webnovel

Perdebatan Antar Hantu

"Hai, teman-teman!" Sapa Surya ketika sudah sampai di lapangan.

Seperti biasa bahwa lapangan akan ramai ketika di hari libur. Semua anak kumpul baik laki-laki maupun perempuan. Mereka bermain bersama tanpa ada perbedaan. Namun, tetaplah yang namanya anak kecil kalau bermain terkadang ada pertengkaran.

"Tumben baru datang, Sur?" Tanya Asep.

"Iya nih, tadi nungguin Sasa makan," jawab Surya, sedangkan Sasa hanya cengengesan saja.

"Kebiasaan si Sasa suka gitu. Padahal sudah ditunggu lama!" Ketus Asep.

Setiap kali ada kumpulan main, Sasa seringkali lupa dan itu yang membuatnya sering datang terlambat. Bukan hanya sekali maupun dua kali, tapi sudah berkali-kali. Rasa tanpa salahnya itu jarang sekali terlihat, seakan semuanya baik-baik saja.

"Ya maaf, aku kan lupa," ucap Sasa.

"Lupa saja terus,macam orang lanjut usia saja."

"Ya gimana ya, masa orang lupa nggak boleh. Kamu juga pasti kadang lupa kan?" Tanya Sasa.

Asep memutar bola matanya malas. Dia menatap Sasa kesal. Dari beberapa temannya yang hanya berani menyangkal adalah Sasa. Biasalah karena Sasa juga berasal dari orang berada. Selagi memiliki banyak uang, maka seseorang bisa berkuasa. Bahkan terkadang seenaknya sendiri dalam bertindak.

Beda kalau teman lainnya, terutama yang memiliki standar kekayaan ke bawah, termasuk Surya. Bagaimana mereka mau berani jika berteman dengan Asep akan mendapatkan sedikit apa yang dia punya. Sebagai contoh kecilnya ketika Asep membawa banyak makanan maupun cemilan, tentu temannya akan ikut merasakannya. Secara ekonomi ke bawah itu kurang-kurang makan. Jadi, begitupun yang dirasakan Surya. Sesakit hati apapun tetap dia tahan agar masih bisa bermain dengan Asep.

Asep memang baik, dia tidak sombong dan suka berbagi. Namun, ketika dia sudah kesal dengan seseorang, maka dia akan tidak peduli lagi dengan orang tersebut, kecuali jika moodnya sudah bagus kembali. Itupun biasanya karena ada suatu kebaikan yang dilakukan oleh orang yang sedang dibencinya.

Di samping itu, Asep memang tidak takut kalau tidak memiliki teman karena teman-temannya memang banyak dan dia bisa menggunakan kekuatan, yaitu dengan cara uang. Manusia di bumi ini sebagian besar akan tunduk jika ada kekuasaan maupun uang. Logikanya karena setiap orang butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk makan. Namanya juga makhluk hidup tentu butuh banyak asupan.

"Hai!" Sapa Anita sambil membawa karet yang disusun hingga panjang.

"Hai, Anita. Wow, dia bawa karet nih teman-teman!" Sorak Sasa.

"Iya, ayo kita main lompat tali!" Ajak Anita.

Karet tersebut dikalungkan di bagian leher Anita. Dia pun melepaskan karet tersebut. Ukurannya cukup panjang, kurang lebih lima meter.

"Karet baru ya?" Tanya Budi.

"Iya, dong," jawab Anita sedikit membanggakan diri. Wajahnya itu seakan dirinya yang paling punya.

"Aku di rumah juga punya, tapi punyaku yang bahannya bukan gini. Punyaku di rumah kecil-kecil, tapi yang sulit putus itu loh. Kalau ini sih gampang banget putusnya," kata Sasa.

Tak heran lagi kalau mereka berdua suka bersaing. Sasa dan Anita seringkali pamer apa yang mereka punya. Namun, pertemanan mereka tetap akrab, hanya saja terkadang di antara mereka ada yang kesal karena tidak suka tersaingi.

"Sudahlah kita langsung main saja. Seperti biasa kita hompimpa dan dua orang yang kalah, maka mereka yang jaga," ujar Asep.

Sasa terkekeh dan wajahnya pun terlihat sombong. "Oke, siapa takut!"

"Heleh, nggak usah banyak omong deh, kita langsung laksanakan saja," kata Asep lalu tersenyum sombong.

"Teman-teman, mau ikut main lompat tali nggak?!" Teriak Sasa.

Beberapa anak pun langsung berlarian mendekati dirinya. Mereka langsung bergerombol untuk ikut permainan lompat tali. Kurang lebih ada lima belas anak yang mengikuti permainan, baik laki-laki maupun perempuan.

"Kita lompat tali berdiri saja ya!" Pinta Asep.

"Iya, kalau yang jongkok kan sudah biasa. Sekali-kali yang jaga berdiri biar mantap," kata Anita.

"Iya nih, lompat tali yang bisa melatih agar cepat tinggi," sahut Budi.

"Oke, yang jaga Rini dan Budi kan? Nih, karetnya." Anita memberikan karetnya kepada Rini dan Budi. Mereka berdua memegang masing-masing ujung karet.

"Loh kok tingginya nggak sama?" Tanya Sintia.

"Ya nggak apa-apa. Mohon maaf nih, jangan karena Rini pendek, kalian milihnya lompat di bagian Rini. Harus main bersih nggak boleh curang. Jadi, setiap jatah main harus lompat di bagian tengah dan tidak boleh mengenai tali. Nanti kan juga ada bagian yang kena tali, tapi dari ukuran dada sampai atas. Paham kan?" Tanya Budi menjelaskan aturan main.

"Iya, paham."

"Kita mulai sekarang!"

Mereka terlihat sangat semangat untuk mengikuti permainan. Budi berada di sebelah Timur, sedangkan Rini di sebelah Barat. Karet tersebut dibentangkan seukuran lapangan hingga posisi mereka berdua tepat di pinggir lapangan.

Pertama kali adalah ukuran lutut. Karet tersebut diletakkan di samping lutut Rini dan Budi. Semua anak yang tidak jaga, satu-persatu dari mereka melompat melewati karet tersebut.

"Yey, aku bisa melewati!" Sorak Rara bangga. Dia lompat-lompat kegirangan karena bisa lolos dari tantangan.

"Heleh, ini baru awalan tahu! Lihat tuh di sekeliling kamu berhasil semua," kata Surya malas melihat Rara yang tidak bisa diam. Tiap kali main dan jika menang pasti akan girang hingga lupa tempat. Bahkan terkadang suaranya itu sedikit mengganggu indra pendengaran.

"Biarin saja sih yang menang aku dan kamu malah yang sewot, huft!"

"Bukan sewot, kamu terlalu lebay!"

"Sudah-sudah nggak usah pada berisik. Kita lanjut tantangan selanjutnya, yaitu seukuran paha," lerai Sintia.

Sementara Toni hanya duduk di pinggir lapangan dengan kedua tangannya digunakan untuk menyangga dagu. Dia hanya duduk diam sambil memandangi Surya dan teman-temannya main, sesuai dengan perintah Surya. Namun, dia merasa sangat bosan karena cukup diam saja tanpa ada kegiatan. Ketika mau tidur pun tidak bisa karena suara riuh dari mereka mengganggunya.

"Berada di ruang lingkup ramai gini memang enak, tapi kenapa ya aku merasa sangat bosan. Sendiri bosan, ramai juga bosan. Mungkin ini yang namanya hidup membosankan," gumam Toni dengan kedua matanya mengikuti arah anak-anak bermain.

"Bukannya kamu sudah mati?" Cletuk seseorang.

Toni menatap ke arah sumber suara tersebut, dia hanya memutar bola matanya malas ketika tahu siapa yang berada di sampingnya. "Kamu mau ngapain sih, Kuntilanak? Ganggu orang saja. Pergi sana!"

"Justru kamu yang ngapain di sini? Kamu nggak sadar kalau pohon besar di belakang kamu ini rumahku?!" Murka Kuntilanak.

"Ya mana aku tahu, lagian rumahmu nggak ada tulisannya milikmu."

"Dasar buta! Kamu lihat batu nisan di sebelah pohon? Nah, itu sebagai tanda bahwa pohon ini ada pemiliknya. Gitu saja nggak paham!"

Toni berdecak, "Ck, bagaimana aku bisa paham kalau kamu nggak bilang apa-apa."

"Salah sendiri nggak tanya!" Ketus Kuntilanak.

"Dasar cewek nggak mau kalah!"

"Dasar cowok nggak pernah peka!" Sahut Kuntilanak tidak mau kalah.

"Untung ya kamu ini perempuan. Jadi, aku bisa tahan diri untuk tidak memotong rambut panjangmu itu," kata Toni.

"Lah apa hubungannya sama rambutku?"

"Kuntilanak identik dengan rambut panjang karena perempuan memang identik dengan rambut panjang. Nah, coba kalau rambut kamu dibotakin, pasti jadinya Kuntilbapak, bukan Kuntilanak lagi," jelas Toni.

"Kurang ajar!" Umpat Kuntilanak sangat kesal.