webnovel

Hesitate

Tentang Dion Mahardika, CEO muda yang memiliki segalanya. Pendidikan tinggi, Pekerjaan baik, Kekuasaan, Kekayaan, wajah yang tampan dengan tubuh tegap menawan. Tidak ada yang tidak terpesona dengan sosoknya yang berkharisama, semua orang mengaggumi Dion seperti tanpa celah. Tapi justru itulah letak celah itu berada, pria sempurna seperti Dion yang menyembunyikan sisi kelamnya dengan baik. Pria matang dengan kehidupan seksualitasnya yang menyimpang. Semuanya berjalan lancar dengan sempurna hingga akhirnya ibunya mengetahui penyimpangan itu, dan mengharuskannya menikahi gadis buta dari panti yayasan ibunya. Tentang Luna sarasvantika, gadis blasteran eropa yang buta karena sebuah kecelakan di negeri nan jauh dari kotanya yang juga merenggut kedua orang tuanya. Luna diasingkan keluarganya, tidak ada yang mau merawat gadis cacat sepertinya sampai pada akhirnya mereka memutuskan membuang Luna di panti asuhan dimana tempat terakhir orang tuanya meninggal. Luna berhutang budi dengan ketua yayasan, hingga ia merasa harus membalasnya dan ide gila yang ditawarkan ketua itu membuat Luna tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui.

Cindelvi · 歴史
レビュー数が足りません
12 Chs

Penerimaan dan penolakan

[Luna]

"Kamu bisa menolak permintaan bu Dina sayang." Ibu menautkan jari jemarinya pada jemariku. Beliau duduk disampingku setelah kepulangan bu Dina beberapa menit yang lalu. Jujur saja aku masih terlalu syok memikirkan kejadian yang belum ada setengah jam ini. Menikah dengan pria yang berkelainan seksual? Ya Tuhan, sejak lama tidak pernah terpikirkan olehku suatu saat nanti aku akan menikah dengan seseorang. Aku cukup tahu diri untuk tidak mengharapkannya maupun sekedar bermimpi, aku cacat, aku tidak sempurna. Lelaki mana yang mau hidup dengan wanita sepertiku. Aku paham, aku pasti hanya akan menyusahkan pasanganku nanti. Tapi siang ini, entah suatu keberuntungan atau bukan seorang ibu datang kepadaku menawarkan puteranya untuk menjadi suamiku. Puteranya yang menyimpang ingin ia nikahkan pada gadis buta sepertiku. Aku ingin marah harga diriku terluka, apa aku begitu tidak berharga? Aku yang cacat ini dijadikan cover yang tepat untuk menutupi aib puteranya? Karena tahu tidak akan ada yang mau menikahi gadis cacat seperiku sehingga aku dipastikan tidak akan menolak meskipun suamiku berkelainan?

Tanpa sadar air mataku turun, ibu segera memelukku. Aku membenamkan wajahku pada pundaknya. Aku mengerti keresahan bu Dina sebagai seorang ibu, tapi kenapa harus aku? Tidak dapat melihat dunia ini saja sudah sangat menyakitkan, haruskah aku merasakan hal pedih lainnya. "Sayang, jangan khawatir ibu akan menolaknya."

Aku menggenggam erat tangan ibu. "Bagaimana perasaan ibu?"

"Apapun yang melukaimu, melukaiku juga Luna. Kamu putriku, meski bukan dari rahimku, aku menyayangimu." Tangisku berderai deras, sudah sejak lama untuk pertama kalinya aku menangis lagi. Aku terus bertanya-tanya dalam benakku salahku apa, sehingga Tuhan memberikan ujian ini. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani kehidupan sebagai seorang istri dengan pria yang bahkan tidak menyukai wanita. Tapi Aku sudah mengatakan ya pada bu Dina, aku tidak mungkin lagi menolak, Bu Dina terlalu baik untuk kami semua. Bagaimana kalau nanti beliau tidak mau memberi kami makan lagi? Pada siapa lagi kami bisa mendapatkan uang? Selama ini Bu Dina yang menyongsong hidup kami.

"Bu.." aku melepaskan diri dari pelukan ibu. "Ka-kalau ibu menjadi bu Dina. Apa yang ibu lakukan?"

Ibu menghela nafas, aku tahu ibu sosok wanita yang tegar, beliau selalu mengajarkan kami untuk menerima takdir kami. Menjalaninya dengan suka cita meskipun itu menyakitkan. Tuhan tidak memberikan ujian pada orang-orang lemah. Masalahnya adalah apakah aku termasuk orang itu.

"Aku akan menyelamatkan puteraku Luna, apapun akan kulakukan untuk kebaikannya, aku akan menarik kembali puteraku yang telah salah arah. Meskipun jalanan terjal mengahambatku."

"Jadi—

"Jadi itu juga yang akan aku lakukan pada puteriku." Ibu mengusap air mataku, aku bisa merasakannya ia tersenyum saat memandangku. "Aku tidak ingin kamu menderita sayang, bahtera rumah tangga jauh lebih rumit dan terjal, jika kamu tidak menginginkannya maka tidak ada yang boleh memaksamu." Aku memeluk ibu lagi, mendengar perkataan ibu membuat hatiku yang resah menjadi sedikit tenang, setidaknya masih ada yang membelaku dan memikirkan diriku, meskipun masih ada kebimbangan yang mendera. Haruskah aku menolak atau menerimanya?

[Dion]

Ray tidak pulang setelah malam dimana aku mengatakan keputusan ibu. Aku mengerti, dia tengah terluka dan akupun begitu. Kami butuh ketenangan untuk memikirkannya, maka dari itu kurasa berpisah sementara merupakan jalan terbaik untuk saat ini, meskipun harus kuakui aku sangat merindukannya. 7/24 hari kami selalu bersama berbagi suka maupun duka dan sekarang rasanya hampa saat dia tidak ada disisiku. Aku tidak berniat melepaskan Ray, biar egoku mengusai diriku. Aku akan tetap mempertahankan orang yang kucintai, meski aku menjalin ikatan dengan gadis manapun hatiku tetap terikat olehnya. Tidak ada yang mengerti diriku selain Ray.

Bunyi dering ponsel menarik atensiku, aku melihat nama ibu tertera di dalam sana. Akhir-akhir ini aku merasa malas menjawab panggilan ibu. Sudah beberapa hari aku mendiamkannya, ibu terus mendesakku menikah, dan tiap kali ibu akan menjelaskan perempuan itu bagaimana parasnya, caranya berbicara atau hal apapun mengenai perempuan itu, aku selalu menolak mendengarkan, beralasan ingin melihat sendiri membuat ibu sedikit lebih mengerti dan tidak memaksaku untuk mendengarkan. Meskipun sampai sekarang, aku belum juga bertemu dengan perempuan itu dan terus beralasan sibuk di kantor.

Di panggilan ketiga aku akhirnya menyerah menghadapi ibu yang tegar menghubungiku.

"Halo."

{Dion! Sedari tadi ibu menghubungimu, kenapa baru diangkat}

"Maaf bu, Dion sibuk, ini baru selesai meeting." Bohongku dan aku mendengar helaan nafas yang keluar dari seberang sana.

{Sibuk terus! Kapan kamu punya waktu luang untuk bertemu Luna.} ah ya namanya Luna, wanita pilihan ibuku.

"Iya nanti ya, ini akhir tahun. Pekerjaan Dion sedang banyak-banyaknya."

{Tidak mau! Kamu tuh bohong terus, mengelak terus, ingkar terus. Sabtu besok harus bertemu. Ibu tidak mau tahu, kalau kamu tidak bertemu dengannya sabtu besok, berarti kamu tidak sungguh-sungguh} memang tidak! Aku punya kekasih bu, aku tidak mencintai perempuan itu. Ingin aku berteriak seperti itu namun aku hanya diam tak menanggapi. {Dion dengar tidak?} ganti aku yang menghela nafas aku mengangguk mengiyakan "Dengar bu."

{Kamu sudah memutuskan hubunganmu dengannya bukan?}

"Sudah bu" bohongku lagi, percaya atau tidak itu terserah pada ibu, yang terpenting aku sudah mengikuti kemauannya. Masalah aku dengan Ray biar jadi urusanku sendiri. Aku tidak peduli dengan wanita itu, kudengar dari ibu, dia telah mengetahui kelainanku. Jadi kurasa itu salahnya sendiri yang mau terjebak ke dalam hubungan tak wajar ini. Aku tidak berniat menyakitinya tapi kalau dia tersiksa karena aku mencintai Ray, itu semua resiko yang harus ia tanggung sendiri.

{Bagus kalau begitu. Ibu ingatkan lagi, Awas kamu kalau tidak datang, jangan harap bisa bertemu dengan ibu lagi.}

"Bu jangan mengancam seperti itu terus dong! Dion pasti bertemu dengannya." Ujarku kesal tiap kali mendengar seruan ibu yang terus mengancamku.

{Habisnya kamu tuh bikin ibu stress banget. Ingat ya jangan lupa sabtu besok}

"Iya bu." Jawabku seadanya berharap ibu puas akan jawabanku dan berhenti memaksaku lagi. Berutung ibu benar-benar puas mendengarnya, sebab beliau akhirnya memutuskan panggilannya membuat aku mendesah lega.

Namun kepalaku kembali pening memikirkan perjodohan ini. Aku butuh udara segar, Aku menekan tombol panggilan supir pribadiku, kepalaku penat aku butuh keluar sebentar "Halo pak, tolong persiapkan mobil. Saya akan bawa sendiri"

Aku memutus panggilanku, aku tahu dimana tempat yang baik untuk menghilangkan penat. Tempat yang hanya akan memberikan kesenangan.