"Apa lagi yang kau pikirkan, Shelia?" tanya Ayhner begitu keluar dari kamar mandi. Lilitan handuk berwarna putih yang hanya sebatas panggul itu, memperlihatkan tato bintang di sekitar perut bagian samping Ayhner yang keras.
Shelia sekilas menatap prianya tersebut. Seharusnya Shelia sangat bangga bisa menjadi istri dari seorang Ayhner Hamilton. Tapi nyatanya selama beberapa bulan menjadi istrinya, sikap Ayhner tetaplah sama.
Terkadang lembut dan hangat. Kemudian menjadi dingin dan jauh. Bahkan seperti tak tersentuh.
"Kau pikir apa lagi? Banyak hal yang aku pikirkan. Dimulai dari apa rencanamu membawa Valeri kesini, juga tentang dari mana kau mengetahui kebenaran tentang gagalnya kehamilanku?" Shelia menatap tajam ke arah Ayhner yang tengah santai mengeringkan rambutnya dengan tangan kanannya.
"Aku rasa kau tak perlu tahu semua itu, Shelia. Yang harus kita pikirkan adalah, jalan keluar dari semua masalah kita."
"Tak perlu tahu katamu? Bisa-bisanya kau mengatakan itu? Aku menyembunyikan semua ini untuk menunggu waktu yang pas untuk bercerita kepadamu. Dan kau ternyata sudah tahu entah dari mana." Shelia bersedekap menahan amarah. Hal itu tak luput dari perhatian Ayhner.
"Dan perempuan itu…"
"Namanya Valeri, itu jika kau lupa." Ayhner sedikit memperingatkan Shelia dengan tatapan tajamnya. Seketika Shelia pun mengatupkan bibirnya terkejut.
"Belajarlah menghargai orang lain, Shelia. Setiap orang punya kedudukan yang sama." Ayhner segera memakai baju yang sudah ia siapkan sebelumnya.
"Siapa dia sehingga aku harus menghargai dia? Kenapa sekarang kau begitu peduli kepada Valeri? Apa jangan-jangan apa yang dikatakan Paman Mike itu benar jika kau membawa dia ke sini itu karena ada alasan besar yang kamu sembunyikan," ucap Shelia datar.
Seketika Ayhner pun berbalik menatap Shelia dengan tatapan yang marah. Rahangnya mengeras pertanda jika Ayhner sudah benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Kau pikir apa yang aku sembunyikan? Aku tidak pernah menyembunyikan apapun darimu selama ini. Jika aku sampai menyembunyikan banyak hal padamu itu karena kau menyembunyikan rahasia besarmu lebih dulu dariku!" ucap Ayhner dengan geraman tertahan. Semarah apapun Ayhner, pria itu tidak akan meledak-ledak di depan isterinya.
Sebenernya apa maksudmu menyembunyikan semua itu padaku? kehamilanKehamilan palsum,kemudian keadaan rahimmu yang bermasalah. Lalu, saat aku menuntutmu untuk memiliki anak, dari mana kau akan mendapatkan bayi itu? Apakah kau akan membohongiku dan mengambil bayi dari orang lain di luar sana yang bahkan kau sendiri tidak tahu dari mana asal usulnya!"
"Aku benar-benar kecewa padamu, Shelia. Berkali-kali aku ingin bertanya akan hal ini padamu. Tapi, aku berusaha untuk menahan diriku, menunggumu dan berharap semua ini aka segera kau ceritakan kepadaku."
"Kau tahu bagaimana rasanya menjadi aku? Aku suamimu! Seharusnya kau bisa berbagi banyak hal padaku, tapi kau justru memilih untuk berbohong, Shelia. Sejauh ini, sedalam ini, semenyakitkan ini." Ayhner terduduk lesu di sisi ranjang. Matanya berkaca-kaca namun Ayhner menahannya agar tidak tumpah.
"Apa kau mengerti bagaimana rasanya jika menjadi aku? Rasanya aku benar-benar gagal menjadi suami karena kau sendiri bahkan tak percaya padaku."
Tidak ada emosi apapun yang diluapkan oleh Ayhner. Hanya ucapan-ucapan yang tertahan agar perkataannya tidak menyakiti Shelia. Seketika air mata Shelia pun jatuh. Tidak menyangka jika kebungkaman yang dia lakukan akan berakibat fatal seperti ini.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ayhner? Kita menikah karena pilihan orang tua kita dan kita tidak menolak akan hal itu. Kita mencoba untuk saling memahami satu sama lain saat itu. Hingga suatu ketika mommy menuntutku untuk segera hamil."
"Aku pun ingin segera memiliki anak. Keinginan kita semua sama. Hingga pagi itu mommy menyeretku, memaksaku untuk memeriksakan kandunganku. Karena mommy penasaran dengan kehamilanku.
"Saat melakukan pemeriksaan itulah baru diketahui jika aku hanya berbohong soal kehamilan itu. Dan kenyataan menyakitkan lainnya adalah rahimku bermasalah dan aku tidak bisa memiliki seorang anak. Jika kau bertanya bagaimana perasaanmu karena aku membohongimu, sekarang bagaimana dengan perasaanku? Aku seorang wanita. Aku seorang istri dan aku tidak bisa punya anak." Shelia menghentikan kalimatnya. Menahan suaranya agar tidak bergetar. Shelia tidak ingin terlihat lemah.
"Kau tahu rasanya? Rasanya dunia seakan runtuh hari itu juga. Aku seperti kehilangan masa depanku, kehilangan separuh hidupku. Aku cacat dan itu kenyataannya. Dan selama ini tidak ada yang peduli padaku, Ayhner. Aku hanya mencoba menghibur diriku sendiri. Menyedihkan, bukan?"
"Tapi setidaknya kau bisa berbicara padaku, Shelia. Aku bisa membantumu. Apa kau tak percaya padaku?" Ayhner duduk bersimpuh di hadapan Shelia yang telah tersedu dengan Ayhner yang menggenggam erat tangan Shelia yang terasa dingin karena ketakutan.
"Kau tidak peduli padaku, Ayhner. Apa kau lupa. Kau baik padaku selama ini hanya atas dasar kewajiban dan kemanusiaan. Kau menikahiku demi membuktikan keunggulanmu dari Axton. Bukan cinta. Apa kau tidak menyadari itu? Tapi setidaknya aku berterima kasih padamu. Selama ini kau bersikap baik padaku meskipun pernikahan kita awalnya tak semanis pasangan lainnya." Ayhner tertunduk menyadari kesalahannya. Selama ini Ayhner memang peduli pada Shelia karena merasa ia memang harus bertanggung jawab pada hidup Shelia selaku istrinya.
Bukan karena cinta yang menggebu-gebu seperti pada pasangan lainnya. Ayhner dan Shelia adalah korban perjodohan. Namun keduanya masih bisa saling bersikap baik selama ini.
"Tetap saja, kau harus bicara padaku untuk urusan serumit ini, Shelia." Ayhner mengangkat wajahnya kemudian menyusut airmata Shelia dengan ibu jarinya. Selama ini Ayhner ternyata telah berlaku buruk pada istrinya tersebut. Banyak hal yang terjadi pada Shelia dan dia tidak tahu.
"Lalu, jika aku berbicara padamu, apakah kau tidak akan meninggalkanmu? Aku tidak bisa menjamin itu semua Ayhner. Bisa saja kau marah padaku. Bisa saja kau kecewa dan kau bisa saja memilih wanita lain mana saja yang bersedia kau jadikan ibu dari anak-anakmu. Lalu setelah semua itu terjadi, bagaimana denganku? Aku dilupakan aku ditinggalkan dan tidak akan ada satu orang pun yang mengingatku. Kau pikir aku berani jujur padamu sementara dipikiranku sudah banyak hal-hal buruk yang aku pikirkan." Shelia menghela nafas dalam.
"Sekarang, jujurlah padaku. Dari mana kau tahu tentang kehamilan palsu ku, Ayhner?" Ayhner sedikit berpikir namun akhirnya pria bermata teduh tapi tajam itu memilih untuk jujur.
"Bibi Dokter yang mengatakannya padaku siang itu. Saat aku menjemput Valeri, tiba-tiba Bibi Dokter menelponku untuk membicarakan sesuatu. Aku tidak pernah menyangka jika yang akan ia katakan itu benar-benar membuatku terkejut," ucap Ayhner jujur.
"Jadi kau sudah mengetahui semua itu sejak beberapa hari yang lalu? Dan kau membawa Valeri ke sana menemui Bibi Dokter?" tanya Shelia gugup.
"Ya, aku minta maaf, aku membawa Valeri menemui Bibi Dokter." Shelia memejamkan matanya sesaat. Dadanya bergemuruh marah menahan amarah. Bisa-bisanya Ayhner membawa Valeri menemui Bibi Dokter dan membicarakan masalah rahasia itu.
"Jadi, Valeri juga tahu tentang apa yang menimpaku?" tanya Shelia hati-hati.
"Ya, dia mendengarnya." Ayhner sangat menyesal sekarang.
Shelia tersenyum tak percaya. Dirinya benar-benar dikhianati oleh suaminya sendiri.
"Kau berkhianat, Ayhner. Kau tidak bisa menepati janjimu untuk menutupi kekuranganku," ucap Shelia bergetar. Satu butir airmatanya kembali luruh. Ada perasaan sakit yang menusuk di ulu hati Shelia.
"Kau menghianatiku, Kau benar-benar menghianatiku, Ayhner."
"Maafkan aku, Shelia. Aku tidak bermaksud menghianatimu. Aku tidak tahu jika Bibi Dokter akan membicarakan masalah itu." Ayhner mencoba menjelaskan semuanya yang terjadi saat itu.
"Tetap saja kau menyakitiku. Sekarang di rumah ini siapa yang bisa aku percaya? Aku memang membuat kesalahan, tetapi itu kulakukan karena aku tertekan oleh keluargamu! Oleh sikap mommy yang selalu memaksaku untuk memiliki keturunan. Sementara aku takut karena aku tidak bisa mewujudkan keinginan mommy. Dan sekarang kau pun menghianatiku. Kau pun membawa wanita lain masuk ke rumah ini. Apakah kau benar-benar merencanakan semua ini?"
"Kau membawa Valeri untuk menjadikannya istri keduamu?" tanya Shelia terluka. Tatapannya benar-benar sangat terluka, dan Ayhner menyesali semua itu. Ayhner menyetujui Shelia menjadi istrinya. Dan itu adalah janjinya kepada Tuhan seumur hidup untuk selalu melindunginya dalam hal apapun. Menerima segala kekurangannya dan berusaha untuk tidak menyakitinya. Tapi, nyatanya hari ini Ayhner benar-benar sudah melukai Shelia.
"Maafkan aku, Shelia. Aku minta maaf." Ayhner berkali-kali mengecup tangan Shelia dalam genggamannya. Namun tangan istrinya itu terasa begitu dingin.
"Hari ini kita sama-sama terluka, Ayhner. Kau terluka karena kebohonganku, dan aku pun juga terluka karena kelakuanmu. Apakah kita sudah impas?" tanya Shelia dengan tatapan kosong pada Ayhner.
"Demi Tuhan Shelia, jangan seperti ini. Kita bisa mulai dari awal esok pagi." Ayhner membenamkan wajahnya pada pangkuan Shelia. Shelia dengan gemetar membelai surai suaminya tersebut.
"Kamu membawanya ke sini apa karena aku yang cacat, dan aku tidak bisa melayanimu dengan baik sehingga kau memutuskan membawa Valeri kesini?"
"Apa kau begitu kesepian, Ayhner?" tanya Shelia bergetar. Kenyataan bahwa dirinya cacat benar-benar memukulnya setiap hari.
"Apa kau pernah tidur dengannya?" Ayhner mengangkat kepalanya cepat.
"Aku bersumpah aku tidak pernah. Percayalah padaku." Ayhner memang menikahi Shelia karena keegoisan orangtua mereka berdua. Tapi Ayhner bukan pria brengsek yang akan tidur dengan sembarang wanita.
"Tapi kau pernah menciumnya, bukan?" tanya Shelia ragu. Shelia hanya ingin memastikan apakah ucapan Valeri beberapa waktu lalu itu benar atau tidak.
Tapi jujur, setelah Shelia melontarkan pertanyaan tersebut, kini Shelia menjadi takut. Takut jika ucapan Valeri adalah benar.
"Siapa yang mengatakannya?" tanya Ayhner gelisah bercampur marah.
"Kau hanya jawab saja, Ayhner. Iya atau tidak. Itu sudah cukup untukku." Shelia melihat ke manik Ayhner yang murung.
"Jadi itu benar?" desak Shelia.
"Itu hanya spontan saja. Tidak berarti apa-apa," jawab Ayhner cepat. Karena kenyataannya memang seperti itu. Ayhner bahkan merutuki kebodohannya malam itu.
"Sekarang, katakan padaku, mana alasanmu yang lebih utama. Kau butuh teman tidur? Atau kau butuh seorang anak dari Valeri? Katakan padaku Ayhner, apa alasanmu sesungguhnya?"