany tersenyum lalu meraih barbecue selanjutnya. "Bukankah kau pernah sangat mencintainya dan tergila-gila padanya?" Bethany menyikut lengan Aisyah ketika dilihatnya wajah Lucy yang berubah menjadi merah.
"Itu dulu ya. Sekarang aku sangat membencinya." Aisyah tersenyum lalu menimpali, "Belum seratus tahun saja kau sebut bahwa itu dulu. Bagaimana kau ini?" Bethany tertawa dan tos dengan Aisyah. Mereka berdua bersekongkol menjahili Lucy yang baru saja memutuskan kekasihnya itu. "Aisyah jangan ikut-ikutan Bethany ya", kata Lucy yang sudah kesal. Aisyah tersenyum jahil lalu berkata, "Oke, oke. Baiklah. Aku akan diam saja. Bethany, silahkan kau lanjutkan."
"Kalian ini selalu membahas tentang laki-laki", kata Aaron menimpali. "Itu adalah hal yang sangat wajar karena kita adalah para wanita. Para wanita jika berkumpul, yang menjadi bahan pembicaraan adalah shopping ataupun laki-laki", Bethany menjelaskan. Aaron berdecak lidah mendengarnya. Kemudian ia meraih botol bir yang telah kosong dan memutarnya diatas meja. "Kita bermain game saja. Siapa yang ditunjuk oleh botol ini, maka ia berhak menanyakan apapun kepada siapapun yang diinginkannya."
Mereka semua menyetujuinya. Tak lama kemudian, botol bir itu berhenti dengan moncong mengarah kepada Lucy. Ia tersenyum dan bersiap-siap untuk melayangkan pertanyaannya. "Aaron, seberapa parahnya Bethany ketika diputusin sama cowok?" Laki-laki muda itu tersenyum jahil kepada Bethany. Ia akan membongkar semuanya kepada para sahabatnya itu. Bethany mengisyaratkannya untuk menutup mulut dan merahasiakannya.
"Dia pernah minta pindah sekolah karena tidak mau bertemu dengan laki-laki itu dan mogok makan selama lima hari. Tetapi di malam harinya dia diam-diam mengambil makanan di dapur." Aaron tertawa mengingat kejadian itu. Mendengar pengakuan dari adiknya, Aisyah dan Lucy menertawai rekannya itu. Bethany cemberut kepada Aaron. "Itu wajar, waktu itu aku masih seumur jagung. Sekarang aku tidak akan lagi melakukan hal sebodoh itu", belanya.
Ia meraih botol itu dan memutarnya. Kali ini moncong botol itu mengarah ke Bethany. Siasat jahatnya muncul lagi. "Seberapa jauh kau berhubungan saat bersama Maxim?" tanyanya kepada Lucy. Ia menatap tajam kepadanya ketika mendengar pertanyaan itu. "Aku tidak akan menjawabnya." Ketika ia hendak memutar botol itu, Bethany menahan tangannya dan berkata, "Kalau begitu kau harus mendapatkan hukuman." Lucy mengangguk-angguk menyerah.
"Ambilkan apel yang sudah matang untukku." Ia menunjuk pohon apel yang berada tak jauh diseberang kolam renang. Lucy berdecak lidah lalu beranjak dari duduknya. Dilihatnya apel-apel itu masih belum ada yang matang. Hanya ada beberapa saja diatas sana dan ia tidak mungkin bisa untuk meraihnya. Ia mengelilinginya sekali lagi dan didengarnya suara tawa dari ketiga orang jauh disana. Kemudian matanya tertuju kepada satu buah apel yang menggantung tak jauh darinya berdiri. Ia memetiknya dan kembali ke teman-temannya.