webnovel

Keping Kenangan

Setiap kenangan adalah cerita. Termasuk bagaimana kita bersama lalu berpisah. Dengan penuh sesak kutulis ini, semoga lebih banyak manusia yang mencintaimu. Dear Alvaro, Akhirnya kuputuskan untuk membiarkan tentangmu berlayar pada mereka yang dengan lapang mau menerima. Meski harus satu paket dengan luka.

Siska_krml · 若者
レビュー数が足りません
20 Chs

Satu - Haru yang Lalu

Disebuah sudut kamar, jendela masih terkunci rapat meski cahaya mentari pagi memaksa masuk menabrak tubuhku. Aku mencoba menarik bibirku, membentuk senyum kecil untuk menyambut pagi. Mengingatkan kembali bahwa ada hari yang harus aku syukuri dan aku jalani.

Untuk hari ini saja, sebentar. Aku ingin menenggelamkan diriku pada setiap keping kenangan yang tersusun rapi dalam ruangan khusus di kepalaku. Memutar ulang keseluruhannya, mengabadikannya dalam bentuk tulisan. Agar selamanya kisah ini tidak akan usai, agar dia selalu bisa kukenang, kuanggap ada menemani setiap bergantinya hari.

Tentang tiga tahun silam. Tentang bagaimana dunia tak terlihat jahat sama sekali. Tentang bahagia tanpa pura-pura. Sedamai itu, aku pernah. Meski disini, di sudut kamar ini. Bahagia itu tersisa bersama kata 'pernah'

-Tiga Tahun Sebelumnya-

Diawali dengan kegelisahanku di sebuah bengkel, menatap montir berbaju kumal penuh oli yang beberapa kali mengganti alat untuk memperbaiki mesin mobil milik Ayahku. Aku menghela nafas berat sekali lagi, melirik jam dinding di bengkel itu. 07:03.

"Naya naik angkutan umum aja deh, Pak. Gak usah bilang sama Ayah," rayuku pada supir pribadi Ayah. Untuk kesekian kali aku berharap Pak Pardi setuju pada kesepakatan yang aku buat.

"Aduh, Neng. Jangan dong, nanti saya bisa dipecat Bapak."

"Pak Pardi jangan bilang Ayah. Gak akan dipecat."

"Jangan Neng, gak berani saya. Bahaya juga Neng, angkutan umum asal-asalan bawa mobilnya."

"Pak, tapi Naya ada ulangan."

"Sebentar lagi kok, Neng."

Aku kembali bersandar gelisah di kursi kayu yang telah beberapa kali disambung karena hampir patah. Dalam kegelisahan, aku menatap sebuah mobil yang baru saja terparkir di depan bengkel. Pengemudinya membuka pintu, sedikit berlari menghampiri montir yang sudah hampir sepuluh menit mengotak-atik mesin mobil Ayahku.

"Yang kemarin, tambal ban belum bayar."

"Ah lu kaya sama siapa aja. Pulang sekolah kan bisa."

Lelaki itu terkekeh pelan seraya memberikan beberapa lembar uang. "Udah ah, mau cari ilmu dulu."

"Sekalian cari jodoh?"

"Jodoh gak usah dicari, kan udah jadi takdir."

"Siap atuh."

Lelaki berjaket abu-abu itu mengacungkan jempol. Baru dua langkah, montir itu seperti teringat sesuatu. "Alvaro."

"Oit?"

"Ini ada anak sekolah lu juga. Tebengin kek, kasihan mobilnya mogok. Bakal lama nih benerinnya, mending bareng lu aja."

Aku cukup terkejut juga dengan ucapannya. Terlontar begitu saja seolah ini hanya hal sederhana. Mungkin memang iya, namun bagiku ini hal besar. Terlebih ketika lelaki itu menoleh kepadaku, tak lama ia mendekat, berdiri di hadapanku membuatku harus sedikit mendongak untuk menatapnya juga. Dia mengulurkan tangan, sedikit membuatku ragu meski kemudian aku menyambut uluran tangannya.

"Alvaro."

"Kanaya."

"Sekolah di SMA Garuda juga?"

"Iya, Kak."

"Alvaro aja. Yuk, bareng."

"Nggak usah, Kak—eh Al."

"Gak usah takut, Nay. Saya gak punya catatan di ruang BK."

"Ikut aja, Neng. Dijamin aman, saya kenal akrab sama Bapaknya," sambar montir itu.

Memang tidak terlihat seperti anak begajulan. Pakaiannya rapi, rambutnya meski sedikit panjang tapi cukup tertata, harumnya juga masih kuingat sampai beberapa tahun setelahnya. Dengan sedikit ragu, akhirnya aku mengiyakan.

"Umm... Iya deh," putusku pada akhirnya. Menatap wajah itu seperti menikmati sinar senja dikala pagi menyapa. Hangat, damai, nyaman, alasan yang cukup kuat untuk percaya. "Pak, Naya berangkat sama Alvaro."

"Tapi, Neng—"

"Pak, Naya ada ulangan. Bilang aja sama Ayah, Naya berangkat sama temen."

"Iya deh, Neng. Nanti saya bilang Bapak."

"Pak, jangan khawatir. Saya bakal jaga Kanaya. Kalau perlu, sore nanti saya ke rumah. Ketemu langsung dengan Ayahnya Kanaya. Bapak gak akan dipecat kok," ujarnya seolah mengerti apa yang dikhawatirkan.

Sebentar. Apa tadi? Ke rumah? Sore ini? Yang benar saja, pertemuan ini belum genap sepuluh menit. Apa mungkin lelaki yang kini mulai melajukan mobilnya adalah tipe lelaki yang demikian pada setiap perempuan?

"Kanaya, kelas berapa?"

Aku menoleh sejenak, memastikan dia memang berbicara padaku. Namun, ketika matanya bertabrakan dengan mataku, aku segera memalingkan wajah. Tatapannya terlalu damai untuk dinikmati. Bahaya jika kemudian aku tenggelam di dalamnya.

"Satu."

"MIA atau IIS?"

"Mia."

"Mia berapa?"

Duh, dia jadi banyak tanya. Suaranya juga sangat lembut seperti alunan nada jelang tidur. "Mia enam."

Dia mengangguk mengerti. "Naya suka bolu kukus?"

"Hah?" bukan, aku bukan bingung pada bolu kukus melainkan terkejut pada pertanyaannya. Mengapa harus bertanya soal aku menyukai makanan itu atau tidak. Pentingkah bagi seseorang yang baru mengenal selama sepuluh menit berjalan?

"Suka bolu kukus?"

"Memang kenapa?"

"Memang harus tanya dulu kenapa, ya?"

"Suka."

Setelah beberapa meter hingga mobil berhenti di lahan parkir sekolah, dia mengambil sesuatu dari jok belakang. "Bawa, nih," ucapnya seraya menyodorkan kotak makan hitam bergaris biru tua.

"Apa?"

"Bolu kukus."

"Nggak usah, Al. Naya udah makan."

"Gak apa, dimakannya nanti istirahat. Coba dulu, ini buatan Umi saya."

"Tapi—"

"Supaya ada alasan kita ketemu lagi."

Eh? Apa katanya? Apa aku tidak salah dengar? Apa aku sedang terjebak dalam kandang buaya? Dia menaruh kotak itu di atas tas sekolahku yang aku pangku, kemudian keluar dari mobil. Aku segera mengambil kotak itu dan ikut keluar.

"Kenapa kita harus ketemu lagi?"

Saat ini, aku dan dia dipisahkan oleh mobil. Dia tersenyum samar. "Karena kamu suka bolu kukus. Dan aku punya bolu kukus paling enak di dunia."

Aku? Bukankah sebelumnya dia menyebut dirinya sendiri dengan kata 'saya'? Dia ini siapa, sih!

"NAY," Panggil seorang perempuan di ambang gerbang. Amel. Temanku.

"Aku duluan, Al."

"Iya. Jangan lupa dimakan."

Aku mengangguk pelan, kemudian berlari menghampiri sahabatku satu-satunya. Amel namanya. Dia cantik, ceria, murah senyum, banyak teman, ramah, pengertian, segalanya dan yang terpenting mau berteman denganku.

"Eh ngapain tadi sama Kak Alvaro."

"Lo kenal?"

"Ya ampun, Nay. Kenal lah. Dia itu yang sering jadi bahan kehebohan anak cewek kelas kita."

"Yang Rina sempat teriak-teriak kegirangan cuma karena senggolan sama dia terus dia minta maaf?"

"Nah tau. Jadi, tadi ngapain?"

"Nggak. Cuma gak sengaja ketemu aja terus ngobrol bentar."

"Oh, ya udah yuk."

Pagi itu adalah awal dari pagi-pagi terbaik di masa itu juga awal dari pagi-pagi sendu setelah tiga tahun berlalu. Adalah pagi yang berulang kali ingin kuputar ulang lalu kuubah cerita. Dimana aku tidak ikut dengannya ke sekolah, tidak menerima kotak berisi bolu kukus yang ia berikan dengan alasan agar kami bertemu kembali. Alvaro, kita seharusnya tidak saling mengenal agar tak perlu ada yang harus pulih ketika diantara kita harus ada yang pergi. Kita seharusnya tidak hidup dalam satu buku, Al. Tidak sama sekali menyesal, hanya saja menikmati luka atas kepergianmu memang sesakit ini.

***

Sementara sekarang, di kota yang sama. Aku masih termenung di pojok kamarku, menatap lembaran kertas putih yang kotor ulah tinta dan air mata. Hidup mungkin perihal tinggal dan ditinggalkan, semestinya ini terlihat wajar. Kepergiannya seharusnya terasa wajar dan bisa kuterima. Seharusnya. Namun apa yang ia beri pada hidupku tidak mampu membuatku merasa wajar. Kehilangannya sama seperti kehilangan duniaku.

"Naya, turun, Nak. Kita sarapan," panggil Ayah dibalik pintu kamarku.

"Iya, Ayah."

Aku mengusap air mataku, mengeringkan rambutku yang masih basah usai mandi. Setelah rapi, aku turun. Ikut duduk diantara keluargaku.

"Nay, rajin amat udah mandi. Mau kemana lu?" tanya Bang Aryo. Kakakku.

"Ada jadwal les, Bang."

"Ayah yang antar?" tanyanya lagi pada Ayah.

"Memang kamu mau Ayah suruh antar?"

"Mau lah, Yah. Tapi karena hari ini mau antar Evira ke Bidan, jadi mending Ayah aja."

"Sombong amat yang mau jadi Bapak."

"Iya dong," kekeh Bang Aryo.

Sementara aku hanya ikut tersenyum kecil sesekali menyendok serealku.

"Naya gak makan nasi?"

"Nggak, Yah. Nanti siang aja."

"Kamu tambah nasinya, Ibu hamil harus banyak makan." Tiba-tiba Ibu berkata demikian pada Kak Evira. Membuatku dan Ayah ikut menoleh.

"Iya, Bu. Ini Vira tambahin."

Ibu tersenyum melihatnya. Aku kembali menatap makananku, meski dengan luar biasa sakit di dalam tubuhku melihat Ibu sebaik itu pada menantunya. Terkadang, aku juga ingin diperlakukan sebagaimana anaknya. Namun fakta memang tidak bisa kuubah, di keluarga ini aku hanya seorang pendatang. Anak yang dengan baik hati dibesarkan Ayah dan Ibu, yang begitu dicintai ketika masa kanak-kanaknya. Dahulu, aku tidak peduli tentang fakta ini. Namun sekarang, rasanya aku selalu menjadi orang lain diantara mereka. Ibu berubah sejak Bang Aryo memutuskan untuk menikah empat tahun lalu. Seharusnya aku bisa menganggap perhatian Ibu pada Kak Vira adalah hal yang wajar mengingat Kak Vira sulit hamil dan baru dipercaya mengandung anak ketika pernikahannya menginjak usia empat tahun. Pada kenyataannya ini tidak sesederhana yang seharusnya.

"Nay, udah selesai sarapannya? Les kamu lima belas menit lagi."

"Udah kok, Yah."

Aku mengambil tasku, menyalimi punggung tangan Bang Aryo dan Kak Vira, juga Ibu. Meski aku tersenyum hangat, ia akan tetap sama. Aura dinginnya begitu membekukan, membuat hangatku tak mampu mencairkanya seperti lima tahun yang lalu atau tahun-tahun sebelum Bang Aryo menikah.

Sementara itu di dalam mobil, aku hanya diam menatap jalanan dan pepohonan yang tertinggal di belakang.

"Nay, jangan benci Ibumu, ya?"

Aku tersenyum kemudian menoleh. "Ayah, Naya gak bisa benci Ibu." Aku menatap lurus ke depan, menerawang sejenak. "Bagi Kanaya, Ibu itu ibarat mentari tertutup awan pekat. Cuma perlu waktu supaya awan itu gak menghalangi sinarnya untuk menghangatkan Naya. Bisa dibilang, Ibu cuma lagi mendung. Dan mendung gak akan selamanya kan, Yah?"

Ayah tersenyum, mengelus pelan kepalaku. "Nggak akan. Maklumi Ibu ya?"

"Iya, Ayah."

Dahulu, sembilan belas tahun lalu. Seorang bayi kecil hadir diantara mereka, hadir sebagai obat kehilangan. Setelah Ibu dinyatakan keguguran, mentalnya goncang. Mengingat bayi yang didalam kandungannya adalah anak perempuan, anak yang Ibu idamkan. Sejak kecil, aku dirawat dengan penuh sayang. Tapi semua berubah sejak hadir Kak Evira, Ibu memperlakukanku sebagaimana posisiku sebagai anak angkat. Semua semakin parah sejak Kak Vira dinyatakan sulit hamil dan setelahnya, aku kehilangan seseorang penting dalam hidupku. Alvaro. Ibu semakin risih melihatku yang lebih mudah menangis, lebih sering murung, lebih sedikit bicara. Hingga sekarang, semua semakin membeku. Diantara aku dan Ibu, seperti terhalang dinding besar nan kuat yang sangat sulit aku dobrak.

Selama itu, satu tahun. Jiwaku benar-benar hancur, kuliahku batal karena ketidaksanggupan mental untuk memulai hal baru ketika hati inginnya diam merenung. Untuk itulah aku berhenti di depan sebuah gedung tinggi ini. Selama satu tahun, aku isi dengan kesibukan les, berharap bisa sedikit mengurangi stres di kepalaku. Setelah menyalimi punggung tangan Ayah, aku turun. Melambaikan tangan sejenak, kemudian berjalan masuk. Koridor sudah sepi, cahaya proyektor menembus dari pintu kaca transparan yang menempel pada pintu kayu. Samar terdengar suara pembimbing menjelaskan berbagai kalimat-kalimat membosankan.

Tidak langsung masuk pada ruangan, aku duduk di sebuah kursi yang terletak di samping pintu masuk. Menyandarkan tubuhku ke dinding, menikmati rasa dingin yang menjalar. Ketika membuka mata, tatapanku jatuh pada sneakers putih yang aku gunakan. Talinya terlepas. Sederhana, tapi mampu memutar ingatan lama.

"Nay, benerin dulu tuh tali sepatunya."

"Nanti aja, Mel. Kalo udah lewatin gerombolannya Alvaro."

Saat itu, tahun-tahun yang lalu. Aku baru saja selesai meminjam buku perpustakaan, berniat kembali ke dalam kelas karena pelajaran olahraga akan segera dimulai. Namun jalan yang biasa kugunakan, saat itu sedang dalam perbaikan maka terpaksa aku menggunakan koridor yang melalui kelas lelaki itu. Meski sebenarnya, itu bukan ide bagus. Karena sebelum aku melewatinya, dia sudah memanggil namaku.

"Kanaya."

Aku menoleh. Dia mendekat dan menunduk membuatku sesegera mungkin ikut menunduk, takut-takut dia berbuat yang tidak pantas meski sebenarnya saat itu aku menggunakan celana olahraga. Melihatku ikut berjongkok, dia terkekeh.

"Kenapa, Nay?"

"Kamu yang kenapa!"

Dia tersenyum, menarik tali sepatuku lalu mengikatnya dengan rapi. "Jangan buru-buru bisa, kan? Ini bahaya."

Lalu apa urusanmu hei Alvaro! Begitu gerutuku dalam hati. "Bukannya urusan kita udah selesai? Kotak makannya udah aku balikin, dan kita udah bertemu lagi."

"Belum, Nay. Buktinya kamu masih merangkum 'aku'dan 'kamu' menjadi 'kita' di kalimat tadi. Iya kan?"

Tidak. Dia bukan manusia biasa. Aku rasa demikian. Karena setelah itu dia hanya tersnyum kecil lalu kembali mengobrol bersama teman-temannya.

Tidak ada yang harus aku takutkan terlebih perihal kehilangannya. Tidak pernah sedikit pun terpikir bahwa dia akan membuatku merasa hancur sehancurnya di kemudian tahun.

Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Seketika senyumku menjadi senyum luka. Aku menunduk, meremas ujung buku tebal yang berada di pangkuanku. Hingga sampai pada sebuah tangan yang meraih tali sepatuku lagi. Di tahun yang berbeda, di tempat yang berbeda, di keadaan yang berbeda. Lelaki yang kemarin sempat berada di dalam kamarku sekadar berkenalan dan memberi bingkisan titipan. Ah dia juga yang menyelamatkanku ketika aku mencoba tenggelam.

"Lo kalau malas taliin sepatu, mending gak usah pakai sepatu tali."

Aku menarik kakiku, membuat jemarinya terlepas dari tali sepatu yang aku gunakan. "Gue bisa sendiri."

Dia mendongak. "Lo kenapa sih sebenernya?"

Aku tak menjawab, segera berdiri dan masuk ke dalam kelas. Aku juga tidak tahu akan sampai kapan lari dari setiap perkenalan, nyatanya memang tidak mudah membuka jalan masuk untuk yang akan pergi lagi. Padahal seharusnya aku bisa mengerti bahwa takdirnya manusia adalah merasa kehilangan. Terlebih, apa hak dia untuk mengerti keadaanku? Siapa dia hingga harus tahu sebab apa air mataku. Dia hanya orang lain, orang asing yang menyelinap masuk dalam ceritaku.

***Keping Kenangan***