webnovel

Hesitate

Tentang Dion Mahardika, CEO muda yang memiliki segalanya. Pendidikan tinggi, Pekerjaan baik, Kekuasaan, Kekayaan, wajah yang tampan dengan tubuh tegap menawan. Tidak ada yang tidak terpesona dengan sosoknya yang berkharisama, semua orang mengaggumi Dion seperti tanpa celah. Tapi justru itulah letak celah itu berada, pria sempurna seperti Dion yang menyembunyikan sisi kelamnya dengan baik. Pria matang dengan kehidupan seksualitasnya yang menyimpang. Semuanya berjalan lancar dengan sempurna hingga akhirnya ibunya mengetahui penyimpangan itu, dan mengharuskannya menikahi gadis buta dari panti yayasan ibunya. Tentang Luna sarasvantika, gadis blasteran eropa yang buta karena sebuah kecelakan di negeri nan jauh dari kotanya yang juga merenggut kedua orang tuanya. Luna diasingkan keluarganya, tidak ada yang mau merawat gadis cacat sepertinya sampai pada akhirnya mereka memutuskan membuang Luna di panti asuhan dimana tempat terakhir orang tuanya meninggal. Luna berhutang budi dengan ketua yayasan, hingga ia merasa harus membalasnya dan ide gila yang ditawarkan ketua itu membuat Luna tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui.

Cindelvi · History
Not enough ratings
12 Chs

Obrolan Clubing

"Gue pikir lo lupa jalan pulang" Leo tanpa segan menyindirku saat aku baru saja mendaratkan pantatku di kursi bar. Dia berkata seperti itu karena memang semenjak aku memutuskan menjalin hubungan dengan Ray, aku jarang datang ke tempat ini. Aku mendengus sembari menyesap segelas martini miliknya "Mana ada rumah, isinya setan semua!" Sahutku tak kalah sinis, aku berada di club dimana Leo bekerja, pria yang tengah meracik ramuannya itu mendelik menatapku tajam. "Setan disini normal semua. Gak ada yang main pedang-pedangan."

"Setan lu!" dan Leo puas mentertawakanku. Meski begitu aku senang dia masih mau berteman denganku yang tidak normal ini. Yah, meski menurutku normal-normal saja sih.

"Jadi mana Romeonya? Kok Juliet sendirian?"

"Lo sekali lagi ngebacot, gue tutup club lo sekarang juga."

"Jangan dong, nyet! Gak asik lo, bercanda sama CEO ngeri nih bisa jadi gembel gue. Kenapa sih lagi dapet?" Leo memberikanku segelas martini lagi, aku meneguknya dalam satu kali tegukan. Rasa panas dari alkohol melewati tenggorokanku.

"Iya dapet nomor santet online nih. Sekalian mau gue kirim ke lo juga."

"Wah bener nih dugaan gua, lo gak dikasih jatah sama rambo ya?" Aku gak tahu kenapa, saat ini muka Leo benar-benar mencerminkan wajah setan yang sesungguhnya. Wajah-wajah tanpa akhlak yang seolah-olah minta di ruqiyah sama ustad tetangga ibu persis samping rumah beliau. Sembari menaik-naikan alisnya keatas dia menoel daguku. Sepertinya keputusanku datang kesini salah besar. Bukan peningku yang menghilang, Leo justru memperparah keadaanya. Brengsek emang Leo, jadi temen gak pernah bermanfaat.

"Ray namanya. Kalo dia denger lo seenak jidat ganti namanya. Lo bisa abis sama dia." Leo mendengus, kini memandangku remeh.

"Gue emang mau abisin tuh anak! Kalau emang dia mau berantem secara jantan sama gue, ya ayo aja gue ladenin!"

"Lo tuh punya dendam apasih sama dia? Sensi banget sama Ray."

"Karna lo setan! Gara-gara dia, teman gua jadi domba tersesat." Aku mendengus, niat menghibur diri benar-benar hilang karenanya.

"Bukan gara-gara dia, gue sendiri yang mutusin buat menjalin hubungan sama dia. Gue cinta sama Ray." Leo memutar bola matanya jengah, sedetik kemudian bergidik ngeri. "Ngeri sumpah gue ngebayanginnya. Lo gak usah ngebelain dia Yon, sebelum lo kenal dia tuh, lo normal anjir! Emang si bangsat Ray aja udah ngecuci otak lo!"

"Lo sepatutnya marah sama Kirana dia yang bikin gue gak percaya lagi sama perempuan."

"Lo yakin karena itu? Yon.. yon.. putus cinta tuh biasa. Yang gak biasa tuh yang kaya lo putus cinta langsung belok!" aku diam tak menanggapi, sudah malas meladeni Leo, lebih baik mengalah, toh dia juga tidak mengerti perasaanku. Dulu kami pernah bertengkar mempermasalahkan masalah ini dan akhirnya berujung dengan perang dingin selama setahun. Leo tidak bicara padaku begitupun sebaliknya. Lalu aku lupa bagaimana ceritanya sampai kami akhirnya kembali bicara dan berteman.

"Udahlah gue kesini bukan buat ngebahas itu. Gue mau kasih tau lo, gue mau nikah!" Leo melongo dengan sangat jelek. Aku yakin sekalipun kambing yang lewat pasti tuh kambing bakalan muntah sangking tidak tahan melihat wajah Leo. "Lo gila ya bangsat! Udah siap dikutuk sama ibu lo? Bikin surat warisan dong buat gue! Biar pas lo jadi batu, lo sempet bermanfaat." Sumpah aku tidak tahan lagi untuk tidak menoyor kepalanya. Kalau perlu aku ingin hantam dengan kayu balok. Boleh gak sih? Tangan udah gatel banget soalnya.

"Apaan sih!??! Kok dikutuk! Justru gua lagi jadi anak berbakti nih!" Sungutku tidak terima, aku tidak bohong saat mengatakan kepalaku pening. Sembari meringis aku mulai menjelaskan pada si bodoh ini. Semoga kapasitas otaknya mampu memproses tiap kata yang keluar dari mulutku.

"Jadi gimana? Lo nikah sama siapa? Beneran sama si Rambo? Gue gak mau dateng! Gak ngerestuin gue! Kok ibu lo terima-terima aja? Udah jadi pendukung kaum rainbow nih?"

"Ya kalo gitu, gua gak akan dateng kesini dengan mode mengenaskan dong." Seruku dengan kesal.

"Makanya jelasin dengan benar dong. Gue gak paham nih."

"Lokan emang bego!"

"Yasss terima kasih pujiannya your majesty!!anjir emang lu, niat cerita kaga sih?" Aku terkekeh mendengarnya, setelah puas membodoh-bodohi Leo, aku menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu pun termasuk menceritakan pertengkaran aku dengan Ray. Setelah menceritakannya, Kali ini dengan wajah bak ibu Tiri, Leo tersenyum bahagia, menepuk-nepuk pundakku dengan semangat. Seperti seorang bapak yang terharu dengan puteranya karena sudah membawa kehormatan dalam keluarga. Ah sial memang seharusnya tidak usah kuceritakan.

"Alhamdulillah Yon!! eh lupa gue di club, nyebut-nyebut disini takut setan pada kabur. Nanti Club gue sepi. Jadi Gue harus kasih apresiasi ke ibu lo nih atau belasungkawa ya. Akhirnya tau juga kebusukan lo. Jadi kaya apa cewenya cantik ga?" Aku menggeleng, menjawab pertanyaan Leo pun sekaligus menggeleng karena kelakuan Leo yang absurd "Enggak tahu, gue belom pernah ketemu, liat fotonya juga enggak. Gue males liatnya. Sabtu besok gue ketemu sama dia."

"Lo gak penasaran sama muka tuh cewe?"

"Enggak perlu, bagi gue yang paling—

"Cantik? Yon.. yon.. saraf otak lo bener-bener harus direparasi, gak perlu rabun ngeliat muka rambo juga gak ada cantik-cantiknya. Kekar iya betul, kekar banget." Aku menahan diri untuk tidak menoyor kepala Leo lagi, meski keinginan itu kuat menembus cakrawala.

"Yang gue heran kenapa dia mau saat tahu gue kelainan Yo." Leo terperangah mendengarnya, kemudian tepuk tangan dengan heboh. "Gila salut gue, udah fix terima aja. Susah cari cewe yang mau dijadiin istri gay."

"Gue gak mau ninggalin Ray."

"Kenapa sih lo dikasih lubang masih doyan pedang?" Leo kalau ngomong emang gak ada otak, jadi sebanyak mungkin aku mengingatkan diri untuk tidak menampol wajahnya. "Sialan lo! Ini bukan masalah lobang atau bukan, gue gak cinta sama dia."

"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Gue sebagai sahabat lo dan kalaupun emang lo juga menganggap demikian. Lo harus nikah sama tuh cewe, demi ibu lo demi gue! Kita semua mau lo sembuh Dion! Gue jamin kalo lo udah ngerasain enaknya, lo lebih milih cewe daripada cowo. Lo gak pernah pegang squishy paling nikmat sih!"

"Tapi gue pernah pegang pedang paling nikmat." Sembari melempar lap, Leo emosi mendengar celetukanku. "Setan lo, jangan ngeracunin gue!"

"Jadi lo bisa teracunin juga nih?"

Sembari memangku dagu, aku memandang Leo penuh sensual. Tidak yang seperti kemayu begitu, aku bukan tipe pria yang berlenggak lenggok.

"Pulang sono setan! Buruan nikah! Makin parah lo asli!" Dan aku sukses tergelak keras melihat Leo menjauh meninggalkanku, rasain! salah sendiri bikin kesal pria gay.