Di satu hutan, di depan satu gua, tinggallah satu keluarga siluman serigala.
Akhir-akhir ini induk Aul selalu bersedih. Sering melamun. Selalu teringat pada Aul anaknya yang hilang. Induk Aul membayangkan, anaknya sedang tampan-tampannya di usia sekarang yang sudah menginjak remaja. Induk Aul juga berharap, di masa depan, akan menjadi raja siluman di hutan ini—meskipun belum mewarisi semua ilmu dari Ayah Aul.
Pagi itu induk Aul merasa malas untuk meladeni kedua anaknya bercengkerama, adik-adik dari Aul yang usianya terpaut jauh. Setiap kedua adik dari Aul mendekati induk Aul, selalu saja dicakarnya. Hingga membuat ayah Aul marah.
"Kenapa kau tidak mau bermain dengan anak-anakmu? Bagaimana kalau nanti sampai sakit? Anak-anak itu harus selalu ceria. Tidak boleh murung."
Induk Aul malah acuh. Meninggalkan kedua anaknya, juga suaminya, bersegera pergi ke tepi Sungai Citarum. Induk Aul berjalan dengan langkah-langkah lambat, terasa berat.
Namun tanpa diketahui induk Aul, ayah Aul mengikuti secara diam-diam. Hingga Induk Aul telah jauh berjalan, tetap saja tidak tahu.
Sebenarnya induk Aul ingin melupakan Aul, tidak mau lagi bersedih, misalnya untuk satu hari saja. Tetapi tetap saja susah. Aul anak yang paling disayang.
Saat di depan satu pohon, induk Aul memergoki ayah Aul di belakang yang membuntuti. Induk Aul langsung marah. Seraya melotot, bertanya. "Kau mau ke mana?"
"Kasihan anak-anak." Ayah Aul menjawab.
"Iya, nanti juga aku akan mengerti sendiri. Aku akan kembali mengajak bermain kedua anak kita. Aku akan pulang."
"Tapi jangan lama-lama." Ayah Aul sewot.
"Sebetulnya kedua anak kita sudah waktunya untuk bermain berdua agak jauh dari gua tempat tinggal kita. Hutan ini harus terjelajahi. Juga harus sudah mulai belajar mencari makanan." Induk Aul lalu menyuruh ayah Aul pulang. "Pulanglah, jaga anak-anak, siapa tahu ada siluman ular."
Ayah Aul merasa takut, bisa saja kedua anaknya sampai dililit atau digigit ular. Ayah Aul bukan takut pada induk Aul.
Dengan setengah berlari, ayah Aul pulang menyusuri pinggiran Sungai Citarum. Saat tiba di tempatnya, di satu mulut gua, kedua anaknya tampak sedang tidur pulas. Ayah Aul membangunkannya. Kemudian seluruh tubuh kedua anaknya diperiksa, kalau-kalau ada bekas gigitan ular. Ayah Aul gembira karena tubuh kedua anaknya tetap mulus.
Kedua anak serigala ini juga gembira karena di depannya kini ada yang menyayangi yang menjaganya, ada ayah. Kedua anak serigala ini berjalan melingkar-lingkar di kaki ayahnya. Ayahnya membalasnya dengan menjilati kedua tubuh anaknya, secara bergantian—sebagai tanda kasih sayang.
Ayah Aul lalu merebah seraya bicara. "Kita tunggu ibumu ya. Kasihan kalian, Ibu sedang masanya galak pada kalian. Semoga Ibumu tak lama di sana, cepat membaik."
Kedua pasang mata dari kedua adik Aul menerawang. Ya, tentulah, keduanya sangat berharap agar induk mereka bisa cepat-cepat pulang dalam keadaan selamat. Perut juga sudah mulai merasa lapar, ingin menyusu.
Ayah Aul membujuk kedua anaknya agar bersabar. Kedua anaknya terus dijilati, yang berarti sekaligus juga memandikannya. Keduanya sampai tertidur kembali. Lalu, seraya menunggu kepulangan induk Aul, ayah Aul pun tiduran.
Sementara di tepi Sungai Citarum, induk Aul tampak sedang berdiri. Kedua kaki belakangnya menekuk, sedangkan kedua kaki depan berdiri lurus. Pandangan matanya kosong. Sesekali pandangannya diarahkan ke segenap penjuru hutan, juga penciumannya, diarahkan ke semua arah.
Induk Aul berpikir, memang susah untuk mendapatkan kembali Aul. Ya, namanya juga hilang, atau jangan-jangan, diculik oleh siluman lain atau manusia? Induk Aul telah bertekat, rasa sayang pada Aul anaknya tak akan pernah hilang, seperti pula peribahasa, kasih sayang ibu sepanjang jalan.
Induk Aul juga berhasrat akan mencari Aul ke mana pun. Meskipun tanpa memberi tahu lebih dahulu pada ayah Aul.
Namun, baru saja beberapa kali melangkahkan kaki, mendadak induk Aul teringat pada kedua anaknya. Kedua anaknya masih butuh perhatian dan kasih sayang. Induk Aul tak mau kalau kedua anaknya tidak terurus dengan baik, apalagi sampai menjadi sakit parah. Induk Aul bergidik, tak mau membayangkan hal yang buruk terjadi. Maka, pagi menjelang siang itu induk Aul membatalkan niatnya untuk pergi jauh mencari.
Meskipun begitu, sepanjang perjalanan pulang menyusuri pinggir sungai, pikirannya selalu saja tertuju pada Aul. Membayangkan nasib Aul: di manakah sekarang berada, bagaimana dia tidur, apakah nyaman atau tidak. Juga tentunya dengan makanan dan minumannya, apakah cukup? Juga, bila misalnya Aul sedang bersama dengan siluman lain yang menculik atau manusia yang menculik, apakah Aul diperlakukan baik-baik? Memberikan makanan dan minuman yang bergizi?
Menjelang sampai di pertigaan jalan setapak, bertemulah induk Aul dengan induk siluman monyet, yang sedang membawa anaknya di dada dengan dipeluk.
Induk siluman monyet pun bertanya. "Hei induk serigala, kenapa kau bersedih?"
"Aku telah kehilangan anak." Induk Aul tak bisa lama-lama. Segera pamit karena ingin segera bertemu dengan kedua anaknya.
**
Saat tiba di mulut gua, kedua anaknya segera berlari kecil. Menyambut kepulangan Ibu sedemikian rupa. Demikian pula ayah Si Aul, merasa gembira.
Kedua adik Aul segera menyusu dengan bernapsu, terlebih memang karena lapar. Induk Si Aul pun menjilat-jilat seluruh tubuh kedua anaknya, seperti yang juga tadi ayah Aul lakukan.
Namun, saat sedang menyusui itu, pikiran induk Aul tetap saja teringat pada Aul, sama perilaku seperti tadi ketika di tepi sungai, bertatapan menerawang. Melamun.
"Sudahlah, ikhlaskan saja Aul. Kita tak mungkin melawan manusia yang pintar, atau siluman lain yang lebih sakti," kata ayah Si Aul.
"Ah, kau kan bukan betina. Aku yang betina, yang mengandung, melahirkan dan menyusui. Kau tidak tahu perasaanku."
"Jadi, maumu bagaimana? Pikiranmu berubah-ubah." Ayah Aul bicara lemah lembut.
Ayah dan induk serigala ini terus saja bicara. Yang berubah menjadi perdebatan, sampai-sampai kedua adik Aul menghentikan menyusunya karena terganggu.
"Tadinya, aku akan nekat, akan pergi sendiri ke mana pun, biarpun sampai ke kota, mencari Aul." Induk Si Aul bicara.
"Apa?" Ayah Aul nyaris tak percaya.
Induk Aul kini malah marah pada kedua adik Aul. "Hei, harusnya kalian sudah mulai berhenti menyusu."
Keempat serigala di mulut gua itu kemudian terdiam. Tak lama, induk Aul bicara lagi, memberi usul. "Kukira, lebih baik kau saja yang mencarinya, meskipun sampai ke kota. Kau kan jantan. Kalau ada apa-apa, ya lari saja atau menghilang."
Ayah Aul tampak bingung. Tidak bisa memutuskan secara cepat karena tentu tahu, resiko pergi ke kota adalah berat. Bagaimana kalau tepergok, lalu ditangkap manusia yang sakti? Sampai dikeroyok? Kecil kemungkinan untuk selamat.
"Bagaimana ayah? Pergi saja ke kota ya. Cari anakmu."
"Iya ini aku sedang berpikir. Tapi, aku akan berkonsultasi dulu dengan siluman buaya di sungai, dia kan sakti juga."
Induk Aul tak mau menunda-nunda waktu, maka segera menyuruh ayah Aul untuk ke sungai. Namun, baru saja keluar dari mulut gua, tampak siluman buaya sedang berjalan.
"Eh buaya, baru saja aku akan mencarimu, kau sudah duluan datang ke sini."
"Iya. Tadi kulihat induk Aul gontai berjalan saat pulang menuju gua. Aku yakin, pasti ada apa-apa. Memang ada apa sebenarnya?"
"Begini. Rencananya aku mau ke kota, mencari Aul. Aku minta saranmu. Sebaiknya bagaimana?"
Buaya tidak langsung menjawab. Terlihat berpikir. Kemudian tak lama, "Kalau menurutku, tapi aku takut kau tersinggung bila aku mengatakannya, dan kau menjadi marah."
"Tidak usah takut. Katakan saja."
"Ya menurutku, jangan pergi ke kota siang-siang karena rawan diketahui manusia sakti. Lebih baik nanti saja malam hari. Tapi…"
"Tapi apa?"
"Tetap saja resiko tertangkap manusia sakti itu ada. Lagi pula, kau kan tidak tahu, di mana tepatnya Aul sedang berada. Kau harus mencarinya dulu ke penjuru tempat, bisa di desa, bisa di kota. Tapi kurasa, dia sedang berada di kota."
"Jadi bagaimana. Atau kau lebih baik ikut saja ke kota."
Buaya merasa kaget. "Oh.. Tidak. Aku tak berani untuk ke sana. Tempat tinggalku di sungai. Meskipun pergi berdua denganmu, siluman serigala hutan, aku tetap takut."
Buaya dan ayah Aul kemudian masuk ke mulut gua. Kali ini, semuanya terdiam.
Tak lama, buaya pun pamit karena tidak kerasan lama-lama berada di darat.
Kini ayah Aul gelisah. Mondar mandir keluar masuk gua, atau kadang-kadang di dalam gua—berdiam diri. Sebagai seorang ayah yang baik, tentulah sayang pada anak. Kebersamaan bersama Aul saat dulu, saat anak-anak, terbayang-bayang di depan mata.
Maka bicaralah ayah Aul pada induk Aul. "Aku akan nekat pergi ke kota nanti malam, akan pergi sendiri."
"Jangan."
"Lho, kenapa sekarang kau berubah? Bukankah tadi kau menyuruhku untuk pergi? Lagi pula, aku yakin, di kota, hanya sedikit manusia yang sakti, yang bisa menaklukan kita dari kaum siluman."
Induk Aul kali ini tak bisa mencegah. Selain karena memang ingin mendapatkan kembali Aul, juga melihat tekat yang kuat dari ayah Si Aul. Induk Aul memberi izin.
"Ya berangkatlah kalau begitu. Semoga lancar, dapat menemukan kembali Aul, dan bisa tiba kembali ke sini dengan selamat."
**
Selepas hari mulai malam, ayah Aul keluar dari gua. Melewati jalan di hutan ini yang biasa dipijak manusia-manusia dan juga siluman-siluman penghuni hutan ini. Tentulah semua jalan di hutan ini sudah diketahuinya dengan baik. Sudah benar-benar hapal. Ke mana arah untuk ke pinggiran-pinggiran hutan, ke perkampungan, arah untuk mencari makanan, dan juga untuk jalan pulang. Tidak akan tersesat.
Setelah sekian lama menyusuri jalan setapak, sampailahpula ayah Aul di tepi pesawahan yang luas. Ayah Aul dengan berhati-hati berjalan di pematang. Padi-padi sedang menguning. Tubuhnya tak terlihat, selain karena gelap malam, juga terhalang tanaman padi yang cukup tinggi.
Ayah Si Aul tak mengira, ternyata sawah ini begitu luas. Namun ayah Aul terus saja berjalan. Dia ingat kata buaya tadi, bahwa ini namanya desa karena ada sawah. Lalu, kotanya di mana?
Ayah Aul meneruskan langkah-langkahnya. Di satu pematang, hampir saja kaki kanannya tergelincir karena terpesona melihat Dewi Sri penunggu padi yang cantik jelita. Ayah Aul acuh saja karena Dewi Sri adalah perempuan jelmaan dewa.
Di satu pematang lain, ayah Aul tergelincir karena tanah di pematang licin—hingga keluar dari mulutnya satu lolongan. Ayah Aul kaget. Tidak mau bila suaranya barusan ada yang mendengar. Matanya diarahkan ke depan, kalau-kalau ada manusia—terutama manusia sakti.
Kini di depannya, tampak sawah-sawah yang baru ditanami padi. Kali ini, tubuhnya di bawah cahaya bulan terlihat samar-samar, terlihat menjadi sesosok sedang bergerak berjalan. Ayah Aul kembali memasang pandangan mata yang lebih awas. Tentu tak mau kedatangannya diketahui oleh manusia sakti.
Sepanjang pematang sawah ini, telah habis pula terlewati. Mulailah memasuki kawasan kebun bambu. Saat memasukinya, daun-daun yang luruh terinjak, suara berisik pun terdengar. Ayah Aul berjalan berhati-hati, mencoba agar dari setiap pijakan kakinya tak ada suara. Ayah Aul senang karena setiap melangkah, tidak ada lagi suara yang terdengar.
Setelah habis kebun bambu, tibalah di kebun jagung yang sedang berbuah. Dipergokinya beberapa ekor monyet siluman yang sedang mencuri. Saat melihat ayah Aul, semuanya kocar-kacir, dengan suara berisiknya.. uk-uk-uk-uk.. Ah tak disangka, rupanya suara berisik dari monyet menarik perhatian manusia-manusia yang meronda di satu pos kamling. Memang, sebenarnya manusia-manusia itu sedang menjaga tanaman jagung dari serangan hama monyet yang sedang marak.
Kemudian, terdengarlah riuh bunyi kentongan secara dua kali secara terus-menerus, Tung! Tung!.. Tung! Tung!.. sebagai kode ada pencurian. Maka, manusia-manusia keluar dari rumah. Seorang manusia yang sakti, juga turut keluar rumah.
Di depan mata ayah Si Aul, monyet-monyet yang bercampur dengan monyet-monyet siluman itu blingsatan berlari, memotong jalan menuju satu kebun, lalu menuju hutan.
Sementara ayah Si Aul, masih terkaget-kaget dengan bunyi-bunyi kentungan. Ayah Si Aul kemudian juga berlari. Namun terlambat, tahu-tahu, sudah dikepung manusia-manusia sedesa. Ya, ayah Aul tidak tahu persis jalan pintas seperti monyet-monyet itu yang kabur.
Manusia-manusia pun rupanya sudah mengantisipasi kemungkinan adanya serigala yang turun dari hutan. Ada salah seorang manusia yang tinggal di desa ini yang punya senapan dengan peluru bius.
Manusia ini membidik ayah Aul, namun ayah Aul mendadak menghilang.
Manusia sakti langsung membaca jampi-jampi. Dengan sarungnya, kemudian ayah Aul terjaring pula. Ayah Aul meronta, ingin melepaskan diri.
Ayah Aul lalu digotong beramai-ramai ke balai desa. Manusia-manusia bersorak karena gembira karena tadinya hanya akan mengusir monyet-monyet, malah mendapat seekor serigala.
Rupanya, di balai desa sudah ada kerangkeng besi. Sarung yang melingkupi tubuh ayah Si Aul dilepaskan. Empat manusia lalu menggotongnya, ayah Aul dimasukkan ke dalam kerangkeng besi.
Salah seorang manusia ada yang berkata. "Kita panen besar malam ini."
Kemudian manusia-manusia lain pun ribut dengan omongannya masing-masing.
Berita tertangkapnya seekor serigala, sampai pula ke telinga Pak Kades. Maka, Pak Kades yang dikenal bersahaja ini segera menelepon ke kota, ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Yang menerima telepon, petugas piket, langsung merespon, saat itu juga berangkat.
Tiba di balai desa, ayah Aul sudah tampak siuman. Matanya terus melotot. Di kerangkeng yang sempit itu, tidak bisa diam. Ekornya terus bergerak-gerak, pertanda sedang marah. Manusia-manusia di sekitar tidak mau mendekat, meskipun ayah Aul tak berdaya dalam keadaan terkurung.
Memang sebetulnya berbahaya, bisa saja kuku yang sangat tajam dari ayah Aul menerobos celah kerangkeng besi, menggores kulit manusia yang mendekati.
Saat petugas dari Balai Konservasi datang, ayah Aul di dalam kandang sedang tidur, Pak Kades sudah pulang. Saat ayah Aul hendak hendak dibawa ke kantor Balai Konservasi—manusia sakti berkata agar jangan dibawa. "Sudah di sini saja. Ini menjadi bagianku untuk merawatnya malam ini. Besok, kita lepaskan kembali ke hutan," ujarnya.
**
Sementara itu, di depan mulut gua, induk Si Aul sedang gelisah, apa yang telah terjadi pada ayah Aul? Kedua anak lucunya sudah tidur. Induk Aul lalu bangun, menuju mulut gua. Di depannya hanyalah gelap. Tak bisa memandang sejauh-jauhnya, hanya samar yang terlihat.
Induk Si Aul berdoa, agar ayah Aul baik-baik saja. Kemudian kembali mendekati anak-anaknya.
Sementara di kantor desa, ayah Aul rebahan di kerangkeng besi. Dengan dipenuhi pikiran ingin cepat-cepat bisa pulang ke mulut gua.
Ketika ayah Aul sedang terlelap, pintu ruangan terbuka. Ayah Aul mendadak terbangun. Segera berdiri, melolong. Manusia sakti yang menghampiri mencoba menenangkan. Di tangannya ada sepotong daging, rupanya untuk makan malam ayah Aul.
Dengan lahap, ayah Aul segera memakan sajian itu.
Malam pun semakin gelap. Ayah Aul kembali rebahan, sampai kembali tertidur.
**
Pagi-pagi, para petugas Balai Konservasi sudah siap bekerja, untuk membawa kembali ayah Aul ke hutan.
Ayah Aul tak bisa diam di dalam kandang, selalu saja hilir mudik. Berkecamuk dua perasaan: gembira karena akan dikembalikan ke hutan, tetapi bersedih karena pada akhirnya tidak bertemu dengan anaknya, Aul.
Kendaraan pick up pun membawanya ke hutan. Para petugas sewaktu di balai desa diberitahu oleh manusia sakti, bahwa serigala jenis ini ada di hutan sebelah selatan, sehingga membawanya pun ke sana.
Di tepi hutan yang berdekatan dengan sebatang Sungai Citarumlah, ayah Aul kembali dilepaskan. Pintu kerangkeng besi dibuka, lalu ayah Aul segera berlari cepat menyusuri tepi sungai. Kali ini, meskipun bisa kembali ke hutan dengan selamat, tetap saja hati ayah Aul bersedih, akhirnya gagal berjumpa dengan ayah Aul. Ayah Aul tetap ingin berjumpa dengan anaknya—yang entah kapan.
Ketika ayah Aul tiba di depan gua, induk Aul senang karena bisa berjumpa kembali, tetapi sedih karena Aul tidak ikut serta.
**
Rupanya, induk Aul selalu saja teringat pada Aul. Sampai-sampai pada suatu hari menjadi sakit. Nyatalah, kedua adik Aul merasakan perubahan rasa pada air susu ibunya. Ini berakibat, keduanya tidak mau lagi menyusu.
Akhirnya, ayah Aul bingung. Apa yang harus dilakukan. Padahal ayah Aul sudah sering membujuk induk Aul agar melupakan Aul—bukan saja setiap hari, malah hampir setiap saat. Namun ya itulah, namanya juga seorang ibu, tentu saja tidak akan bisa melupakan anak begitu saja.
Maka, di satu pagi, ayah Aul pun berdoa pada Tuhan, agar dapat dipertemukan kembali dengan Aul, yang diaminkan oleh induk Aul.
**
Di tempat lain, pagi-pagi di satu jalan setapak, Mang Cahya dan Aul sedang menyusuri tepian Sungai Citarum. Keduanya hendak menuju ke gua tempat keluarga Aul tinggal.
Mang Cahya bertanya. "Aul, apakah kau merasa capai? Kalau capai, kita beristirahat dulu di sini."
Aul menjawab. "Tidak. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan keluargaku."
"Juga, apakah kau yakin, ini jalan menuju rumahmu? Kalau saat malam hari, aku yakin kau tahu jalan. Tapi ini kan sedang pagi."
"Aku yakin, ini tidak salah lagi."
Maka, mereka pun melanjutkan perjalanan.
Sepanjang mata memandang, di depan tampak bukit batu cadas, di bawahnya ada lubang kecil. Gua. Ya di situlah tempat keluarga Aul tinggal.
"Itu sudah kelihatan tempat tinggal keluargaku." Aul berkata.
Aul segera berlari, searah jalan ke depan.
Aul terus berlari. Demikian pula Mang Cahya, mengikutinya dari belakang.
Saat tiba di mulut gua, Aul berteriak. "Ini aku datang.."
Ayah Aul dan induk Aul pun mendengar suara itu dari dalam gua. Keduanya berpandangan. Lalu merasa yakin, bahwa itu anak mereka. Kemudian keduanya berjalan ke mulut gua, dengan diikuti kedua adik Aul.
Di mulut gua, Aul dan keluarganya meluapkan kegembiraan dengan berpelukan.
Ayah Aul dan induk Aul tak lupa berterima kasih pada Mang Cahya.
"Terima kasih."
"Ya sama-sama."
**
Usai jamuan makan malam, Mang Cahya mencurahkan isi hati pada ayah Aul.
Ayah Aul trenyuh, bersimpati. "Jadi, apa yang kau inginkan Mang Cahya?"
"Aku ingin agar wajah dan tubuh mantan istriku cacat bekas cakaranku, dan Mang Oben mati terkena gigitanku."
"Maksudmu, kau akan menjadi manusia serigala dulu?"
"Ya tepat."
"Kau tidak akan menyesal? Hatimu sudah bulat?"
"Ya sudah bulat."
"Baiklah, jangan lama-lama. Malam ini kita akan ritual."
Usai makan, minum ramuan tertentu, serta membaca jampi-jampi, Mang Cahya bisa berubah bentuk menjadi serigala.
Ayah Aul kembali berkata, "Sebelum kau membalas dendam, tinggalah di sini untuk beberapa lama bersama keluarga kami. Agar kau tidak canggung lagi menjadi serigala. Ya, aku pun akan menurunkan ilmu, mengajarkan kesaktian-kesaktian untukmu."
**