webnovel

Curhatan Toni

"Apanya yang kurang ajar? Kenyataannya seperti itu kan?" Tanya Toni dengan senyum menyebalkan. Dia memang suka membuat teman hantunya marah. Jika sudah marah, maka dia bisa menggunakan kekuatannya untuk menghindari serangan. 

"Kamu ini hantu apaan sih?"

"Ya hantu, intinya hantu," jawab Toni tidak terlalu memperdulikan pertanyaan kuntilanak, sehingga jawaban yang keluar dari mulutnya pun tidak begitu berbobot untuk menjawab pertanyaan Kuntilanak.

Kuntilanak pun terbang lalu duduk di ranting pohon. Tangan kanannya digunakan untuk menyangga kepala sambil melihat Surya dan teman-temannya bermain. Melihat kebahagiaan bersama teman secara ramai-ramai membuat hati kuntilanak merasa sedih. 

Tiba-tiba dia terkejut ketika Toni berada di sampingnya. "Astaga!"

"Kenapa?" Tanya Toni.

"Kamu ini nggak punya otak ya? Untung saja ini ranting pohon nggak patah. Coba tuh lihat di bagian pangkalnya saja kecil!" Omel Kuntilanak sambil menunjuk ranting pangkal pohon.

"Kalau patah kenapa? Lagian kalau jatuh ke tanah kan? Mau kita jatuh sampai patah tulang pun nggak akan ngaruh. Ingat, kita ini sudah mati dan sudah pernah merasakan sakit yang sangat luar biasa. Jadi, jatuh dari ranting pohon ini nggak sebanding dengan rasa sakit ketika kita akan mati," ujar Toni mengingat detik-detik kematiannya.

Sakit yang Toni rasakan dua kali lipat, yaitu ketika terkena tembak dan proses nyawa akan keluar dari tubuhnya. Kebahagiaan di dunia gaib dan di dunia nyata sangat jauh berbeda. Semua hal yang dilaluinya pun berbeda.

"Nggak gitu maksudnya aku."

"Lalu?" Tanya Toni.

"Aku sedih kalau ranting ini patah, berarti rumahku rusak. Kamu tahu nggak sih bahwa rumah adalah tempat berteduh dari segala cuaca dan bahaya."

"Ya aku tahu itu, tapi misalkan ada bencana dan pohon ini roboh, maka apakah bisa digunakan untuk tinggal? Nggak kan? Padahal masih ada yang lebih sedih dari itu."

Kuntilanak mengernyitkan kedua alisnya hingga membentuk gelombang-gelombang kecil. Dia menatap Toni lekat. Jaraknya pun semakin dekat untuk mencari suatu jawaban dari raut wajah Toni. Namun, Kuntilanak tidak sedikit pun menemukan jawabannya, yang ada malah dia semakin pusing mencari tahu apa yang seharusnya tidak perlu dicari tahu.

"Nggak usah deket-deket aku banget. Kepo banget jadi hantu!" Ketus Toni. 

Bukan dia tidak mau didekati Kuntilanak. Hanya saja kalau Kuntilanak semakin mendekat, maka dia mencium bau tak sedap yang berasal dari kain putih yang dikenakan oleh kuntilanak. Kain putih polos itu terlihat kotor karena bercampur dengan tanah. Belum lagi umur kematian semakin lama, maka akan semakin mengeluarkan bau tak sedap. 

"Siapa juga yang mau deket sama kamu. Dasar kepedean!" Ejek Kuntilanak.

"Aku nggak kepedean ya. Aku cuma nggak kuat bau badan kamu yang busuk ini, apalagi kain kamu kotor sekali macam nggak pernah dicuci. Kamu sudah mati berapa tahun sih? Gila, baunya nyengat banget di hidung."

"Berapa ya? Mungkin kurang lebih delapan belas tahun."

"Itu sih masih baru. Nah, aku yang sudah seratus tahun lebih saja nggak sebau itu. Aku mati di jaman perang. Nah, kamu di jaman sudah kemerdekaan. Gila sih baunya gitu banget. Padahal kan kamu bisa menggunakan kekuatan kamu untuk menyamar menjadi sesuka hatimu, sehingga bisa meminimalisir bau tidak sedap," ujar Toni mengingat cara-cara yang dirinya gunakan. 

"Namanya juga hantu, ya wajar kalau bau. Mau cari hantu yang bau wangi itu sangat mustahil."

"Oke, aku iyakan saja biar cepat. Kita kembali lagi ke topik pembicaraan tadi soal hal yang paling menyedihkan selama menjadi hantu. Aku mau cerita sedikit boleh kan?" Tanya Toni.

Tujuan Toni meminta izin karena agar ceritanya dihargai oleh Kuntilanak. Setidaknya Kuntilanak benar-benar mendengarkan isi curhatannya agar tidak sia-sia. Sebab, jika bercerita tanpa ada yang mendengarkan sama halnya buang-buang waktu saja. Toni tidak ingin waktunya terbuang sia-sia oleh keadaan yang tidak ada untungnya. Sebab, jika dibandingkan dengan usaha yang gagal jelas sangat berbeda, meskipun keduanya sama-sama menggunakan waktu.

Awalnya Kuntilanak diam seperti sedang berpikir. Tiga menit kemudian, dia pun menjawab, "Iya."

Toni tersenyum ketika mendengar jawaban dari Kuntilanak. Setidaknya dengan bercerita seperti ini, beban yang dipikulnya akan sedikit terasa ringan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum memulai berbicara.

Di saat Toni membuang napas, maka disitulah kesempatannya untuk berbicara. Namun, justru kesempatannya tersebut dipotong oleh Kuntilanak. Akhirnya Toni pun agak kesal karena tingkah Kuntilanak.

"Sebentar! Sebelum kamu bercerita, aku ingin tahu dulu bahwa kamu ini hantu apa ya? Karena sejak awal aku bertemu dengan kamu terasa agak aneh saja."

"Aneh kenapa?" Tanya Toni sambil menaikkan alis kanannya bergaya sok terlihat gagah dan dingin.

"Kamu langsung menunjukkan wujud manusia pada umumnya, sedangkan aku terlihat murni menjadi kuntilanak. Kalau kamu ini pocong, Genderuwo, Kuyang, Atau yang lainnya?"

Kuntilanak benar-benar penasaran terhadap wujud asli Toni. Namun, Toni pun malah tersenyum. Hal itu justru malah membuat Kuntilanak semakin penasaran.

"Apa pun wujud asliku, kamu nggak akan bisa tahan melihat diriku yang asli. Tubuhku banyak belatungnya, bahkan ada beberapa tulang yang terlihat karena dagingku digerogoti belatung tiap hari."

Seketika Kuntilanak pun merinding, meskipun dirinya adalah hantu. Dia membayangkan wujud asli Toni. Cukup dibayangkan saja terasa ngeri, apalagi melihatnya secara langsung. Akhirnya Kuntilanak berhenti untuk membayangkan keadaan tersebut. Mentalnya belum kuat untuk melihat hal aneh dan menyeramkan.

"Gitu banget ya?" 

Toni hanya tersenyum masam. Setelah itu, dia kembali berkata, "Abaikan! Kita lanjut persoalan tadi. Jadi, hal yang paling menyedihkan ketika aku benar-benar terpisah dengan keluarga. Dulu aku mati tertembak dan Ayah Ibuku masih hidup. Aku tiap hari menunggu mereka agar bisa berkumpul kembali. Aku bisa melihat kebahagiaan mereka dengan saudara kandungku karena pada waktu itu mereka dikaruniai anak."

Tanpa terasa Toni sudah menitikkan air mata. "Suatu hari, Ayahku meninggal karena sakit. Aku nggak tahu harus senang atau sedih. Ibu dan Adikku menangis menahan sakit. Terutama ibuku, aku bisa merasakan batinnya merasa sakit karena sudah kehilangan sebagian keluarganya, yaitu aku dan Ayahku. Ketika melihat itu, aku sangat sedih. Sementara aku juga merasa senang akan bertemu dengan Ayahku karena dia sudah mati. Namun, ternyata itu di luar dugaanku. Aku tidak bisa bertemu dengan Ayahku sampai sekarang. Bahkan aku sudah mencarinya sampai kemana-mana hingga aku merasa lelah. Apa kamu tahu jawaban yang paling menyakitkan?" 

Kuntilanak sangat penasaran. "Apa tuh?" 

"Aku mencari jawaban dan tanpa sengaja aku mendengar obrolan manusia. Ternyata aku mati karena ditembak. Bisa dikatakan aku mati belum saatnya, sehingga aku ditolak oleh langit dan bumi, sedangkan Ayahku memang mati sesuai dengan apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Kamu pasti tahu sendiri kan apa bedanya. Namun, aku nggak tahu itu benar aku tidak. Sungguh aku kangen kumpul bersama mereka," ujar Toni sedih. 

 

Next chapter