webnovel

Bab 30. EYANG GAYATRI

Wisaka memandang ekspresi Eyang Astamaya yang sedang melihat jauh ke depan. Entah apa yang dilihatnya, mungkin terkenang kembali dengan masa-masa indahnya dulu.

"Siapakah Gayatri itu, Eyang?" Wisaka mengulang kembali pertanyaannya.

"Mendekatlah! Aku akan memperlihatkan sesuatu," perintah Eyang Astamaya.

Wisaka beringsut mendekati kakek tua itu. Eyang Astamaya mengusap wajah Wisaka. Ajaib, Wisaka seperti terlempar kembali ke suatu masa puluhan tahun silam. Pemuda itu seperti melihat sebuah tontonan film hitam putih.

"Apa yang kau lihat, Wisaka?"

"Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan sedang berlatih silat bersama," jawab Wisaka tanpa menoleh.

"Bisakah kau mengenalinya?"

Wisaka menajamkan pandangannya, berusaha mengenali keduanya. Perlahan-lahan Wisaka bisa tahu siapa anak laki-laki itu, tetapi anak perempuan itu dia tidak mengenalnya.

"Anak laki-laki itu adalah Eyang, aku mengenalinya dari tahi lalat di bawah mata kirinya, kalau yang perempuan aku tidak mengenalnya, apakah itu Nenek Untari?"

"Dialah Gayatri," jawab Eyang Astamaya. "Dia putri dari guruku, dua tahun lebih muda umurnya, aku sudah menganggapnya sebagai adik. Setiap hari kami berlatih bersama, berburu, memanjat pohon," Eyang Astamaya tersenyum melanjutkan ceritanya.

********

"Kakang, tangkap ini!" Gayatri melempar buah manggis yang banyak tumbuh di hutan tempat mereka tinggal. Manggis itu melesat cepat ke arah Astamaya. Laksana sebuah panah tajam yang meluncur cepat. Laju angin mengiringi membuat pohon yang dilalui daunnya seperti tersibak. Ketajamannya setara dengan pedang yang baru diasah. Menebas ranting-ranting kecil yang terbang setelahnya.

Astamaya kalang kabut menghindari gempuran ranting dan daun-daun yang berterbangan ke arahnya. Dia meloncat-loncat mengayunkan ranting kayu di tangannya, yang sudah berubah sekeras besi. Dia berhasil memukul manggis layaknya bermain kasti, manggis hancur berhamburan ke arah daun-daun rimbun dan menciptakan bolong-bolong di sana.

"Satu lagi, Kakang!" Gayatri melemparkan sebuah manggis lagi, kali ini yang masih mentah berwarna putih kehijauan.

Manggis mentah ini menciptakan efek yang lebih dahsyat lagi. Itu karena kerasnya kulit manggis muda. Tak lupa Gayatri juga mengisinya dengan separuh tenaga dalamnya. Gadis itu senang sekali menggoda kakak seperguruannya itu.

"Adik, mengapa kau menggodaku?!" teriak Astamaya.

Gayatri hanya cekikikan sambil menutup mulutnya. dia duduk di cabang pohon, kakinya berayun-ayun, kemudian tangannya kembali meraih buah-buah itu lagi. Dirinya semakin senang mempermainkan kakak angkatnya itu.

Astamaya semakin kerepotan dibuatnya. Pemuda itu memutar-mutar tongkat kayu menghindari serangan berbagai sampah yang sudah berubah menjadi senjata tajam. Belum lagi serangan buah-buah mentah laksana berondongan peluru.

"Sudah, Adik, aku mau istirahat," kata Astamaya menyerah.

"Satu lagi, Kakang!" teriak Gayatri.

"Wuss."

Satu sambaran angin yang lebih besar menyambar mendahului. Buah manggis mentah melesat di belakangnya. Kali ini Astamaya tidak main-main. Dia mengerahkan seperempat tenaga dalamnya untuk memukul bola manggis itu. Manggis berbelok arah setelah di pukul. Buah manggis meluncur berbalik ke arah Gayatri.

"Blaaar!"

Pohon terbelah menjadi dua, kemudian tumbang dengan suara berdebum. Buahnya yang lebat berterbangan ke segala arah. Gayatri tidak terdengar lagi suaranya. Astamaya merasa cemas takut adiknya itu tidak dapat menyelamatkan diri dan cidera.

"Adik kau di mana?" tanya Astamaya sambil melesat terbang ke arah pohon tumbang. Mengacak-acak daunnya takut menimbun Gayatri. Namun, tidak ada Gayatri di sana. Astamaya celingukan mencari keberadaan Gayatri.

Astamaya nampak kebingungan. Tiba-tiba satu kerikil mengenai punggungnya. Astamaya tahu itu perbuatan adiknya. Lega karena adiknya tidak apa-apa, dia berbalik.

"Adik, kau selalu nak--" Astamaya tidak meneruskan ucapannya, kaget melihat seorang gadis cantik berdiri dengan anggun di hadapannya. Gadis itu tersenyum ke arahnya. "Kau siapa?" tanya Astamaya.

"Namaku Dewi Untari, aku datang dari negeri seberang, berkelana di tanah Jawa ini," jawab gadis cantik itu.

"Aku Astamaya," jawab Astamaya singkat. Entah mengapa dia menjadi begitu kikuk berhadapan dengan wanita itu. Hatinya berdesir melihat rambut panjangnya yang tertata rapi dengan hiasan selendang yang digulung seperti para penari piring. Hiasan kepala khas Minang berwarna jingga bersulam benang emas.

Untari menunduk, menyembunyikan parasnya yang bersemu merah. Rupanya dia juga jengah saat saling bertemu tatapan dengan Astamaya. Gadis itu bersiap untuk melesat pergi.

"Tunggu, Dewi," kata Astamaya.

Untari semakin menunduk saat lelaki itu memanggilnya Dewi, padahal kebanyakan orang memanggilnya Untari. Sementara itu, Gayatri melesat terbang. Dia menghindari serangan balik Astamaya dan bersembunyi di pohon beringin. Pohon yang tumbuh tak jauh dari pohon manggis yang roboh itu. Dia melihat semua kejadian dari tempat persembunyiannya. Hatinya diliputi rasa cemburu. Gayatri tidak rela Astamaya memberi perhatian ke wanita lain selain dirinya. Gayatri melayang turun, kemudian berdiri di samping Astamaya.

"Siapa kau?" tanya Gayatri ketus kepada Untari. Dengan sifat kekanak-kanakan dia menggelendot manja di tangan Astamaya.

"Aku --"

"Ayo, Kakang, kita pergi,"potong Gayatri.

"Tunggu sebentar," kata Astamaya.

Gayatri tidak memberi kesempatan Astamaya untuk berbicara lagi dengan Untari. Dengan cepat menarik tangan Kakak angkatnya itu dan melesat pergi dari tempat itu. Untari melihatnya sambil tersenyum.

"Siapa dia, Kakang?" tanya Gayatri merajuk. Sesaat setelah sampai di gubuk tempat mereka tinggal.

"Pengembara, namanya Dewi Untari," jawab Astamaya. Bibirnya mengulum senyum teringat perkenalannya dengan Untari.

"Kakang suka dia?" tanya Gayatri bernada kesal.

"Eh, siapa bilang?" Astamaya balik bertanya. Hatinya berdesir teringat paras cantik gadis pengembara itu. Masih terbayang selendang jingga yang kelap-kelip terkena cahaya matahari.

Gayatri mengentak-entakan kakinya ke tanah. Dia sangat kesal dan cemburu, karena sesungguhnya hatinya tidak mau mengganggap Astamaya sebagai kakak angkatnya. Gadis ingin lebih dari itu, tetapi rupanya Astamaya tidak tanggap akan hal itu.

"Itu! Kakang senyum-senyum sendirian seperti orang gila," jawab Gayatri dengan pedas.

Astamaya akhirnya maklum kalau Gayatri cemburu, tetapi tidak maklum kalau cemburunya karena cinta. Astamaya mengganggap Gayatri sebagai adik, tidak lebih.

"Idih, yang cemburu," kata Astamaya sambil mencolek dagu Gayatri." Percayalah Kakang tidak akan meninggalkanmu, adikku yang manis," godanya.

Gayatri cemberut, hatinya kesal disebut adik. Sesungguhnya dia ingin menjadi pacar Astamaya. Namun, dia juga malu untuk bicara terus terang. Gadis itu hanya mampu merajuk dan marah-marah tak karuan.

Sejak saat itu, Astamaya dan Dewi Untari sering bertemu dan menjalin hubungan khusus secara rahasia. Sebagai wanita Untari paham kalau Gayatri punya perasaan khusus kepada Astamaya. Itulah sebabnya, mengapa dia memohon kepada Astamaya untuk merahasiakan pertemuan-pertemuan mereka.

Gayatri yang memendam suka, meminta bantuan ayahnya untuk menjodohkannya dengan Astamaya. Ayahnya ragu karena pernah melihat Astamaya bersama Untari di suatu hari. Gayatri terus merajuk dan mogok berbicara terhadap ayahnya. Sampai akhirnya Astamaya dipanggil untuk menghadap gurunya tersebut.

"Astamaya, tahukah kau, mengapa aku memanggilmu?"

"Tidak, Guru," jawab Astamaya dengan gelisah.

"Nikahilah putriku, maukah kau mempersunting Gayatri?"