webnovel

Hyperplexia

Meri terbangun dengan junior di sampingnya serta paparan cahaya matahari yang menembus kaca balkon. Malam itu setelah mengantar andre dan maria pulang, junior memeluknya terus menerus dan tak ingin tidur bersama sima dan randy. itu wajar karena junior takut mendengar suara tinggi randy saat memarahi ibunya.

Suara ponselnya membangunkannya di pagi hari.

📞"Halo"

📞"bagaimana kabarmu?"

📞"tidak baik, bagai mana bisa kau bertanya begitu santai setelah dua bulan tidak memberi kabar. aku berpikir kau tidak jadi menjemputku"

📞"meri, dua bulan ini aku bekerja siang malam agar bisa secepatnya menjemputmu. berkas kuliahmu sudah siap, kau hanya perlu mengikuti ujian masuk tiga minggu ke depan."

📞"baiklah. apa sekarang projek mu sudah selesai? tiga minggu ke depan itu masih cukup waktu. dua minggu lagi ulang tahun junior, apa kau tidak akan datang?"

📞"semua sudah selesai, berkas untukmu juga sudah selesai tinggal menunggu waktunya. aku sangat lelah, pagi ini sangat cerah" ilham berdiri di balkon menatap pemandangan gedung-gedung tinggi perkotaan.

📞"di sini juga sangat cerah. eh, bukankah di paris seharusnya jam satu dini hari? kau di mana?" meri merasa curiga.

paris dan indonesia selisih waktu enam jam lebih lambat dari indonesia. melihat jam dinding baru pukul tujuh pagi, seharusnya di paris baru pukul satu dini hari. jadi mana mungkin pukul satu nampak begitu cerah.

📞"aku di Indonesia tepatnya di provinsi bangka belitung. hanya berjarak sekitar lima kilometer dari rumahmu" jawab ilham tersenyum licik di ujung telfon

📞"benarkah? tapi bagaimana kau tahu jarak dari rumahku ke tempatmu hanya lima kilometer? kau bahkan tidak pernah ke rumahku sebelumnya" ujar meri merasa ilham tidak pernah tahu alamat rumahnya.

📞"tutup telfonnya, ayo kita bertemu empat jam dari sekarang. bawa junior sekalian"

📞"oke"

Setelah telfon terputus, ilham tidur sejenak untuk melepaskan penat setelah perjalanan jauh serta pembalasan dendam karena selama dua bulan tidak memiliki tidur yang cukup. Dia terlalu sibuk menyelesaikan projeknya bersama investor asing serta mengurus proses masuk meri di universitas lamanya. Dia juga mengurus sebuah kejutan untuk sang bidadarinya.

Di tempat lain meri mulai merapikan diri dan mengurus junior. Mereka turun dan melihat semua orang sudah berkumpul di meja makan. walau sudah memiliki seorang putra, ibu meri masih memperlakukan meri layaknya tuan putri yang tabu baginya menyentuh peralatan dapur.

Ayah dan kakak meri tak jauh berbeda, hanya randy menjadi lebih pendiam karena masalah kemarin.

"ibu, ilham sudah tiba dan mungkin akan segera berkunjung ke rumah" ujar meri membuka topik pembicaraan.

"itu bagus, beritahu ibu kapan ia akan bertamu agar ibu bisa menyambutnya" ibu meri tampak lebih bersemangat dari yang lainnya.

"apa kau yakin dengan pria itu? jangan sampai kau memilih pria yang sama seperti mantan suamimu" ejek randy.

Meri merasa tidak senang dengan sindiran dari kakaknya itu, perkataan itu terlalu frontal dan kasar di telinga.

"aku sudah yakin" jawab meri singkat dengan penekanan di setiap katanya.

Sarapan pagi itu menjadi garing karena perselisihan antara randy dan meri, di tambah lagi sima yang terus saja mengganggu junior yang duduk di samping meri agar indah ke sebelahnya.

Benar-benar memuakkan dan kekanak-kanakan. meri tampak heran di usia yang lebih tua enam tahun di atas meri, sima bahkan lebih seperti bocah sekolah yang labil dan cemburuan. Randy sebagai suami bahkan tidak menegur istrinya seakan mendukung tindakan tidak bijaksana istrinya itu.

Sudah hampir empat jam sejak telfon ilham terputus. meri mengganti pakaian rumahnya dengan dress selutut dan sepatu boots merah berbahan bludru serta tak lupa tas ransel berisi perlengkapan junior.

Hampir tak ada perbedaan antara meri saat berusia 18 tahun dan saat ia sudah memiliki putra. mereka lebih tampak seperti adik kakak yang begitu kompak dengan baju couple berwarna hitam senada dengan baju yang di gunakan junior.

Meri mengambil junior dari pangkuan sima karena ilham sudah berada di halaman rumah. Saat meri akan berjalan keluar, ilham justru berdiri di depan pintu.

"bukankah kita akan langsung berangkat?" tanya meri

"tidak, ada yang ingin aku bicarakan dengan keluargamu. setelah selesai barulah kita pergi"

"jangan hari ini, ibu akan memarahiku karena tidak memberi tahunya kau akan bertamu. ku pikir kita hanya akan langsung pergi"

Tak ingin memberi masalah kepada meri, ilham mengalah dan memutuskan akan berkunjung besok. Mereka kini berada di sebuah mobil CRV berwarna hitam. Meri sedikit bingung melihat pilihan mobil yang di kendarai ilham. Ilham pencinta mobil mewah, mobil sekelas CRV benar-benar jauh dari harapan meri.

Ilham menjelaskan bahwa dia hanya ingin berjalan bersama tanpa perhatian dari orang sekeliling. pada kenyataannya, mereka terbebas dari pandangan saat di mobil, tapi saat berada di sebuah pusat perbelanjaan semua mata tertuju pada mereka.

Di kota itu, sedikit sulit menemukan pria berkulit putih bersih jika bukan etnis china. Melihat ilham berkulit putih bersih dengan wajah khas indonesia, spontan tatapan para gadis mengarah kepadanya.

"lihat, pria itu sangat tampan"

"iya, dia tampan. wanita di sampingnya dan anak kecil itu, siapa mereka"

"itu pasti adik-adiknya"

"ku rasa begitu"

ilham dan meri saling pandang mendengar celotehan orang-orang di sekitar mereka.

"kita kemari untuk apa?"

"kita ke lantai atas, aku dengar ada banyak permainan untuk anak-anak" ujar ilham menggenggam tangan meri agar mengikuti nya.

Tak ayal semua mata semakin menatap tajam ke arah meri seakan memvonis meri bersalah telah berani bersentuhan dengan tangan pria idola sesaat mereka.

Di lantai empat, suara terdengar riuh dengan berbagai games anak-anak serta teriakan anak-anak yang berlari ke sana kemari.

Meri merasa menyesal tak pernah membawa junior ke tampat seperti ini. Dia hanya membawa junior ke tempat wisata edukasi untuk pengenalan lingkungan dan mengenali kepribadian putranya lebih dekat.

"Junior, kemari. mari kita bermain bersama"

ilham merebut junior dari pelukan meri dan membawa anak kecil itu ke sebuah arena permainan mandi bola. mau tak mau, meri tertawa melihatnya. junior sudah berusia hampir tiga tahun, entah apa reaksinya saat di ajak bermain mandi bola.

wajah ceria dan tawa terbahak-bahak yang terdengar dari keduanya saat junior masuk ke kolam mandi bola sedang ilham berada di samping kolam melempari junior dengan bola hingga ia hampir tenggelam.

saat kepalanya hampir tenggelam, junior meronta hingga bola di sekitarnya berhamburan. anak itu tertawa riang melihat bola-bola ringan warna warni itu beterbangan.

Bosan dengan mandi bola, ilham mengajak junior mencoba bermain perosotan. lagi-lagi junior terlihat menikmati permainan itu. meri hanya menonton dan sesekali meneriaki junior memberinya semangat dengan tepukan tangan saat putranya berhasil menginjak lantai tanpa terjatuh.

Meri duduk di kursi untuk memantau kegiatan junior yang sedang asik bermain bombom car di temani ilham. Mereka seperti ayah dan anak yang sedang berbahagia dengan menghabiskan waktu bersama di hari libur.

Hanya saat bermain trampolin, meri bisa ikut bersama mereka. junior melompat ke sana kemari dan terkadang jatuh namun tidak membuatnya kapok untuk mencoba lagi.

"putramu sepertinya akan jadi sosok pekerja keras dan penuh tekad sepertimu" ujar ilham yang mulai beristirahan di tengah area trampolin sambil mengawasi junior bermain.

"Mmm, dia sepertiku dalam hal kegigihan dan pantang menyerah. tapi hatinya lebih sensitif dariku. dia selalu terkejut saat !endengar suara tinggi bahkan terkadang menggigil. apa menurutmu itu hal yang wajar?" meri sudah lama khawatir tiap kali junior terkejut.

anaknya itu bahkan akan terkejut dengan sentuhan tiba-tiba oleh sesorang dari arah belakangnya. Karena itu, meri tak pernah berusaha mengejutkan putranya itu sebagai bentuk candaan atau surprise. Dia lebih memilih mengatakannya secara terus terang dan menanyakan pendapat putranya.

"itu mungkin hanya keterkejutan biasa. rasanya tidak mungkin dia mengalami hyperplexia. Dia sangat aktif"

"aku tidak berpikir begitu. sejak awal dugaanku bahwa itu hyperplexia. dia bahkan terkejut dengan sentuhan. suara petasan, atau suara keras lainnya. termasuk gertakan" meri menjelaskan keadaan putranya.

"apa separah itu?" ilham menatap junior yang masih asik dengan permainannya.

"aku tidak tahu itu akan semakin parah seiring bertambah usianya atau justru berkurang"

"apa kau sudah mengatakan hal ini kepada andre. dia mungkin bisa mendiagnosa dari sisi psikologinya"

"sudah, tapi dia juga merasa itu hyperplexia. menurutmu apa itu mungkin karena kondisiku saat mengandungnya? aku sepertinya mengalami tekanan psikologi waktu hamil. apa kau mengetahui sesuatu?"

ingatan ilham terbang menjelajahi masa lalu dan menemukan kenangan saat meri mengalami post syndrom traumatic disorter. itu mungkin salah satu penyebabnya tapi kemungkinannya sangat kecil.

"waktu itu kau memang mengalami PSTD, tapi itu sudah lewat dan berhasil di lewati dengan therapy dan juga setelah pemeriksaan, tidak di peroleh kelainan pada junior. jika itu karena dia terlahir prematur, mungkin organ tubuhnya belum bekerja sempurna saat itu. seiring bertambah usia seharusnya sudah semakin baik. apa kondisinya semakin buruk?"

"tidak, hingga kemarin dia terlejut dengan suara randy berteriak di depan junior. andre saat itu menanganinya jadi itu tak akan jadi masalah. aku hanya khawatir itu kelainan saraf"

"tenanglah, aku akan coba memastikannya" ilham bangkit mendekati junior dari arah belakang untuk memastikan kecurigaannya.

saat ia menyentuh pundak junior, anak itu terdiam kaku tanpa bereaksi. ilham segera memutarnya hingga berhadapan.

meri melihat kejadian itu semakin khawatir, tapi ilham sudah memberikan peringatan agar ia tak mendekat dan mempercayakan semuanya kepada ilham. Dan itulah yang sedang ia lakukan. ilham ahli bedah saraf dan sudah dikenal dunia dengan tangan dinginnya dan diagnosa tepat hanya dengan melihat reaksi pasiennya pada pertemuan pertama.

perlahan, ilham kembali menghampiri meri dan meninggalkan junior yang sudah kembali sibuk dengan mainannya.

"meri, kita harus cepat membawanya ke paris. project yang ku tangani selama dua bulan itu mengenai mutasi gen baru. penderitanya kurang lebih bereaksi sama seperti reaksi junior dan itu akan semakin berbahaya jika di biarkan berlarut-larut" ujar ilham sambil memegang tangan meri.

"apa sebaiknya minggu ini kita berangkat? ulang tahunnya tidak perlu di rayakan jika itu tidak memungkinkan" meri sangat khawatir setelah mendengar diagnosa ilham mengenai kelainan putranya.

"biarkan kita merayakan ulang tahunnya di sini. sehari setelah itu, kita langsung berangkat ke paris. aku akan mengawasi perkembangannya selama dua minggu ini untuk memperkuat dugaanku. aku juga perlu tahu ini sudah separah apa"

"baiklah" meri menatap sedih putra kesayangannya itu.

Bagaimana mungkin hati seorang ibu yang setiap hari melihat tawa riang anaknya kini mendengar penyakit langka pada putranya dan hatinya tak teriris. dia tidak menduga, di usia sedini ini junior harus merasakan sakit.

"dia akan baik-baik saja. aku akan memastikannya" ujar ilham menenangkan meri.

mereka kembali di sore hari setelah puas bermain, makan dan berbelanja. Meri mengajak ilham untuk tinggal di rumah sebagai dokter junior, tapi ilham menolak karena merasa itu tidak perlu karena meri bisa mengawasinya saat ilham tidak berada di rumahnya dan berjanji akan datang di pagi hari dan ke!bali di sore hari seperti hari ini.