Benar saja, setengah jam kemudian, dokter Ridwan sudah berada di apartemenku. Dia terkejut mendapati seorang gadis di kamarku.
"Cewek itu siapa, pacar kamu?" tanya dokter usai memeriksa gadis cantik yang sampai saat ini tak kuketahui siapa namanya.
"Bukan. Aku saja tidak tahu namanya."
"Lah, bagaimana ceritanya? Atau jangan-jangan…" dokter Ridwan mulai menduga-duga. Sepertinya dia sengaja menggodaku.
"Jangan berpikiran macam-macam dulu, Dok, ela…" aku mendengus membuat dokter berkacamata itu terkekeh. Sialan, ternyata benar dia sengaja menggodaku.
"Mau mendengarkan ceritaku, tidak?" ketusku.
"Hehehe, ya sudah ceritakan soal cewek itu. Apa yang sudah kamu lakukan terhadapnya sampai dia sakit begitu?" dengan santainya dokter Irawan mencercaku sembari menulis catatan.
"Aku tidak melakukan apa-apa sumpah!"
"Terus bagaimana bisa dia ada di kamar kamu?" dokter Ridwan terus mengejarku.
"Cewek itu hampir mati bunuh diri, dok."
"Ha… kok bisa? Bagaimana ceritanya?" seketika kepala dokter Ridwan mendongak. Seolah tak percaya dengan penjelasanku.
"Makanya dengarkan ceritaku dulu, jangan tanya-tanya mulu. Kayak wartawan saja," lirihku yang dibalas dengan cengiran.
Aku menarik napas lalu menghembuskannya berlahan. Kemudian mulai meceritakan kronologinya dari mulai soal trabakan itu, sampai cewek itu hendak menenggelamkan diri ke laut. Semua aku ceritakan tanpa ada yang terlewatkan.
Dokter Ridwan manggut-manggut mendengarnya. "Oh… jadi begitu ceritanya. Oke. Ini aku kasih resep obat. Kalau yang ini diminum tiga kali sehari sesudah makan dan yang ini pagi dan sore sebelum makan," kata dokter Ridwan sembari menunjukkann obat yang harus gadis itu minum.
Tak lama setelah itu dokter Ridwan berpamitan. Sebelumnya kami ngobrol sejenak, lalu melakukan pembayaran. Awalnya dokter Ridwan menolak, tapi aku tekankan untuk ongkos pulang.
"Ceweknya canti ya. Awas kalau nanti jatuh cinta,' seloroh dokter Ridwan.
"hahahaha…. dokter ini bisa saja. Ya sudah hati-hati di jalan. Salam buat Nindy,' ujarku kemudian saat sudah berada di depan pintu. Nindy adalah perawat yang bekerja di klinik dokter Ridwan.
****
Beberapa saat yang lalu gadis aneh itu tertidur usai diperiksa dokter. Sembari menunggu dia terjaga, aku membuat bubur sumsum untuknya.
"Cewek stres, ayo bangun. Ini aku buatkan bubur. Makan dulu."
Gadis itu terbangun. Aku membantunya bersandar ke dinding. Dia menatapku. Aku mengalihkan pandangan dengan pura-pura mengaduk bubur. Entah mengapa aku merasa canggung saat bersitatap dengannya. Telah terjadi sesuatu dengan diriku. Ah, mengapa aku menjadi salah tingkah?
Sandi, kamu harus tenang. Kendalikan dirimu. Oke. Jangan terlihat gugup di hadapan gadis ini.
Sesekali aku mencuri pandang. Sial. Dia terus menatapku. Kualihkan perhatian dengan mengaduk kembali buburnya. Aku mengambil satu sendok kemudian meniup-niup bubur supaya cepat dingin. Ini salah satu cara untuk mengendalikan diriku yang sudah mengeluarkan keringat dingin.
"Boleh aku meminjam bahumu?" pinta gadis itu tiba-tiba.
Sesaat aku melongo. Ha? Meminjam bahuku. Untuk apa?
"Bo-boleh," kataku tergeragap.
Dengan satu gerakan, gadis itu memelukku sambil menangis. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku seolah membeku seketika. Tanpa sadar, tanganku melingkar di tubuhnya.
"Kenapa kamu menangis?" tanyaku lagi sambil mengusap-usap punggungnya.
"Maafkan aku. Aku telah bersikap kasar kepadamu. Aku pikir sudah tidak ada lagi orang yang peduli kepadaku. Sementara kamu? Meski aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan, kamu tetap baik."
"Aku sudah memaafkanmu." Aku menarik tubuhku dari pelukannya.
"Sekarang hapus air matamu, lalu makan bubur ini mumpung masih hangat. Setelah itu minum obat." Aku mengambil sesendok bubur lalu menyuapinya.
Gadis ini menatapku, lalu tersenyum tipis. Berbeda sekali dengan sebelumnya. Senyumnya manis. Ada lesung pipi di wajahnya.
Aku menyuapi gadis itu. Hatiku bergetar. Jantungku berdegup semakin kencang. Aneh, Mungkinkah aku jatuh cinta?
***
Dua hari sudah gadis itu tinggal bersamaku. Kondisinya semakin membaik. Dia sudah mulai beraktivitas meskipun tetap saja di matanya aku melihat sebuah kesedihan dan kesepian. Entah kenapa aku bahagia melihat perkembangannya.
Hari itu aku masih malas ke kantor. Aku hanya keluar sebentar untuk membeli bahan makanan dan makanan kecil. Tentu saja kini bukan hanya untukku, tetapi untuk si gadis yang entah kenapa mampu membuatku nyaman setiap aku berada di dekatnya.
"Pagi, Pak," tegur gadis itu ketika aku berjalan ke arah dapur.
Aku terkejut. Gadis itu memasak?
"Jangan panggil aku Pak. Aku masih muda," candaku.
Aku tahu mengapa dia memangggilku dengan sebutan Pak. Kemarin sekretarisku yang bernama Santi datang ke apartemen untuk menyerahkan berkas-berkas kantor. Kemungkinan dia mendengar percakapan kami.
"Lalu, aku harus memanggilmu apa? Sudah dua hari aku di sini tapi aku tidak tahu siapa namamu."
"Sandiago. Cukup panggil aku, Sandi."
"Ya, Pak. Eh, Sandi."
"Kalau kamu?"
"Marsya."
"Nama yang bagus," pujiku sembari mendekatinya yang masih sibuk dengan masakan. Dia menarik kedua ujung bibirnya ke samping membentuk senyuman.
"Masak apa?" tanyaku.
"Sayur lodeh," jawab Marsya sambil mengaduk sayur lodeh yang sudah mendidih.
"Lodeh? Aku suka sayur lodeh."
"Oh, ya? Kebetulan sekali. Selera kita sama."
Setelah masakannya selesai dan menaruhnya di mangkuk sayur, Marsya hendak mengangkatnya ke meja makan. Bersamaan itu, aku juga hendak membantu mengangkat mangkuk tersebut. Tanpa sengaja, tangan kami bersentuhan. Kami saling memandang. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang. Sesaat, kami terdiam lalu saling membalas senyum.
"Biar aku saja," tawarku tanpa lepas dari pandangannya.
Marsya mempersilakan. Aku lalu membawanya ke meja makan. Selang beberapa menit, kami sudah berada di meja makan untuk bersiap menyantap masakan Marsya.
"Kita seperti pasangan suami istri, ya?" kataku di sela-sela makan. Sengaja aku berkata seperti itu untuk memancing reaksi Marsya. Aku ingin tahu apa tanggapannya.
Marsya tersenyum tipis. "Tapi bagaimana dengan pacar kamu, apa dia tidak cemburu jika melihat kita berdua?"
Makanan yang baru saja masuk ke mulutku seolah tertahan begitu saja sehingga membuatku tersedak.
"Kamu tidak apa-apa, San? Ini minum dulu." Marsya menyodorkan minuman. Aku meraih minuman itu, lalu meminumnya.
Sejenak aku menarik napas lalu membuangnya. "Tadi kamu bilang apa? Cemburu? Siapa pacarku?" ucapku sembari meletakkan gelas ke meja.
"Iya, pacar kamu," ulang Marsya.
"Cemburu katamu?" Aku tertawa renyah.
"Belum punya pacar?"
"Menurutmu?" Aku menggantungkan pertanyaan.
Marsya hanya mengangkat bahu sembari menyuap nasi ke dalam mulutnya.
Sesekali aku memerhatikan wajahnya. Saat makan saja, dia terlihat cantik. Apalagi saat dia tidur.
"Ada apa, kok melihatku seperti itu? Belum pernah lihat cewek cantik makan ya?" gurau Marsya santai tanpa menatapku langsung.
Sial. Marsya tahu aku sedang memerhatikannya. Duh, kenapa aku jadi salah tingkah begini ya?
Guna mengurangi rasa maluku, aku mengarahkan tanganku ke sudut bibir Marsya yang kebetulan ada sebutir nasi yang menempel. Sontak membuat Marsya terkejut hingga menghentikan aktivitasnya makan.
"Maaf, ada nasi di pipi kamu," kataku sembari menunjukkan sebutir nasi yang barusan aku ambil.
"Oh ya… Tapi bisa ya nasi di pipi pindah ke bibir?"
"Maksudnya?"
Marsya terkekeh membuatku bingung. Namun, beberapa detik kemudian aku baru menyadari sesuatu. Aku salah ucap. Harusnya aku mengatakan, ada nasi di bibir kamu. Kejadian ini benar-benar membuatku malah. Bisa ya, dalam hitungan deti, Marsya membuat seperti orang linglung?
"Sudahlah lupakan saja. Mau tambah nasi?"
"Oh ya ya…"