60 Bab 60 Menangis dan Menangis

Arini menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Air matanya tumpah ruah di keningnya dan suara tangisnya memenuhi seisi kamar Panji. Tangannya terus berpegangan selimut. Hatinya begitu terasa sakit sekali karena Panji telah membuatnya trauma lagi dengan kejadian barusan yang baru terjadi itu.

Sudah cukup kejadian di masa lalu hingga membuat hidupnya menjadi seperti ini. Hamil di usia muda dan dirinya masih ingin melanjutkan hidupnya sebagai anak remaja yang baru lulus SMA dan ingin mencari masa depannya yang cerah.

Tapi itu semua telah dihancurkan Panji begitu saja pada satu malam di kamar Panji dulu. Dan sekarang itu harus terulang kembali hanya karena kesalahannya yang menurutnya itu tidak seratus persen salah dia. Dia juga manusia biasa yang butuh hiburan juga diluaran sana. Tidak mungkin juga dia harus duduk diam diri di dalam rumah hanya demi menuruti kemauan Panji.

"Kenapa dia sejahat itu. Aku benci dia."Arini menangis tersedu-sedu sambil mengeratkan pegangannya dengan selimut.

Bahkan setelah kejadian tadi, Panji kini menghilang begitu saja dari hadapannya. Meskipun Panji tidak berniat melakukan itu lagi pada Arini tapi tetap saja Arini sudah terlanjur benci dan kecewa dengan laki-laki yang satu itu.

"Aduh sakit sekali. Kenapa ini?"Arini menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Dia terkejut sekali melihat apa yang ada ditubuhnya saat ini. Di bagian dadanya terdapat jejak milik Panji yang terlihat merah disana.

"Awww sakit."Arini menyentuh warna merah yang ada di dadanya itu. Tanpa disangkanya ada rasa sakit disana saat menyentuhnya. Dia tahu kalau jejak merah itu bekas gigitan Panji.

Arini kemudian menutup kembali selimutnya karena suhu ruangan di kamar begitu dingin sekali hingga menusuk tulang-tulangnya. Ditambah lagi dirinya yang masih telanjang bulat tanpa sehelai benangpun menutupi badan putih mulusnya itu. Air matanya masih terus tumpah menggenangi keningnya. Dia terus menangis atas perlakuan Panji padanya tadi.

"Hikss…hikss."

Tidak peduli dengan beberapa pakaian yang telah diberikan Panji tadi terlihat ada di atas selimutnya. Dia tidak sudi mengambil pakaian dari Panji apalagi milik laki-laki tidak tahu malu itu.

Berbeda dengan suasana di kamar Bi Sumi. Di dalam kamar Bi Sumi tidak bisa berhenti memikirkan Arini. dia menduga kalau sekarang Arini tengah dihajar habis-habisan oleh majikannya. Secara dia sudah tahu sebelumnya kalau panji tidak pernah mengizinkan Arini pergi dari rumah.

Dia juga tidak lupa atas kebaikan Arini tadi yang telah membelanya dari kemarahan Panji. Kalau tidak karena Arini, pasti Panji akan memarahinya hingga habis-habisan.

"Mbak Arini sekeranga sedang apa ya. Apa aku harus keluar dan memastikan Mbak Arini sedang apa?"batin Bi Sumi sambil duduk di tepi kasurnya. pikirannya terus membayangkan arini yang sekrang dibawa Panji ke dalam kamar.

Sebelum masuk ke kamar, Bi Sumi memang melihat Panji tadi menyeret Arini dengan paksa dan kasar menuju kamar mereka. Tapi Arini tidak melawannya karena memang kayaknya Arini lebih memilih yang dimarahin ketimbang dirinya.

Bi Sumi tidak tenang dibuatnya. Ingin rasanya dia keluar dari kamar dan pergi ke kamar majikannya dimana Arini sedang ada disana. Tapi dia juga takut kalau harus berhadapan dengan Panji lagi. Bisa jadi nanti kalau ketemu, Panji akan marah lagi.

"Apa aku harus keluar dan melihat ke kamar mas Panji?"batin Bi Sumi dan bangkit dari kasurnya yang dia gunakan untuk duduk itu.

Dengan kemantapan hati dan semua keberaniannya, akhirnya Bi Sumi keluar dari kamarnya dan membuka pintu dengan pelan-pelan. Dia melihat kearah sekitar kamarnya. Dia mencari kesempatan ditengah keheningan dan kesepian rumah itu. Kebetulan kamarnya berada di belakang jadi dia bisa keluar dengan mengendap-endap.

Terlihat di luar kamarnya tidak ada Panji. Kemudian dia keluar dengan langkah kaki pelan-pelan. Dia berjalan menuju jendela kamar Panji yang terlihat dari taman.

"Dimana mbak Arini dan Mas Panji. Kok gelap."Bi Sumi mengintip dari kaca jendela kamar Panji. Terlihat ada korden menutupi kaca jendela dari dalam kamar. Ditambah lagi kamar majikannya itu nampak gelap sekali.

"Tidak mungkin sekarang mereka tengah tertidur."batin Bi Sumi sambil memuta bola matanya.

Perasaan Bi Sumi sedikit was-was kalau Panji menciduknya karena berani mengintip kamarnya. Tapi mau gimana lagi rasa penasarannya begitu besar sekali sekarang. Dia terus memikirkan keadaan Arini.

"Aku kalau gini malah terlihat mencurigakan. Lebih baik aku pura-pura masuk ke dalam dan mencoba cari tahu disana. Bukan kayak begini."batin Bi Sumi.

Akhirnya Bi Sumi berpura-pura mengambil sesuatu ke dapur. Kebetulan kamar Panji dan dapur jaraknya tidak terlalu jauh. Jadi dia bisa lihat secara jelas disana.

"Eh."baru melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, tiba-tiba dia dikejutkan dengan keberadaan Panji yang sedang mondar mandir di depan kamarnya sendiri. Tapi yang membuatnya aneh adalah tampilan majikannya itu. Bukankah setiap hari majikannya selalu tampil dengan pakaian rapi dan gaya rambut yang modis. Tapi yang sekarang dia lihat malah berbeda. Dimana pakaian Panji terlihat sedikit berntakan dan kedua tangannya sendiri sedang mengacak-acak rambutnya sendiri. Seperti ada yang sedang dia pikirkan hingga seperti terlihat frustasi begitu.

Bi Sumi tidak jadi melangkahkan kakinya untuk masuk lagi ke dalam rumah. Sudah cukup yang dia lihat sekarang. Dia memutuskan untuk kembali lagi ke dalam kamarnya.

"Apa yang sedang terjadi sama mereka. Kenapa Mas Panji terlihat seperti itu. Dan Mbak Arini tadi gimana keadaannya?"Bi Sumi bertanya-tanya sendiri. Penampilan Panji tadi malah menbuatnya khawatir pada Arini. Pasti ada apa-apa sama wanita malang itu.

"Aku berdoa semoga Mbak Arini sekarang baik-baik saja. Dan mas Panji tidak menyakitinya."batin Bi Sumi yang sudah kebngungan sendiri dan tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk Arini.

Sedangakn Panji kini berada di luar kamar dan berdiri tepat di depan pintu kamarnya sendiri. Kakinya terus mondar mandir di depan pintu. Tangannya dia gigit sendiri tapi tidak sampai menimbulkan rasa sakit disana. Ditambah lagi tangan satunya terus digunakannya untuk mengacak-acak rambutnya sendiri.

Panji merasa menyesal sekali atas perbuatannya barusan. Perasaan bersalah dan menyesal kini sedang menguasai dirinya. Sampai-sampai dia bingung dibuatnya.

"Astaga ."Panji menyentuh bibirnya yang masih bisa merasakan rasa manis di bibirnya. Jejak bibir Arini masih tertinggal disana. Jari-jemarinya menyentuh bibirnya sendiri.

Panji membuka lagi pintu kamarnya. Dia ingin memastikan keadaan Arini. Tangannya berusaha membuka gagang pintu dengan pelan sekali agar Arini tidak mendengarnya. Setelah sedikit terbuka kepala Panji berusaha di masukkan sedikit dan melihat dari kejauahan.

"Dia masih menangis dan pakaiannya belum dia pakai."Panji melihat Arini masih bersembunyi di balik selimutnya. Dan pakaian miliknya sendiri yang tadinya telah diberikan kepada Arini masih berserekan di atas selimut. Sedangkan di lantai masih terlihat robekan daster milik Bi Sumi yang sebelumnya dipakai Arini.

Melihat Arini yang masih menangis itu membuatnya tidak tega untuk mendekati Arini. Dia tahu kalau Arini menangis itu tentu karena kejadian tadi. Akhirnya Panji menutup kembali pintu kamarnya dan membiarkan Arini untuk menenangkan pikirannya dulu. Pasti Arini sekarang syok makanya menangis.

avataravatar
Next chapter