"Berani-beraninya kau menurunkan ilmu itu tanpa seizinku!" teriaknya marah.
Nenek yang berjuluk Dewi Kematian itu menyerang Eyang Astamaya. Dia nampak begitu marah. Serangannya membabi-buta. Eyang Astamaya hanya berusaha menghindari serangan tanpa membalasnya.
"Untari, tenanglah dulu," kata Eyang Astamaya. Dia berusaha membujuk nenek yang sedang mengamuk itu.
"Dulu kau menghianati hatiku. Sekarang ilmu yang aku ciptakan bersamamu, kau berikan kepada orang lain tanpa sepengetahuanku!" teriak Nenek Untari.
Bernama asli Dewi Untari, dulunya seorang pendekar wanita yang terkenal karena kecantikannya, juga kesadisannya dalam menghadapi musuh. Sejak Eyang Astamaya mengkhianatinya, tabiatnya berubah. Setiap musuh yang berhadapan dengannya akan menemui ajal. Itulah sebabnya dunia persilatan memberinya julukan Dewi Kematian. Wanita itu tak pernah memberi ampun musuhnya untuk menghirup udara kembali.
Sang Dewi Kematian masih menyerang Eyang Astamaya dengan serangan-serangan yang mematikan. Namun, Eyang Astamaya tetap tidak melakukan serangan balasan. Rupanya dia tak sampai hati melukai kekasihnya di masa lalu.
Wisaka melihat pertempuran itu dengan hati diliputi tanda tanya besar. Dirinya hanya mampu melihat tanpa berbuat apa-apa. Sesekali menghindar dari kerikil-kerikil yang beterbangan karena kedahsyatan ilmu mereka.
"Alam apakah ini sebenarnya? Apakah aku sedang bermimpi? Manusia yang sedang bertempur itu, apakah sudah mati atau belum sesungguhnya?" Wisaka berkata dalam hatinya.
"Dewi, aku minta maaf!" teriak Eyang Astamaya. Dia selalu berubah-ubah memanggil nama bekas kekasihnya itu. Kadang Dewi kadang juga Untari.
"Sudah kubilang, walau sudah berada di akhirat pun, aku tak sudi memaafkanmu, Astamaya!" seru Dewi Kematian. Dia menyerang Eyang Astamaya dengan kekuatan penuh, tetapi pukulan itu sepertinya mudah dihindarkan oleh Eyang Astamaya.
"Dengarkan penjelasanku, aku tidak ada hubungan dengan Gayatri dulu, tapi kau terlanjur pergi dan tak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskannya!" Eyang Astamaya berkata keras di tengah-tengah gempuran Dewi Kematian.
Dewi Kematian tidak menjawab, dia tidak sudi mendengarkan penjelasan Eyang Astamaya. Tiba-tiba Eyang Astamaya berlutut, tangannya bertangkup di atas dada. Menatap dalam mata Dewi Kematian.
Dewi Kematian merasa jengah sekaligus jengkel. Dari tadi serangannya tidak diladeni, eh sekarang Eyang Astamaya malah berlutut seperti mau melamar. Bersiap dengan jurus pamungkasnya, jurus Matahari Terbenam.
Dewi Kematian mengalirkan seluruh kekuatannya di kedua tangannya. Asap tipis warna jingga keluar, mula-mula sedikit, kemudian bertambah tebal. Tangannya sudah berubah berwarna jingga. Eyang Astamaya masih bergeming dengan posisinya.
Wisaka cemas, dia ingin melindungi Eyang Astamaya, tapi bagaimana caranya. Kedua orang itu bukan tandingannya, tetapi bukankah Wisaka sudah menguasai jurus Kijang Menembus Kabut kemarin. Walau tidak tahu hasilnya, Wisaka akan mencoba menolong gurunya tersebut, karena tidak ada tanda-tanda akan melawan.
"Kau merasa bersalah, Astamaya? Sehingga kau menyerahkan dirimu begitu saja?!" tanya Dewi Kematian sambil berteriak.
Eyang Astamaya diam. Dewi Kematian semakin murka, dia bersiap menghantam Eyang Astamaya. Dendamnya di dunia akan terbalaskan hari ini. Dirinya begitu sakit hati atas kisahnya dulu bersama Eyang Astamaya. Seharusnya berakhir dengan manis, tetapi selama hidupnya hatinya penuh kebencian dan dendam.
Wisaka bersiap, pemuda itu akan memotong hantaman dari Dewi Kematian itu. Walaupun tidak tahu bagaimana hasilnya, setidaknya pukulan Dewi Kematian tidak telak mengenai Eyang Astamaya.
"Hiaat ... ciat ... ciat!"
"Wuss."
Angin berwarna jingga melesat dari tangan Dewi Kematian. Wisaka secepatnya melepaskan jurus Kijang Menembus Kabut. Tanpa diduga sebelumnya, pukulan dari Dewi Kematian berbelok arah, menghantam batu besar di pinggir sungai.
"Blaaar!"
Batu hancur menjadi bubuk. Wisaka merinding melihatnya. Apa jadinya kalau pukulan itu mengenai Eyang Astamaya. Bisa-bisa luluh lantak menjadi abu. Namun, roh berwujud Eyang Astamaya itu, apakah masih bisa hancur. Ah ... pikiran Wisaka tidak bisa membayangkan itu.
"Sialan, kau bocah! Siapa yang menyuruhmu ikut campur dalam urusanku? Darimana kau mendapatkan ilmu Kijang Menembus Kabut?" Dewi Kematian sangat marah kepada Wisaka dan memberondong Wisaka dengan pertanyaan. "Oh ... rupanya ilmu ini juga sudah kau turunkan, Astamaya!"
"Aku bisa jelaskan itu, Untari," kata Eyang Astamaya. Lelaki tua itu tidak merasa gentar sedikit pun menghadapi kemarahan Dewi Kematian. "Aku ingin menjelaskan dari dulu tentang kejadian malam itu, tapi kau tidak memberiku kesempatan."
"Apa yang ingin kau jelaskan, hah! Malam itu kau tidur dengannya, Gayatri merangkulmu, kau bilang aku salah paham? Masih mau mengelak? Masih mau membela diri?" Dewi Kematian semakin meledak kemarahannya. Dia berkata sambil berkacak pinggang, kemudian telunjuknya menunjuk-nunjuk muka Eyang Astamaya.
Wisaka yang tidak tahu duduk perkaranya, hanya menatap bingung keduanya dengan bergantian. Dia masih teringat kalau semedinya masih tersisa satu hari. Akhirnya Wisaka duduk di batu ceper dekat sungai. Kakinya dipermainkan dalam air, sambil mengawasi kedua kakek dan nenek itu beradu mulut.
"Dengarkan Untari, dengarkan aku, saat i--"
"Saat itu kau melewati malam berdua, begitu kan maksudmu, dasar Lelaki Jalang!" Dewi Kematian memotong ucapan Eyang Astamaya dengan teriakan bercampur isakan. Rupanya dia menangis karena kemarahan yang menyesakkan dadanya.
Kembali Dewi Kematian menghantamkan pukulan Matahari Terbenam, kali ini sasarannya ke atas air. Air muncrat ke mana-mana, termasuk ke badan Wisaka. Wisaka kaget, air itu panas sekali seperti air mendidih. Wisaka cepat meloncat ke pinggir sungai, berlari menjauh.
Eyang Astamaya berdiri, melangkah mendekati Untari. Untari mundur, akan tetapi Eyang Astamaya tidak perduli, dirinya tetap maju.
"Berhenti! Atau aku akan menghajarmu dengan pukulan Kijang Menembus Kabut, nyawamu akan lenyap seperti kabut terkena sinar matahari," kata Dewi Kematian sambil tetap mundur.
"Kali ini dengarkan aku, Untari, aku mohon, biarkan salah paham ini selesai hari ini. Bertahun-tahun kau memendam benci dan dendam kepadaku yang kau lampiaskan kepada musuh-musuhmu. Malam itu Gayatri terluka dalam dan dia meminta tolong kepadaku untuk mengobatinya. Begitu sampai goa, dia pingsan setelah berbicara kepadaku. Aku menggendongnya, membawanya masuk dan memberinya napas buatan. Di saat yang bersamaan kau datang dan mengira aku sedang tidur dengannya," jelas Eyang Astamaya panjang lebar.
Dewi Kematian tidak menjawab, terdiam lama dan mematung. Mungkin dia shock mendengar penuturan Eyang Astamaya. Eyang Astamaya melanjutkan ceritanya.
"Kau pergi tanpa menghiraukan panggilanku. Sejak saat itu kau berubah menjadi sangat bengis sehingga julukanmu begitu mengerikan. Aku selalu mencarimu, tapi yang kutemukan hanyalah korbanmu yang sudah hancur menjadi abu."
"Cukup ... cukup! Aku tidak mau mendengarnya. Sekarang terserah padamu, ilmu yang kita ciptakan bersama, terserah mau kau turunkan kepada siapa pun," kata Dewi Kematian sambil pergi dari tempat itu. Dia melesat terbang di atas air, menjauh semakin kecil ... semakin kecil, akhirnya tidak terlihat lagi.
Eyang Astamaya nampak menghela napas panjang. Raut mukanya berubah murung. Wisaka mendekatinya, duduk di dekatnya tanpa berani bersuara. Menundukkan muka menunggu Eyang Astamaya berbicara.
"Untari, kau masih seperti dulu, keras kepala," gumamnya.
"Siapakah Gayatri, Eyang?" tanya Wisaka.