webnovel

Kuntawijaya The Legend of Vasavi Shakti

"Masa SMA seharusnya menjadi masa yang indah dan tak terlupakan, namun, kehidupan normal yang selama ini aku dambakan hilang bak ditiup angin topan—". Tak pernah sekalipun terlintas di benak Rakai Yudha Taksaka bahwa kemampuannya dalam melihat hal-hal di luar nalar akan membawanya menuju masalah yang jauh lebih serius. Bertemunya pemuda itu dengan seorang perempuan bernama Sembadra ternyata telah membuka kunci menuju sebuah masalah baru yang berkaitan dengan dendam di masa lalu. Berbekal kemampuan beladiri dan sebuah pusaka yang membuatnya mampu mengontrol api, Rakai memutuskan untuk mencari tahu akar dari permasalahan yang menimpanya. Dengan ditemani oleh Sembadra dan rekan-rekannya, Rakai mulai menguak satu persatu misteri yang ada di depannya. Siapa yang menyangka bahwa ternyata cahaya itu tak selalu baik dan kegelapan itu tak selalu jahat?

darrenlynn_frost · アクション
レビュー数が足りません
23 Chs

Pandhawa Lima

Nun jauh dari Sapta Pratala, terdapat sebuah kerajaan manusia yang terletak di alam gaib. Kerajaan itu merupakan kerajaan yang makmur dan besar, dan sangat terkenal karena memiliki angkatan militer yang kuat. Kerajaan itu bernama Kerajaan Amarta, atau Ngamartapura.

Perbedaan waktu antara alam manusia dengan alam gaib telah berakibat pada usia para manusia yang menghuni Kerajaan Amarta. Kebanyakan dari mereka memiliki usia yang amat sangat panjang, bahkan, konon ada beberapa penduduk yang mencapai rentang usia sampai puluhan ribu tahun. Hal itu terjadi karena alam gaib merupakan alam kekuasaan Bathara Kala, sang penguasa kematian.

Sang Bathara merasa senang dengan adanya manusia yang menghuni daerah kekuasaannya, sehingga ia memberikan kehidupan yang panjang pada para manusia disana. Ia juga menganugerahi mereka tubuh yang tidak akan rapuh meski mereka telah menua sekalipun. Segala pemberian sang Bathara tentu saja memberikan banyak keuntungan bagi bangsa manusia, sehingga mereka bisa membasmi para Bhuta yang hendak masuk ke wilayah mereka untuk mencari mangsa.

Meski terlihat makmur di luar, sebenarnya kerajaan ini memiliki sebuah tradisi mengerikan yang akan terjadi setiap lima ratus tahun sekali. Tradisi itu mereka sebut sebagai Jemparingan, dimana mereka akan memburu seorang anak yang merupakan reinkarnasi seorang ksatria manusia di masa lampau dengan menggunakan busur dan anak panah.

Tradisi Jemparingan ini akan dilaksanakan selama anak itu masih hidup, atau para raja mereka memerintahkan mereka untuk berhenti karena anak itu akan dibunuh oleh para raja sendiri.

Kejam memang, tapi tak bisa dipungkiri bahwa mereka menikmati tradisi itu, karena para raja mereka menawarkan hadiah yang sangat menggiurkan bagi mereka yang berhasil membunuh anak itu. Sebuah gelar kehormatan sebagai seorang ksatria kerajaan dan harta yang melimpah ruah, tentu saja mereka tergiur akan hadiah itu.

Akan tetapi, sudah 16 tahun lebih mereka mengalami kebuntuan, karena anak itu dilindungi oleh entitas berbahaya yang mereka kenal sebagai Ratu ing Jagad Merapi. Ratu itu tidak sendirian, karena ia dibantu oleh penjaga dari Pertapaan Sapta Pratala, sehingga otomatis mereka mengalami kesulitan dalam memburu anak itu. Tak jarang dari mereka yang meregang nyawa akibat dibunuh oleh sang ratu maupun sang penjaga dan pasukan mereka.

~Kuntawijaya~

Raka menatap datar kearah Sembadra dan Srikandhi yang balas menatapnya dengan takut karena kehadiran Asmitha di sampingnya. Ketakutan kedua gadis itu berhasil disadari oleh Raka, membuat Raka duduk semakin merapat kepada Asmitha.

"Apa yang kira-kira ingin kalian bicarakan pada Raka, Dinda Sembadra dan Srikandhi?" Tanya Asmitha dengan lembut. "Ini mengenai para Pandhawa, Yunda Asmitha...." Sembadra menjawab seraya menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah Asmitha. "Pandhawa? Maksud kalian Pandhawa Lima? Pandhawa Lima yang ada di pewayangan itu?" Tanya Raka bertubi-tubi karena heran.

"Ya, benar. Pandhawa Lima yang kami maksud adalah Pandhawa yang disebutkan dalam pewayangan Jawa. Prabu Yudhistira, Prabu Werkudara, Prabu Janaka, Prabu Nakula, dan Prabu Sadewa," jawab Srikandhi yang menatap lurus kearah Raka. Tatapan itu membuat Raka semakin merapat kearah Asmitha, sebelum akhirnya menjatuhkan kepalanya ke bahu perempuan itu.

"Raka, kenapa kamu menempel padaku?" Tanya Asmitha saat kepala Raka jatuh di bahunya. "Hanya merasa sedikit pusing," jawab Raka pelan seraya melayangkan tatapan mengejek pada Sembadra dan Srikandhi. "Lehermu bisa sakit kalau kamu bersender pada bahuku....." Asmitha berkata seraya membaringkan Raka dan meletakkan kepalanya ke pahanya.

Senyuman mengejek Raka berikan pada Sembadra dan Srikandhi saat keduanya menunjukkan reaksi yang berbeda-beda. Sembadra terlihat menutupi mukanya dengan tangan, sementara Srikandhi mendesis kesal seperti kucing. Batin Raka tertawa melihat tingkah laku kedua gadis itu.

"Baiklah, kalau begitu bisa kalian lanjutkan?" Ucap Raka mengagetkan kedua gadis itu. Sembadra dan Srikandhi pun kembali ke mode serius mereka, lalu menatap kearah Raka dan Asmitha. "Para Pandhawa sepertinya memutuskan untuk bergerak sendiri karena kekuatan Raka sudah mulai bangkit," lapor Sembadra.

Asmitha terkejut saat mendengar informasi yang Sembadra berikan, dan hal itu disadari oleh Raka. "Apa maksudmu, Dinda? Bagaimana mungkin mereka memutuskan untuk bergerak sendiri?" Tanya Asmitha dengan nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.

"Sepertinya, ini akibat kegagalan rakyat mereka dalam memburu reinkarnasi Karna. Entah kenapa mereka selalu gagal saat mereka memburu Raka, bahkan sebelum Raka diketahui membangkitkan kekuatannya," jawab Srikandhi mencoba menenangkan. Akan tetapi, jawaban Srikandhi justru memunculkan sebuah pertanyaan bagi Raka sendiri. Pemuda itu menatap datar kearah Srikandhi, sebelum akhirnya membuka mulut.

"Gagal saat memburuku? Aku tidak ingat pernah diburu oleh siapapun, kecuali saat aku pertama kali membuka kekuatanku saat kelas 1 SMP," ucap Raka memberi penjelasan. "Mungkin itu karena ada yang melindungimu, Raka," Asmitha berujar seraya menyisir rambut Raka dengan jemarinya. Raka memejamkan matanya menikmati saat menerima perlakuan itu.

"Itu juga bisa menjadi sebuah kemungkinan, tapi, siapa yang sudah melindungi Sri Raka?" Tanya Jatayu yang sejak tadi terdiam. "Aku tidak tahu, karena aku hanya seorang utusan dari Bathara Surya yang ditugaskan untuk menemukan reinkarnasi Karna sebelum menerima tugas lainnya," Sembadra menjawab seraya menoleh kearah Jatayu.

"Rasanya seperti menjadi buronan saja, kenapa kalian semua mencariku sih? Toh aku juga tidak paham apa yang telah aku perbuat di masa lalu," ucap Raka sinis seraya menatap datar kearah Sembadra. "Bagi para Pandhawa, kau memang adalah buronan, bocah. Tapi, kau bisa mempercayai aku dan Nimas Sembadra, karena kami tidak ditugaskan untuk membunuhmu," ujar Srikandhi mencoba meyakinkan Raka.

"Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian berdua saja malah berpihak pada OSIS?" Raka mencibir dengan sinis. "Kami tidak punya pilihan lain, Raka. Kami bukan termasuk orang yang sanggup untuk menjadi lawan tanding seorang Bathara," Sembadra berkata dengan nada memelas, bahkan menunjukkan ekspresi penyesalan yang hampir membuat Raka terperdaya.

"Raka, sebaiknya kau percaya pada Dinda Sembadra dan Dinda Srikandhi. Biar aku yang menjamin bahwa mereka tidak akan melukaimu sedikitpun," Asmitha ikut berusaha membujuk Raka, membuat pemuda itu terdiam dan mendudukkan tubuhnya. "Baiklah, aku akan mencoba untuk mempercayai kalian karena Asmitha yang menjadi jaminannya. Tapi, jika kalian berpikir untuk berkhianat padaku, aku tidak akan membiarkan kalian lolos!" Ujar Raka disertai nada ancaman yang nyata.

"Kami memang tidak bisa memberikan apapun sebagai jaminan, tapi...." Srikandhi menjeda kalimatnya, lalu menoleh kearah Sembadra yang maju selangkah. "Aku yang akan menjadi jaminannya, Raka, karena dengan ini aku memutuskan untuk memberikan seluruh jiwa dan ragaku untukmu sebagai jaminan atas kepercayaanmu," ucap Sembadra seraya sedikit membungkukkan badannya.

"Nah, bagaimana, Raka? Apa kamu akan menerimanya?" Tanya Asmitha dengan nada lembut. Raka hanya terdiam seraya mencoba bangun dari ranjangnya, dan berjalan menuju jendela yang tertutup dan membukanya. "Raka?" Panggil Sembadra seraya mencoba mendekati pemuda itu, meski niatnya terhalang saat Raka menaikkan tangan kirinya sebagai kode agar jangan ada yang mendekat.

"Aku terima tawaran itu, dan juga, aku harus segera pulang ke rumahku, karena jika perhitunganku benar, maka ini sudah memasuki waktu malam di alam fana," ujar Raka seraya menatap kearah rembulan yang sedang dalam wujud penuhnya. "Perkiraan anda memang tepat, Sri Raka, saat ini di alam fana memang telah memasuki waktu malam," ujar Jatayu membenarkan.

"Jadi, bolehkah aku pulang ke rumahku sekarang? Jika kalian ada perlu denganku, cukup minta saja Sembadra untuk menyampaikan pesan kalian padaku," Raka bertanya seraya berbalik dan berjalan mendekati Asmitha. "Tentu saja, Raka, biar Jatayu yang akan menjadi tungganganmu dalam perjalanan pulang," jawab Asmitha seraya menoleh kearah Jatayu yang sudah berlutut ala ksatria.

"Cukup turunkan saja aku di depan kelasku, karena aku harus mengambil tas ku dan menunggu kakakku menjemput," ucap Raka seraya mendekati Jatayu. "Sendika dhawuh, Raden Pangeran," ujar Jatayu seraya memunculkan sebuah portal dan merubah dirinya menjadi seekor garuda raksasa.

~Kuntawijaya~

Suasana di ruang tahta Kerajaan Amarta tengah memanas akibat kegagalan rakyat dalam menjalankan tradisi Jemparingan. Para raja yang memerintah kerajaan Amarta saling bersitegang akibat perbedaan pendapat. Karena salah satu dari kelima raja itu memiliki dendam yang amat besar kepada target mereka, Adipati Karna. Hal itu membuat keempat raja yang lain cemas akan tabiat raja yang menyandang peringkat kedua tersebut.

"Kakang Prabu, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi! Karna akan segera bangkit, dan kita bisa kewalahan dalam menghadapinya karena Sembadra sudah berkhianat!" Ujar seorang pria bertubuh besar layaknya seorang raksasa. "Bersabarlah, Rayi Werkudara. Saat ini pasukan kita tengah melacak keberadaan reinkarnasi Karna yang baru, maka dari itu kita harus bersabar," ujar pria yang dipanggil kakang Prabu oleh Werkudara.

"Kangmas Yudhistira benar, Kakang Werkudara, tidak ada gunanya terburu-buru karena kita bisa dengan mudah membunuh Karna seperti dulu," ujar pria lain yang membawa busur bernama Gandiwa di tangannya. "Diam kau Arjuna! Apa kau lupa dengan kejadian 3000 tahun silam dimana Nakula dan Sadewa hampir terbunuh karena reinkarnasi Karna saat itu hampir berhasil membangkitkan kekuatannya?!" Hardik Werkudara keras.

"Kakang Werkudara, apa yang dikatakan Kangmas Arjuna ada benarnya, terburu-buru pun tidak akan ada gunanya karena kita belum bisa melacak keberadaan Karna saat ini," ujar salah satu dari 2 raja yang memiliki paras yang serupa, Nakula. "Aku setuju dengan yang lainnya, Kakang Werkudara. Aku tidak mau Kakang terluka lagi seperti saat Kakang Arjuna berhasil membunuh Karna," Sadewa menimpali perkataan kembarannya.

"Tapi, saat ini reinkarnasi Karna sudah membangkitkan kekuatannya! Bukankah itu berarti bahwa dia lebih berbahaya dari reinkarnasi Karna yang lainnya?!" Werkudara mencoba menyanggah meski tahu argumennya akan ditolak. "Kakang, aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi sekarang kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Ki Semar yang biasanya memiliki informasi akan reinkarnasi Karna pun bisa dibuat buntu sekarang," ujar Arjuna.

"Ini semua terjadi karena Ratu ing Jagad Merapi dan penjaga Sapta Pratala. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Padahal sebelumnya mereka hanya terdiam dan membiarkan kita melaksanakan kutukan yang sudah Werkudara teriakkan dengan lantang," ucap Yudhistira bertanya-tanya.

"Benar, padahal sebelumnya hanya Bathara Surya dan Brahma saja yang menghalangi kita, karena Karna adalah putra Surya dan peminjam api Brahma," Nakula ikut memberikan opininya. "Kita harus mencari tahu lebih jauh lagi, Kangmas Yudhistira. Tolong izinkan aku, Nakula, dan Sadewa untuk mencari informasi di alam fana mengenai keberadaan Karna," ucap Arjuna seraya bangkit dari kursinya.

"Kalau begitu, aku ikut!" Werkudara ikut berdiri dari tahtanya, namun langsung dicegah oleh Yudhistira dengan acungan tombaknya. "Apa maksudnya ini, Kakang?! Kenapa kau malah mengacungkan tombakmu padaku?!" Teriak Werkudara emosi seraya mengangkat gada miliknya.

"Maafkan aku, Rayi Werkudara, tapi sebaiknya kau tetap tinggal dan membantuku menyiapkan pasukan disini sembari menunggu informasi dari Arjuna, Nakula, dan Sadewa," ujar Yudhistira setelah menurunkan tombak miliknya. Werkudara hanya bisa mendecih kesal karena kakaknya tidak mengizinkannya untuk ikut, meski akhirnya ia menurut dan kembali duduk ke singgasana miliknya.

"Kalau begitu, Kakang Prabu, aku, Nakula, dan Sadewa mohon undur diri," ucap Arjuna seraya membungkuk dan mengangkat busur Gandiwa miliknya. Hal yang serupa dilakukan oleh Nakula dan Sadewa yang masing-masing memegang sebuah pedang yang merupakan pedang kembar. Ketiga pria itu berjalan keluar dari ruang tahta, menuju ke sebuah lokasi di Kerajaan Amarta yang merupakan penghubung antara alam gaib dengan alam fana.

Bersambung