webnovel

Percaya atau Mati?

Jarum jam menunjuk pada angka satu. Beberapa orang memasuki gedung pencakar langit dengan membawa makanan dan minuman yang baru saja di beli. Pekerjaan yang begitu banyak tidak bisa di tinggalkan hanya demi merasakan makanan di tempat. Mau tidak mau harus di bawa pulang saat itu juga. Bos bisa marah jika pekerjaan mereka tidak selesai sesuai dengan tanggal yang telah di tentukan.

Suara tawa yang lumayan nyaring terdengar dari dalam ruangan dengan pintu berwarna hitam. Pintunya terbuat dari kaca berkualitas tinggi, dan bisa melihat suasana di luar ruangan.

Ruangannya sangat luas, ada dua meja sebagai tempat kerja, dan sofa yang ukurannya cukup besar di tengah ruangan. Aroma kopi tercium begitu pintu di geser, setiap orang yang masuk pasti akan merasa rileks karena aroma yang begitu menenangkan.

"Kita pergi ke arah obrolan yang lebih ringan saja bagaimana? Saya sudah lelah dengan urusan kantor, sudah pusing jika harus di pikirkan setiap hari," ucap pria dengan setelan krim. Dia memberikan senyum dengan kedua mata yang menyipit.

Indira, Atmaja, dan Handoko - sekretaris pribadi Atmaja. Dia masih menggenggam buku tebal dengan pena meskipun sudah diberitahu jika topik akan di alihkan.

Rama - pria dengan setelan krim yang menjabat sebagai HRD di kantor itu menatap Handoko bingung. "Bukannya saya udah bilang ya tadi?"

"Eh! Maaf Pak, saya terlalu fokus, jadi gak denger," sahut Handoko sambil terkekeh meskipun kekehannya terlihat aneh. Buku dan penanya dia simpan di atas meja kaca agak ragu.

"Pernah tinggal di rumah yang katanya angker?" Rama menatap Handoko, dan Atmaja secara bergantian, tapi kedua pria itu malah memberikan gelengan kepala. "Saya pernah dulu waktu baru pertama kali pindah sama kerja di sini. Saya dulu tinggal di Jakarta sebelum pindah ke sini, jadi harus sewa rumah. Dapet yang besar, kayanya rumah peninggalan Belanda. Anehnya harga sewa rumah waktu itu sangat murah, sekitar satu juta per tahunnya, padahal di tempat lain minta tiga jutaan dengan rumah yang lebih kecil."

"Biasanya yang kaya gitu ada rahasianya kan Pak? Kenapa Bapak ambil?" sahut Handoko penasaran.

"Hahaha! Kamu benar Pak Handoko, tapi saya tidak punya uang waktu itu. Uang saya menipis sekali, hanya cukup untuk uang sewa dan makan selama satu bulan. Jadi mau tidak mau harus saya ambil." Rama menghela berat ketika kalimatnya berhenti, ekspresinya yang ceria berubah seketika. "Hari pertama tidak ada kejadian aneh, saya kerja dan hidup kaya manusia normal. Tapi... di hari ke tiga gangguan mulai saya dapat."

"Gangguan kaya... barang yang hilang gitu Pak?" kali ini Indira yang menyahut.

Rama mengangguk, senyum hambar dia berikan ketika memperhatikan vas bunga. "Uang saya suka hilang, padahal saya tinggal di sana supaya bisa irit, tapi malah hilang. Gak cuman sekali, tapi berkali-kali. Beberapa barang berharga saya juga hilang. Anehnya lagi saya suka mencium aroma singkong bakar di atas jam sepuluh malam. Saya sering dapet aroma itu juga karena ada pekerjaan yang harus selesai besok. Saya mulai curiga, jadi saya tanya tetangga sebelah. Mereka bilang rumahnya bekas dukun, dan dukunnya bunuh diri entah karena apa."

Kening Indira bertaut dalam, dia menjadi merinding karena cerita yang lumayan seram untuknya. "Jadi Bapak lebih pilih buat tinggal atau pindah?"

"Tentu saja langsung pindah, saya menginap di rumah teman sekantor selama satu minggu. Saya gak minta uang saya kembali, tapi saya minta ke pemilik rumah kalau liat barang asing buat di kembalikan ke saya lagi. Ada beberapa yang kembali, tapi kebanyakan menghilang. Saya masih penasaran, sebenarnya mereka ngambil barang saya itu buat apa? Apa mungkin di sana ada gunanya?"

"Kalau yang saya denger sih Pak, mereka suka penasaran. Jadi mereka ambil, tapi ya gitu juga sih saya gak tau apa ada gunanya atau malah engga," sahut Handoko.

"Waktu dapet gaji pertama, Bapak langsung cari kontrakan baru?" tanya Atmaja, ekspresinya nampak biasa saja. Tidak terlihat penasaran, atau ekspresi takut karena cerita kali ini tentang hantu.

"Tentu, tapi bukan kontrakan, saya cari kos. Gaji saya waktu itu masih kecil, jadi saya harus kos. Untungnya hanya untuk beberapa bulan saja. Setelah dapat gaji fullnya, saya langsung cari perumahan." Rama tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan, "Saya masih gak percaya kalau dulu pernah diganggu hantu, padahal dulu saya gak pernah percaya sama adanya hantu."

"Hantu itu emang ada Pak, tapi gak semua orang bisa diganggu, ataupun bisa lihat." Handoko meraih cangkir berisi kopi hitam yang sudah dingin. "Kalau saya sih percaya dari dulu, tapi alhamdulillahnya gak pernah dapet gangguan."

"Hahaha! Kamu wajib bersyukur, tapi buat Pak Atmaja dan Bu Indira sendiri bagaimana? Percaya atau tidak?"

"Jujur saya gak percaya sama hal semacam itu. Saya pikir itu hanya tahayul, tapi saya gak bilang kalau Bapak berbohong ketika bercerita," sahut Atmaja.

"Hm, begitu ya. Saya paham, dulu saya juga seperti Bapak. Ya, sesuai sama yang Pak Handoko bilang kalau gak semua orang dapet gangguan." Rama mengangguk-anggukkan kepalanya lagi, menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pada angka dua siang. "Saya lupa kalau ada meeting. Terima kasih Pak, Bu atas waktunya karena mau mendengarkan cerita saya. Saya permisi ya."

"Saya juga pamit ya Pak, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Handoko beranjak bersama Rama. Indira dan Atmaja memberikan anggukan beserta kalimat selamat jalan sebelum kedua tamu itu melenggang pergi.

Kepergian kedua pria itu membuat Indira beraandar sambil menghela berat. Dia lelah dengan pekerjaan yang tidak pernah ada selesainya, tapi sesuatu membuatnya menatap Atmaja serius. "Aku ngerasa ada yang aneh sama anak kita."

Atmaja meraih dokumen penting tanpa menatap istrinya, dan berkata, "Anak kita yang mana? Ada tiga, jangan lupa!"

"Venus, dia yang lagi sakit soalnya. Tadi aku ke rumah sebelum meeting. Dokter ngasih tau aku kalau Venus itu gak kenapa-kenapa sebelum pulang, tapi anehnya Venus bilang kalau dia lemes banget. Waktu nyoba jalan juga dia malah jatuh, ada yang aneh."

Kening Atmaja bertaut, dia tidak pernah mengharapkan sesuatu yang janggal menimpa keluarganya. Detik berikutnya dia menoleh dengan ekspresi cukup datar. "Kamu yakin?"

"Yakin Mas, gak mungkin aku bohong soal anak kita kan? Aku juga heran, Venus sakit apa sampai dokter gak bisa deteksi? Atau kita bawa dia ke rumah sakit buat dapet pemeriksaan yang lebih lengkap aja ya?"

"Nanti kalau di rumah dia udah bisa aktivitas mendingan gak usah, tapi kalau masih sakit ya kita bawa ke rumah sakit yang paling bagus."