webnovel

Mang Cahya Bertemu Aul

Saat malam tiba, tanpa ada yang tahu, diam-diam Mang Cahya pergi, dan tidak tahu akan ke mana tujuan.

Ojek kampung dihentikannya, mengantarkannya hingga jalan raya.

Di jalan raya, di antara deru-deru kendaraan yang sudah jarang berlalu-lalang, terus berjalan ke arah barat.

Semakin jauh berjalan, debu-debu jalan semakin menempel di kaki dan celananya. Bahkan, muka dan rambut pun menjadi kotor terkena debu.

Tiba-tiba terdengar suara klakson bus antarkota, yang lalu menepi, berhenti. Dua orang penumpang turun. Mang Cahya mendadak naik bus. "Aku akan pergi ke mana saja," gumamnya.

Bus kemudian terus melaju.

Di satu jalan, Mang Cahya tertidur.

Saat bangun, bus sudah tiba di satu kota. Mang Cahya dengan lemas, turun. Selain merasakan lapar, juga tiba-tiba kembali muncul rasa sakit hatinya pada Mang Oben.

Mang Cahya mencari angkringan. Di terminal ini, sebagian besar warung-warung nasi sudah tutup. Mang Cahya akhirnya keluar dari lingkungan terminal.

Di satu pertigaan jalan, terlihat satu warung nasi yang sedang buka. Di depan warung nasi ini, ada dua motor yang sedang parkir—ojek-ojek.

Dua pengojeknya sedang duduk-duduk seraya mengobrol. Usai Mang Cahya makan, tinggal tersisa satu orang pengojek, yang langsung bertanya, "Mau ke mana?"

"Aku tidak tahu akan ke mana arah tujuan."

"Kukira kau sedang punya masalah. Ada apa gerangan? Barangkali, aku bisa ikut memecahkan."

Mang Cahya tanpa sungkan menjelaskan dengan detail kisruh rumah tangganya hingga berakhir sudah. Mang Cahya pun nekat ingin bertemu dengan serigala siluman, bicara pada pengojek. "Yang kutahu, di pinggiran kota ini di satu hutan, ada serigala siluman. Apakah kau mau mengantarkannya sampai ke tepi hutan?"

Pengojek terdiam sejenak. "Apakah hati sudah bulat?"

Mang Cahya mengangguk.

"Baiklah, akan aku antarkan sampai ke tepi hutan. Kemudian, kau harus menyusuri jalan setapak. Kau akan bertemu."

**

Di jalan setapak yang membelah hutan menjelang tengah malam, Mang Cahya menemukan satu pertigaan, lalu dari kejauhan mendengar lolongan serigala. Mang Cahya pasrah dengan apa pun yang akan terjadi. Hingga tiba-tiba, di depannya telah tampak seorang pemuda yang tampan.

Mang Cahya bersiap mundur.

"Tenang, aku tidak akan berbuat jahat."

Mang Cahya mencoba tenang.

"Mau ke mana? Kalau makin masuk ke dalam hutan kan riskan," Pemuda tampan ini bertanya.

"Tunggu. Siapakah kisanak?"

"Ya, aku adalah tadi yang melolong. Jangan takut. Aku sudah tahu apa yang telah terjadi denganmu. Kau sedang sakit hati, ingin membalas dendam. Siapa yang ingin kau balaskan dendam?"

"Istriku sendiri atau Pak RT, atau bisa pula keduanya. Aku sedang mencari yang tepat untuk membalaskan dendam."

"Aku tepat untuk dimintai tolong. Sebentar. Apakah hati sudah bulat dan sudah yakin? Kukira, lebih baik baik membalaskan dendam pada Pak RT. Bukankah wanita itu lemah? Kau juga harus menuruti saran-saranku."

"Baiklah. Aku akan membalaskan dendam pada Pak RT, meskipun sebenarnya juga ingin membalaskan dendam pada istri. Apa yang harus aku lakukan? Oh iya, kenalkan diri dahulu."

"Sabarlah. Namaku Aul, siapakah nama..?"

"Aku Cahya."

"Kita sekarang ke rumahku, di tengah hutan."

Keduanya lalu berjalan di tengah kegelapan.

**