Setibanya di rumah, Arini tidak bisa melupakan kejadian yang tidak disengajanya tadi saat bertemu dengan keluarga Alena. Sempat ada perasaan takut saat melihat Alena di pasar tadi. Tapi rasa takutnya malah sirna setelah melihat ayah Alena.
Selama perjalanan pulang dia masih teringat dengan ayah Alena yang dia kira mirip sekali dengan ayah kandungnya. Dia memang hanya bisa mengenali ayahnya lewat selembar foto diambil saat dirinya masih kecil. Tapi laki-laki yang dipanggil Alena dengan sebutan ayah tadi memang sangatlah mirip dengan foto ayahnya.
"Aku yakin itu ayahku. Dia sangat mirip sama di foto itu."Arini teringat dengan selembar foto keluarga antara dirinya dengan orangtuanya saat dirinya masih kecil.
"Terus apa hubungannya dengan mbak Alena. Tapi tadi mbak Alena memanggilnya dengan panggilan ayah."Arini masih melamun dan mengaitkan laki-laki itu dengan Alena.
"Astaga. Apakah ayah mbak Alena dengan ayahku sama."Arini menutup mulutnya dengan keras. Hingga membuat Bi Sumi mendengarnya.
"Ada apa mbak?"Bi Sumi menghampiri Arini yang sedang duduk di kursi meja makan.
"Oh nggak papa kok bi. Saya mau istirahat di kamar dulu ya bi."Arini tidak mau bercerita kepada bi Sumi mengenai permasalahannya sekarang.
"Apa mau bibi bantu ke kamar mbak?"Bi Sumi menawarkan bantuan kepada Arini.
"Nggak usah bi. Makasih. Saya bisa sendiri kok. Maaf ya saya nggak bisa bantu bibi lagi."kata Arini sambil berdiri dengan daster longgar milik Bi Sumi.
"Nggak papa kok mbak. Malahan saya berterima kasih sama mbak Arini karena telah membantu saya tadi."ucap Bi Sumi sambil membantu Arini bangun.
Akhirnya Arini duduk sendirian di kamarnya. Dia terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah memang ayah Alena itu adalah ayah kandungnya yang telah lama meninggalkannya.
Pikirannya terus berkelayung membayangkan wajah ayah Alena tadi pagi. Bahkan sampai menjelang malam pun dia masih membayangkan ayah Alena.
Sudah lama dia telah berpisah dengan orangtuanya. Ayahnya yang telah dulu meninggalkannya dengan mamahnya. Selang beberapa tahun kemudian gentian mamahnya yang pergi meninggalkannya merantau ke luar negeri hingga tidak pulang.
Tidak terasa Arini telah menghabiskan waktunya untuk memikirkan ayah Alena hingga malam tiba.
"Kenapa nasib ku harus begini."Arini menyalahkan hidupnya. Dia tidak mengira kalau hidupnya akan seperti ini. Ditinggal orangtuanya sejak kecil entah kemana.
"Aku yakin kalau itu tadi ayahku."mata Arini mulai tergenangi air matanya. Dia tidak menyangka bisa bertemu dengan ayahnya setelah berpisah cukup lama.
"Kalau itu memang ayahku, apakah aku sama mbak Alena adalah saudaraan."
"Permisi mbak. Saya mau mengahntarkan soup dan jus mangga kesukaan mbak Arini."tiba-tiba Bi Sumi datang ke kamarnya. Arini langsung menyeka air matanya.
"Ya taruh situ saja bi. Makasih ya."Arini menunduk dan berusaha menghapus bekas air matanya yang jatuh ke keningnya.
"Mbak Arini nggak papa kan?"tanya bi Sumi penasaran melihat Arini yang sedang menunduk.
"Nggak papa kok bi saya."bekas air mata Arini sudah hilang.
Bi Sumi akhirnya percaya dan keluar dari kamar Arini. Mencium bau soup buatan Bi Sumi malah membuatnya ngiler dan ingin segera menyantapnya .Kebetulan sedari tadi dia belum makan jadi tanpa butuh waktu lama dia langsung menyantap soup hingga habis tanpa sisa.
Ceklek
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka saat dia selesai makan. Arini menoleh kearah pintu tiba-tiba berdiri Panji dengan tatapan yang sedang memendam emosi. Panji menghampiri Arini. Arini melihatnya jadi takut sendiri.
"Kamu tadi habis darimana saja?"Panji memandangi pakaian yang menutupi tubuh Arini. Terlihat ada daster yang begitu besar ukurannya saat dipakai Arini. Tidak biasanya Arini memakai daster di rumah.
"Kenapa dia tanya seperti itu. Apa dia sudah tahu kalau aku tadi ke pasar."Arini meletakkan soupnya di atas meja.
"A…aku tidak kemana-mana tadi."jawab Arini sambil mengusap mulutnya setelah makan soup tadi.
���Aku tanya kamu tadi pergi kemana?"Panji mulai berbicara sedikit keras.
Arini kini diam saja. Dia bingung apakah dia harus bercerita apa tidak. Kalau dia cerita pasti Panji akan memarahinya hingga habis-habisan karena telah melanggar perintah. Tapi kalau tidak jujur pasti Panji akan terus bertanya kepadanya.
"Terus kenapa kamu pakai dasternya Bi Sumi."Panji mencubit daster milik Bi Sumi. Panji tahu kalau daster yang dipakai Arini sekarang adalah milik Bi Sumi. Kebetulan dulu Bi Sumi pernah memakai daster itu dan Panji tahu.
"I..Ini pakaianku sudah nggak muat lagi buat aku. Jadi aku pinjam sama Bi Sumi."kata Arini sedikit terbata-bata. Dia takut kalau berbicara dengan Panji yang sedang emosi.
"Oh ya dia sekarang sedikit gendutan."Panji memandangi tubuh Arini yang sekarang sudah sedikit melebar jadi wajar saja pakaiannya tidak muat dipakainya.
"Ok sekarang giliran jawab pertanyaan ku tadi. Kemana kamu tadi pergi?"Panji mengungkit pertanyaan sebelumnya yang belum dijawab Arini. Arini mulai gelisah.
"Apa kamu tadi pergi ke pasar?"bentak Panji karena Arini tidak mau terus terang.
Panji tahu kalau Arini pergi ke pasar karena diberitahu Alena. Kebetulan tadi dia ada acara makan malam dengan keluarga besar Alena. Ditengah-tengah acara makan itu, Alena malah mengungkit dan menceritakan pertemuannya dengan Arini yang tidak sengaja di pasar tadi siang.
"Ya kamu tadi ke pasar kan?"Panji mengangkat dagu Arini agar menatap mata Panji. Sedari tadi Arini terus menunduk saat dicecar pertanyaan Panji. Panji tahu kalau Arini menunduk karena benar bahwa Arini diam-diam pergi ke pasar tanpa seizinnya.
"Makanya kamu ini pakai daster ini untuk mengelabuhi orang-orang bukan."Panji melepas dagu Arini yang telah dipegangnya tadi.
"Kamu tahu darimana kalau aku ke pasar tadi?"Arini malah giliran bertanya kepada Panji. Arini penasaran bagaimana bisa Panji tahu.
"Nggak penting aku tahu darimana. Tanpa kamu tahu, diluaran sana ada banyak bodyguardku yang telah memataimu."bentak Panji kepada Arini hingga membuat mata Arini berkedip-kedip.
"Ya kan kamu tadi pergi ke pasar sama Bi Sumi?'tanya Panji sekali lagi. Mata Arini langsung melotot kearah Panji. Dia tidak percaya Panji telah tahu semuanya.
"Ok kalau kamu nggak jawab. Mana bi Sumi."Panji malah meninggalkan Arini dan mencari Bi Sumi.
"Oh tidak."Arini dengan cepat langsung membuntuti Panji yang sedang mencari Bi Sumi. Pasti Bi Sumi akan terkena marah Panji gara-gara tadi pagi.
Panji berjalan begitu cepat sekali mencari Bi Sumi. Arini yang sedang hamil itu dibuat kewalahan mengejarnya.
"Bi."teriak Panji di ruang tengah memanggil Bi Sumi.
"Tolong jangan. Kamu mau apa sama Bi Sumi?"Arini akhirnya berada di samping Panji. Dia mulai takut kalau Panji akan memarahi Bi Sumi gara-gara di pasar tadi.
"Bi Sumi kemari."bentak Panji tanpa memperdulikan Arini yang terus menghalanginya.
"Ya mas."Bi Sumi datang dari dapur langsung menghadap Panji dan Arini.
Arini terlihat cemas sekali dengan nasib Bi Sumi. Entah kenapa dia sekarang ada firasat buruk pada Bi Sumi. Panji terlihat ingin marah pada Bi Sumi. Pasti Panji akan menuduh kalau Bi Sumi telah mengajak Arini pergi ke pasar.
"Bibi jawab saya dengan jujur."kata Panji sambil menahan emosinya.
Bi Sumi mulai takut dan cemas. Dia sudah tahu watak Panji. Melihat Panji yang ada di depannya itu terlihat sedang marah kepadanya.
"Tadi bibi sama dia pergi ke pasar?"Panji sambil menunjuk kearah Arini.
Bi Sumi dan Arini langsung saling pandang. Mereka tidak tahu kalau Panji akan tahu. Bagaimana Panji bisa tahu. Itulah yang ada dipikiran Arini dan Bi Sumi.
"Jawab Bi!"bentak Panji.
"Tolong kamu jangan bentak-bentak Bi Sumi."Arini berusaha menenangkan Panji. Panji langsung menghempas tangan Arini yang sedang memegang lenganya. Sekarang panji benar-benar marah sekali hingga tidak peduli lagi pada Arini.
"I…iya tuan."jawab Bi Sumi sambil menunduk dan terbata-bata.
"Kenapa bibi membiarkan dia pergi ke pasar. Apa bibi lupa dengan perintah saya kemarin. Jangan sampai dia keluar dari rumah ini tanpa seizing saya."Panji begitu terbakar emosi. Orang yang selama ini dipercayainya di rumah itu malah melanggar perintahnya.
"Bi Sumi nggak salah. Aku tadi yang memaksa Bi Sumi agar aku bisa ikut ke pasar."Arini langsung berdiri didepan Bi Sumi. Bi Sumi tertupi oleh tubuh Arini.
Arini tidak tega kalau Bi Sumi kena marah Panji gara-gara masalah tadi siang. Lagian Bi Sumi tidak bersalah juga. Dia sendiri yang memaksa Bi Sumi untuk mengizinkannya menemani Bi Sumi ke pasar berbelanja.
Panji mendengar pengakuan Arini langsung semakin marah. Dia paling tidak suka kalau aturannya dilanggar.
"Dasar keras kepala. Bukankah aku sudah melarangmu keluar. Kamu memang harus dikasih pelajaran."Panji tanpa butuh aba-aba langsung menarik tangan kanan Arini dan menyeretnya ke kamar.
Arini membiarkan Panji menyeret tangannya menuju kamar dengan kasar. Dia rela harus diperlakukan seperti itu demi Bi Sumi tidak kena marah Panji lagi.
"Kasihan sekali mbak Arini."Bi Sumi penasaran hukuman apa yang akan diberikan Panji kepada Arini.
Panji menyeret Arini begitu kasarnya hingga membuat Arini meneteskan air matanya. Selama perjalan menuju kamar, air mata Arini tidak henti-hentinya mengalir. Panji tidak peduli Arini yang sedang menangis itu. Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaimana dia memberikan pelajaran agar Arini jera dan menyesali perbuatannya yang telah melanggar peraturannya.
"Kamu memang harus dikasih pelajaran."Panji menghempas tubuh Arini ke kasur. Kemudian Panji menutup pintunya dengan keras sekali.
"Maafkan bibi mbak. Bibi nggak bisa bantu."Bi Sumi hanya bisa memandangi dari kejauhan sambil merasa kasihan pada Arini.
Sekarang Arini ketakutan di atas ranjangnya. Dia terus menebak-nebak apa yang akan dilakukan Panji kepadanya. Sepertinya Panji tidak akan memberinya ampun atas keajdian tadi.
Setelah menutup pintu, Panji berjalan mendekati Arini dengan mata melotot. Arini hanya bisa menatap Panji dengan air mata yang berlinangan.
"Kamu memang keras kepala."Panji menarik dagu Arini yang sedang duduk di tepi kasur.
Arini membiarkan tangan Panji mencengkram dagunya. Dia sekarang tidak ingin berbicara apalagi membantah perkataan Panji. Untuk sekarang sepertinya dia lebih baik diam saja dan membiarkan Panji melakukan apapun terserah dia.
"Kamu harus dikasih pelajaran."ucap Panji dengan sinis. Tatapan Panji kini fokus kearah bibir Arini yang merah ranum itu. Tidak peduli kalau Arini masih meneteskan air mata.
Ditengah emosinya itu, tiba-tiba Panji tergoda dengan bibir Arini yang merah ranum itu. Entah kenapa sekarang nafsunya muncul saat melihat bibir Arini yang seksi itu.
"Mmmuahhhh."Panji mendaratkan bibirnya ke bibir Arini. Arini terkejut.
Arini tercengang saat Panji mencium bibirnya. Bukankah tadi Panji sedang marah kepadanya. Kenapa tiba-tiba Panji terlihat sangat nafsu dengan bibirnya.
Mata Arini terus melotot kearah Panji yang sedang mencium bibirnya. Dengan sekuat tenaga Arini langsung melawan tubuh Panji agar mundur dan menjauhkan bibirnya. Bukannya Panji terdorong malahan, tangan Panji kini menahan tangan Arini lalu menguncinya agar tetap dibawah.
Cengkraman tangan Panji begitu kuat sekali hingga membuat Arini tidak bisa bergerak lagi. Arini yang tidak bisa apa-apa kini hanya bisa meneteskan buliran air matanya dan pasrah. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya Panji menciumnya.
Dia tidak rela Panji mencium bibirnya. Setelah melakukannya dulu, kini Panji mau mengulanginya lagi. Melihat dirinya yang tidak bisa apa-apa kini hanya bisa pasrah saja saat bibir Panji menjelajahi bibirnya dengan kasar.
"Muahhhh."Panji menciumi bahkan terlihat arogan sekali saat menciumi bibir ranum Arini.
Panji merasa senang sekali saat Arini tidak berdaya lagi untuk menolaknya. Apa yang dilakukannya sekarang bisa dijadikan sebagai hukuman yang harus diterima Arini. Walaupun awalnya tidak terpikirkan untuk melakukannya tadi. Bahkan sekarang Arini terlihat pasrah saja saat bibirnya terus digeluti bibir Panji.
Nafsu Panji kini sudah tidak tertahankan. Akhirnya dia langsung menidurkan Arini ke kasurnya. Arini hanya bisa pasrah saja saat Panji memaksanya untuk tidur di kasur. Kemudian Panji menindihnya.
"Tolong jangan."ucap Arini dengan lirih dan menangis.
"Diam. Inilah hukuman yang pantas kamu terima. Nikmati saja."kata Panji dengan sinis dan tangannya mengunci kedua tangan Arini keatas.
Panji langsung melancarkan aksinya. Awalnya tadi dia ingin memberikan hukuman pada Arini dengan cara lain. Tapi pada akhirnya malah dia tergoda pada kemolekan tubuh Arini.
"Apa ini kita mengulangi kejadian dulu lagi."batin Arini sambil mengingat kejadian dulu bersama Panji. Masih membekas di ingatannya saat Panji merenggut mahkotanya dengan paksa. Dan sekarang Panji akan mengulanginya lagi.
Tangan Panji yang satunya terus melucuti daster Arini. Sedangkan Arini kini sudah lemas. Dia sekarang benar-benar capek untuk melawan tenaga Panji yang jauh lebih besar darinya.
Panji langsung merobek daster milik Arini karena sedari tadi susah dibukanya. Kini daster Arini telah robek dan terlepas dari tubuh Arini. Arini mulai merasa kedinginan.
"Astaga."Panji tersadar dari kekhilafannya. Melihat Arini yang sudah telanjang dan menangis tersedu-sedu membuatnya tersadar.
Panji langsung mengambil selimut dan menutupi tubuh Arini lagi. Dia tidak mau melanjutkan perbuatannya yang gila itu.
Arini langsung menerima dan memegang selimut dengan erat. Panji kemudian pergi meninggalkan Arini dengan perasaan bersalah. Arini merasa lega tapi juga sedih. Lega karena Panji tidak jadi melakukannya. Sedih karena ditubuhnya telah ada bekas gigitan bibir Panji terutama di bagian leher dan dada. Dia sekarang menahan rasa sakit dan perih di bagian itu.
Kemudian Panji datang dan membawakan beberapa pakaian miliknya kepada Arini. Arini tidak berani menatap Panji dan masih bersembunyi dari balik selimut. Panji juga tahu kalau Arini masih takut dan syok atas kejadian tadi.
"Ini pakailah."Panji melempar beberapa pakaian diatas selimut Arini. Arini masih menangis dibalik selimutnya.
"Baru saja aku tadi bertemu dengan ayah. Tapi sekarang aku harus mendapatkan perlakuan seperti ini."Arini menangis sesenggukan di balik selimut tebalnya yang membungkus tubuhnya.