Hiwari menatap jam dinding kelas. Waktu masih menunjukan pukul 12 malam.
"AAAAAAHHHH!"
Terdengar suara jeritan panjang seorang perempuan dari lorong depan kelasnya disusul suara hantaman dan tawa. Lalu setelahnya bau anyir langsung menyeruak diudara bagaikan asap beracun.
"Aku bisa gila." Hiwari berbisik lirih, pada dirinya sendiri. "Aku benar-benar bisa gila."
Dia menatap kedua tangannya yang penuh dengan noda bercak darah yang mulai mengering.
Ini sudah tiga hari sejak kejadian itu terjadi. Dia pikir dia akan terbiasa dengan semua ini, tapi sepertinya dia salah. Apa yang salah dengannya? Apa yang salah dengan dunia ini?
Pintu kelas terbuka lebar, Eric masuk dengan senyum gembira. Matanya berbinar dan Hiwari dapat melihat sekilat kegilaan disana. "Sudah sembilan puluh lima, kita hanya perlu tiga lagi."
Hiwari menunduk. Dia tidak bisa melakukan ini lagi. D-dia ... dia ....
"Sekarang giliranmu, Hiwari."
"Aku tidak bisa." Hiwari masih menunduk. Dia tak mampu melihat wajah Eric.
Anak laki-laki itu mungkin kecewa. Setelah sejauh ini dan Hiwari menyerah didetik-detik terakhir. Tapi, apa semua ini penting? Apa dia dan Eric bisa kembali seandainya ....
"Apa?" Eric mendekat, dia melempar kapak yang sedari tadi dia pegang kesembarang arah. Menimbulkan bunyi nyaring, yang seharusnya Eric tahu akan sangat berbahaya jika mereka mendengarnya.
"Kau bercanda?" Eric menarik kerah baju Hiwari. Senyuman di wajahnya memudar. Kini Hiwari dapat melihat lebih jelas bagaimana kewarasan mulai terengut dari wajah anak itu.
"Kau tidak ingin pulang, heh!? Setelah semuanya dan kau mau menghianatiku!?"
"Maaf." Hiwari menunduk.
Eric melepaskan cengkramannya kasar, membuat Hiwari terdorong jatuh ke lantai. "Sialan!"
Eric menendang meja.
"Kita tidak bisa pulang, Eric. Hidup kita sudah berakhir dari tiga hari yang lalu sejak kita berada di dunia ini."
"Diam! Diam atau kuhabisi kau sekarang juga!" Eric membentak.
"Kau berubah Eric. Dunia ini telah merubahmu."
"Kau salah, Hiwari. Kaulah yang berubah. Sudah kubilang, 'kan? Aku bisa mencari caranya. D-dan .... apa ini? Kau menghianatiku, Ya Tuhan Hiwari kita hanya perlu bertahan sedikit lagi." Eric menatap Hiwari kecewa.
"Oh, rupanya kalian sembunyi di sini, eh?"
Eric dan Hiwari langsung menoleh ke sumber suara. Seorang anak perempuan berdiri di ambang pintu kelas. Membawa sebuah gergaji mesih yang bahkan terlihat lebih besar dari tubuhnya yang mungil.
Hiwari melebarkan matanya. "Ren, kau masih hidup?"
"Berengsek! Kenapa kalian membunuhnya, hah! Kenapa kalian membunuh kakakku! Padahal kalian sudah berjanji mau menjaganya!" Perempuan bernama Ren itu mengabaikan Hiwari. Dia menatap Eric dengan tatapan membunuh.
"Dia bunuh diri, Ren. Dia bunuh diri." Hiwari berdiri berusaha mendekati Ren.
Namun, Ren mengacungkan gergajinya. Sekilas terlihat tatapan hampa dari mata kecilnya sebelum berubah menajam dan penuh kebencian. "Tidak! Dia mendorongnya! Aku melihatnya! Eric mendorongnya! Kalian merencanakan membunuhnya!"
"T-tidak mungkin. T-tunggu, Ren!"
WIRRRRRR!
Ren menyalakan gergaji mesinnya. Mengarahkannya pada Eric. "Sekarang terimalah ajal kalian, Berengsek!"
Eric tersenyum lebar. Ren berlari. Hiwari memejamkan matanya.