webnovel

Keping Kenangan

Setiap kenangan adalah cerita. Termasuk bagaimana kita bersama lalu berpisah. Dengan penuh sesak kutulis ini, semoga lebih banyak manusia yang mencintaimu. Dear Alvaro, Akhirnya kuputuskan untuk membiarkan tentangmu berlayar pada mereka yang dengan lapang mau menerima. Meski harus satu paket dengan luka.

Siska_krml · Teen
Not enough ratings
20 Chs

Dua - Kala Itu

"Nay, maaf nih, mau tanya. Emang kamu bener ya anak haram?"

"Kanaya anak panti, ya?"

"Naya tahu gak orang tua asli Naya?"

"Baik banget ya orang tua angkat kamu, Nay? Sekolahin anak pungut aja di sekolah elit."

"Gak usah belagu, Nay. Siapa tau orang tua lo itu tukang minta-minta."

Kamu tahu rasanya terlalu sering menangis sampai akhirnya ketika terluka justru hanya diam. Seolah baik-baik saja padahal hanya sedang mati rasa sebab masalah yang itu-itu saja? Jika pernah, itulah aku ketika mendengar pertanyaan mereka. Koridor penghubung kelas dua belas dan kelas sebelas entah mengapa terasa amat jauh. Aku berusaha mempercepat langkah kakiku, hingga kemudian aku tersungkur jatuh. Di depan semua kakak kelasku dan teman satu angkatan denganku.

"Astaga maaf ya, Dek. Nggak sengaja, beneran deh," ucapnya seraya menunduk mengulurkan tangan. Seseorang menepis lengannya, kemudian menggenggam lenganku yang penuh debu.

"Jangan nangis disini, ya? Bisa tahan sebentar? Aku punya tempat yang pas."

Dari mana lelaki itu tahu aku sudah hampir menjatuhkan air mata? Dan bagaimana juga dia menggenggam lenganku melewati banyak sekali siswa yang mengerubungi menatap iba padaku. Setelah berada di koridor cukup sepi, dia melepaskan genggamannya bersamaan dengan air mataku yang luruh.

"Nangis aja, disini jarang orang lewat."

Aku menunduk, terisak beberapa kali. Dia? Lelaki bolu kukus itu hanya diam. Seperti memberiku jeda beberapa saat, kemudian ia menyodorkan sebuah tisu. Aku menatap curiga.

"Dari mana?"

"Itu tadi mulung."

"Ish, gak mau."

"Bercanda. Ya dari kelas lah, Nay. Minta sama cewek-cewek. Bersih serius deh aku gak bohong."

Aku menatapnya kesal, mengambil tisu itu dan memakainya untuk mengusap air mata yang baru berhenti menetes. "Dari mana kamu tau tempat ini jarang orang lewat?"

"Karena katanya angker."

"HAH?!" sesegera mungkin aku berdiri di sampingnya. Menyapu seluruh lorong yang diapit dua ruangan laboratorium. "Beneran ya, Al? Emang serem sih."

"Iya, penunggunya suka anak kecil."

"Huh, untung aku 17 tahun."

"Setan mana tau umur kamu 17 tahun. Dia liat dari perawakan. Kamu nih salah satu sasarannya."

"Al!" geramku seraya meremas hoodie yang saat itu ia gunakan. Seharusnya tidak demikian, sungguh saat itu aku benar-benar merinding, tidak sempat berpikir bahwa itu hanya khayalan dan tipuan Alvaro.

Dia tertawa pelan. "Udah nggak sedih?"

Ah iya. Sampai dimana tadi sedihku? Gara-gara penunggu lorong suka anak kecil, aku jadi melupakan bahwa tujuanku ke sini untuk menangis.

"Udah," jawabku lirih seraya memberi jarak pada aku dan Alvaro.

"Kok jauh-jauh gitu?"

"Kenapa harus dekat-dekat?"

"Kalo sama aku, setannya gak berani culik kamu."

"Alvaro! Bisa kan gak usah ngomongin setan?"

"Makannya sini."

"Nggak mau. Aku mau ke kelas."

"Tunggu," ucapnya seraya mengeluarkan earpod lalu memasangkannya pada telingaku.

"Apa?"

"Jangan dengerin mereka."

Aku diam. Dia tersenyum setelah menekan tombol play. Ketika dia berniat meninggalkanku di lorong sepi dan sedikit gelap itu, aku menahan lengannya. "Alvaro."

Dia menoleh. "Apa, Nay?"

"Aku dulu, kamu belakangan."

"Apanya?"

"Perginya."

"Oh," ucapnya diiringi tawa renyah. "Anak kecil beneran takut, ya?"

"Berisik!"

Aku berjalan mendahuluinya.

"Kanaya," panggilnya lagi.

"Apa?"

"Tambah lagi volumenya, jangan dengerin omongan mereka."

Aku hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban. Yang kemudian, setelah pertemuan itu. Semua berubah, termasuk perasaanku. Dia tidak punya nomor ponselku, dia tidak mengirim pesan singkat setiap malam, dia juga tidak membawakanku coklat, dia hanya lelaki yang menunjukkan apa yang ingin ia katakan. Aku cukup melihat untuk mendengar.

***

Earpod yang sudah tidak lagi berfungsi itu masih kugenggam, kutatap dalam. Mungkin, ia pergi ikut pemiliknya. Menyisakan bangkainya untuk membuatku mampu mengenang kejadian itu di tahun sekarang.

"Catatan lo jatuh, nih."

Aku menoleh, menatap selembar kertas penuh coretan milikku, mengambilnya kemudian menatap lelaki yang entah sejak kapan duduk disampingku. Les kali itu membuatku semakin tidak fokus.

"Makasih."

"Bokap lo bilang, dia gak bisa jemput."

"Iya."

"Jadi lo suruh pulang bareng gue."

"Hah?"

"Pulang bareng gue."

Aku diam. Menatap papan tulis yang sudah penuh catatan perhitungan. "Gak usah."

"Gue gak ngajak, gue disuruh. Jadi mau lo mau atau nggak, gue gak peduli."

Les kali itu berakhir, bersamaan dengan aku yang berdiri berniat keluar. Buku cukup tebal yang aku bawa tiba-tiba terlepas dari genggaman, beberapa kertas berhamburan membuatku mendengus kesal dan menunduk memunguti dengan terburu-buru hingga tak jarang setiap lembarnya kusut atau bahkan sobek. Sampai kemudian seseorang ikut menunduk memunguti kertasku. Aku tak peduli, dengan cepat memunguti kertas itu.

"Nay!" gertaknya membuatku terkejut dan menatap lelaki bernama Davino itu. Mungkin, dia sedikit geram melihatku yang memunguti kertas dengan terburu-buru.

"Apa sih yang lo takutin dari gue?"

Aku tak menjawab, melainkan merebut kertasku dengan cepat seraya berdiri. "Makasih udah bantu, dan makasih karena berniat ngantar gue pulang. Tapi gue bisa pulang sendiri."

Aku berbalik, namun langkahku terhenti ketika dia kembali memanggil namaku.

"Kalau lo emang takut sama gue, lo seharusnya mengenal gue, Nay. Apa salahnya berteman?"

Dengan ragu, aku berbalik. "Dari beberapa orang di kelas ini, kenapa lo cuma mau berteman sama gue?"

Dia diam sejenak kemudian berjalan mendekat. "Karena gue tahu lo butuh."

"Nggak."

"Kalau gitu, gue yang butuh."

Dia berhenti tepat di depanku, membuatku mundur selangkah. "Gak jelas lo."

"Gue tahu lo benci kehilangan. Gue juga. Kita cocok kalau berteman. Karena kita tahu rasanya ditinggalkan, maka kita gak akan saling meninggalkan. Gitu, kan?"

Kelas sudah sepi, ruangan itu hening setelahnya. Aku tak menjawab ucapannya.

"Yuk, pulang."

Seperti terhipnotis, aku mengikuti langkahnya. Di hari ini, hari bersejarah bagi seorang Kanaya. Lantunan lagu di kedai kopi pinggir jalan terdengar menggema, seolah ikut merayakan hari dimana aku menerima seseorang baru. Kanaya punya teman baru. Namanya, Davino.

Di ujung cakrawala, senja tersisa separuh. Mataku menatap liar awan-awan yang tersuar cahaya jingga. Dimana Alvaro? Apakah dia juga bisa melihat betapa indahnya langit sore itu?

"Langit itu tabah. Hatimu juga harus gitu, Nay."

Sama seperti sore yang telah ditelan masa, dia pernah mengatakan kalimat itu di tengah kesibukan jalanan. Dan lagi, hari itu aku hanya bisa diam mendengarnya. Saat dimana aku masih merasa asing di sampingnya, saat dunia terlihat baik-baik saja meski tanpanya.

Aku menghela nafas berat, Davino menoleh sejenak kemudian kembali pada kemudinya. "Hobi lo selain diam, apa sih, Nay?"

Aku tak menjawab.

"Ya elah, kita temenan loh sekarang."

Lagi. Aku hanya diam.

"Diam mulu lo, kesurupan pensil, ya? Bikin gue lapar aja, mampir makan gak apa-apa, kan?"

"Gak mau."

"Dih bodo amat, gue sih lapar."

"Ya udah gue pulang naik angkot aja."

"IYA IYA GAK JADI MAMPIR WARUNG SATE! Puasa aja gue sejalan-jalan."

Aku memalingkan wajah, bibirku sedikit tertarik membentuk senyum tipis.

"Eh sumpah lo senyum?"

Aku tergagap, menoleh cepat setelah mengembalikan ekspresiku yang semula. "Apa?"

"Berapa tahun lo gak senyum? Kaku banget senyum lo."

"Sok tahu."

"Tahu lah, bokap lo cerita sama gue. Lagian, malam-malam bukannya tidur, malah nyemplung kolam renang. Nemo kalo liat lo aja bisa istigfar."

"Nemo siapa?"

"Ikan, Nay. Finding Nemo. Masa lo gak tau?"

"Oh."

"Oh doang?"

"Terus?"

"Emang gak lucu, ya? Astaga semangat Davino, semangat. Sedikit lagi lucu," ucapnya pada dirinya sendiri. Aku sekuat tenaga menahan tawa.

Di teras rumah, Ayah duduk ditemani secangkir teh hangat yang baru saja disajikan Ibu. Mendengar suara mobil, Ibu yang hendak kembali ke dalam rumah akhirnya berhenti di ambang pintu. Senyum kemenangan terpancar dari wajah Ayah ketika melihatku dan Davino turun dari mobil.

"Sore, Om, Tante," sapa Davino seraya menyalimi punggung tangan mereka.

"Kok udah pulang, Dav? Duduk sini."

"Davino, mau Teh atau Kopi?"

"Nggak usah, Tante. Davino sebentar, kok." Ujar Davino seraya duduk di kursi kayu yang berhadapan dengan Ayah.

"Eh gak boleh gitu. Teh aja ya? Masih muda gak boleh kebanyakan kafein," ucap Ibu seraya berjalan pergi. Tentu saja tanpa menanyakan apapun padaku. Jangankan bertanya, tersenyum kecil saja tidak. Aku duduk di samping Davino, mengeluarkan laptop untuk sekadar mengunduh film.

"Om, main-main lagi ke rumah. Papa beli meja tenis baru."

"Wih, yang dari luar negri itu?"

"Mantap lah pokoknya."

"Oke. Nanti Om main sama Naya. Iya, kan, Nay?"

Aku mendongak. "Apa, Yah?"

"Udah pokoknya nanti Naya temani Ayah."

Aku mendengus, kembali pada layar laptopku. Memilih beberapa film yang akan aku pakai untuk menambah kesibukan. Bukan tanpa alasan, aku ingin aku tidak terdiam dan menerawang hingga kemudian aku marah kepada semesta yang selalu memberi kejutan perihal rasa sakit.

"Diminum, ya?" ucap Ibu yang kini meletakkan cangkir kaca di depan Davino.

"Aduh, jadi ngerepotin gini, Tante."

"Tante gak repot. Seneng kalo ada tamu. Sering-sering main sini."

Davino terkekeh pelan. "Iya Tante."

"Lanjut ngobrolnya. Tante ke dalam dulu, ya?" ucap Ibu seraya berbalik.

"Bu," panggilku, membuat langkahnya terhenti lalu menoleh menatapku. Ia tak bertanya apapun, hanya diam menatapku. Seolah dari tatapan itu dia sedang bartanya.

"Ibu tau film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk?"

"Tau."

"Bagus gak, Bu?" tanyaku antusias karena senang Ibu merespons.

"Bagus."

"Nyeritain apa, sih, Bu? Naya mau non—"

"Tonton aja," potong Ibu, seraya berjalan meninggalkan teras rumah. Aku tersenyum samar, memutuskan untuk mengunduh film tersebut.

"Bagus, Nay. Gue juga udah nonton. Kisah cinta sih, cuma dipadu budaya gitu. Pokoknya keren banget, sedih juga. Film itu sering dibilang Titanicnya Indonesia. Tapi bagi gue nggak, film ini punya wajah sendiri. Pokoknya lo harus nonton."

Aku tersenyum pada Davino. "Lo juga suka nonton film romantis?"

"Sebenernya nggak, Devina yang suka. Diakan jomlo, jadi kalo nonton minta temenin gue terus. Malesin."

"Loh, Dav. Bukannya kamu juga jomlo, ya?" timpal Ayah.

"Iya juga, sih, Om."

Aku dan Ayah terkekeh mendengarnya. Sore semakin tenggelam, jingga semakin pekat. Setelah tegukan kesekian kali, Davino bangkit lalu pamit. Dia juga pamit padaku sebelum masuk mobil.

"Besok berangkat bareng, ya, Nay?"

"Nggak usah."

"Gue kasih rekomendasi film-film bagus."

Aku diam seraya berpikir.

"Sambil makan sate," tambahnya seraya menaik-turunkan alisnya.

"Iya-in aja, Nay. Biar gak bosen dirumah terus," ucap Ayah.

"Iya iya."

"Oke. Sore, Om."

"Iya, Sore. Hati-hati naik mobilnya."

"Siap."

***Keping Kenangan***