webnovel

GADIS 100 MILIAR

Zizi tidak pernah menyangka papanya yang sangat menyayanginya telah menjualnya pada seorang pengusaha kenalannya. Hidupnya berubah dalam semalam. Dimulai dari pesta palsu yang berakhir tragis hingga hampir saja dia kehilangan keperawanannya, lalu dikurung di sebuah mansion. Pengusaha yang membelinya memiliki kepribadian ganda. Suatu waktu dia sejahat monster, di waktu yang lain dia menjadi sebaik malaikat. Pria itu selalu berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Dia melukainya, namun dia juga yang menyembuhkannya. Pria bermata hijau juga berhasil memenangkan hatinya, membuatnya jatuh cinta dan mencintai dengan sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidupnya. * Novel ini awalanya bercerita tentang Zizi, seorang gadis berumur 27 tahun, yang dijual ayahnya seharga 100 miliar rupiah pada kolega bisnisnya yang bernama Andres, seorang pria blasteran Indonesia-Spanyol berumur 31 tahun. Benih-benih cinta muncul sejak pertemuan pertama mereka di malam pertama Zizi diantarkan papanya ke rumah Andres. Zizi yang memimpikan pria bermata hijau dan Andres yang mencari perempuan bermata hitam menyuburkan benih-benih cinta yang tumbuh. Kisah cinta mereka diselingi kisah-kisah cinta dari orang-orang terdekat: sahabat Andres bernama Dika, adik Zizi bernama Betrand, sepupu perempuan Andres bernama Ariel dan banyak tokoh lainnya yang akan muncul secara bertahap.

Giralda_Blanca · 都市
レビュー数が足りません
170 Chs

BERCINTA

Andres tidak tahu mengapa dia merasa tidak pernah puas dengan ciumannya di bibir gadis ini. Ini sudah hampir tiga puluh menit dan dia masih belum bisa menghentikannya. Setiap desahannya terdengar di telinganya, gairahnya memuncak lagi. Andres menghentikan aktifitasnya ketika mengingat dia belum memutus panggilannya lalu melanjutkan ciumannya lagi setelah yakin sepupunya pasti telah memutusnya sendiri. Pikiran itu mengganggunya. Dia tidak lagi bisa menikmati ciumannya. Andres menarik kepalanya dan segera menoleh ke samping mencari handphone. Layarnya masih menyala. Andres mengumpat.

"Kamu menguping?!" Tanyanya lebih untuk agar bisa memberi jawaban pada dirinya.

"Salah aa' sendiri tidak mematikannya."

"Apa yang kamu dengar?" Nada suaranya terdengar marah, kesal, putus asa, dan beberapa lainnya.

"Semuanya," jawabnya lalu tertawa.

Rasanya Andres ingin terkubur hidup-hidup saat ini.

"Jadi aa' cuti kerja untuk bercumbu dengan seorang perempuan?" Tanya gadis itu kemudian.

"Jangan pakai kata itu!"

"Ya, bercinta?!"

Andres segera memutus panggilannya dan mematikan handphonenya. Astaga barang miliknya tiba-tiba terjaga menekan paha Bella yang berbaring di bawahnya. Andres langsung membanting tubuhnya ke atas kasur.

"Bella, pergilah keluar sekarang. Balik, tiga, satu jam lagi." Andres segera mengkoreksi karena tiga puluh menit rasanya tidak akan berhasil kali ini. "Tutup lagi pintunya."

***

Ini sudah lebih dari satu jam. Zizi menutup novelnya dan menaruhnya di atas meja. Dia kemudian berjalan ke luar perpustakaan. Zizi sudah mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Dia lalu membuka pintunya perlahan. Dia tidak melihat Andres di atas kasur. Pria itu juga tidak ada di dalam kamar. Zizi mendengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi. Dia merasa khawatir pria itu akan demam lagi setelah ini. Tapi, apa yang bisa dia lakukan? Zizi juga tidak tahu. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan merapikannya.

Andres keluar dari kamar mandi setelah lebih dari satu jam kemudian. Jika Andres langsung pergi ke kamar mandi setelah Zizi menutup pintu, maka pria itu telah menghabiskan waktu 2,5 jam lebih di dalam sana. Zizi sempat melirik padanya sebentar lalu pandangannya beralih pada meja di depannya. Rambutnya basah. Kulitnya terlihat lebih putih dan pucat. Dia memakai handuk besar yang dililitkan di pinggangnya. Zizi tidak mau membayangkan lagi bagian atas tubuh pria itu karena itu membuat bulu kuduknya meremang seperti sekarang karena dia sedang menatap lekukan tubuh berototnya.

"Aku akan beristirahat di kamarku." Katanya pada Zizi.

Dia berjalan ke depan nakas untuk mengambil dua handphonenya lalu ke luar kamar.

***

Gadis itu sedang menatap ke luar jendela sedangkan ibunya yang duduk di kursi yang dia duduki tadi siang sedang menonton televisi ketika Dika masuk ke dalam kamar inapnya.

"Sudah mau pulang?" Sapa wanita itu.

"Iya, tante." Jawabnya lalu bersalaman dengan mencium tangannya.

Dika menatap wajah gadis itu sebelum dia akan bertanya keadaannya nanti.

"Nak Dika," panggil wanita itu.

"Iya, tan?"

Wanita itu melihatnya dengan tatapan meringis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "tulang wajahmu tidak ada yang retak atau patah kan?"

Mata Dika langsung melirik pada gadis itu yang langsung menjatuhkan kepalanya ke samping sampai mentok di atas bantalnya. Bibir Dika membentuk senyuman. Dika tahu gadis itu pasti telah bercerita pada ibunya. Terlepas dari gadis itu merasa khawatir atau malah senang, setidaknya dia telah memikirkannya dan bercerita tentangnya pada ibunya.

"Tidak, tante." Jawabnya.

"Tapi mengapa jadi memar begini?"

Gadis itu tidak bereaksi. Dika sangat berharap pertanyaan ibunya membuat gadis itu menoleh padanya atau paling tidak berhenti bernapas sebentar atau menggerakkan tubuhnya sedikit. Tapi tidak ada gerakan sedikitpun. Dia merasa kesal. Dia sampai lupa apa yang ditanyakan wanita itu.

"Maaf, tante tadi nanya apa?"

"Mengapa bisa bengkak dan berwarna ungu gelap begitu?"

Kali ini Dika tersenyum lebar. Kepala gadis itu sempat terangkat sedikit sebentar dan lututnya juga bergerak sedikit. Dika membayangkan gadis itu sedang membayangkan separuh wajahnya bengkak dan memar kebiruan yang berwarna ungu pekat di hampir seluruh permukaannya.

"Saya lupa mengobatinya. Tadi antrian penuh, saya tidak punya banyak waktu." Jawab Dika sambil tertawa.

"Biar tante saja. Dikompres kan?"

"Oh, tidak usah tante. Saya bisa sendiri nanti di rumah."

"Nak Dika sudah kecapaian. Tidak akan sempat. Tunggu di sini sebentar ya!" Wanita itu sudah bangkit dan berjalan ke luar.

Dika mendesah. Dia menatap gadis itu yang kembali membatu sambil menjatuhkan tubuhnya di atas kursi yang tadi diduduki ibunya. Setelah beberapa detik, Dika mulai merasa capek. Hari ini dia tidak sempat istirahat sama sekali. Dia bahkan tidak sempat makan siang. Dia hanya mengganjal perutnya dengan sepotong kue. Dika menaruh kedua tangannya di pingir kasur gadis itu dan merebahkan kepalanya di atasnya. Dika memejamkan matanya sebentar sambil menunggu ibunya kembali.

Dika terbangun mendengar suara Adzan dari handphone di kamar itu. Jendela kamar telah ditutup. Cahaya lampu di dalam kamar terlihat semakin terang. Dia telah tertidur hingga matahari terbenam. Mata gadis itu mengawasinya. Ini tidak biasa. Dia bertanya-tanya apa dirinya masih tertidur dan bermimpi. Ketika kedua mata itu menjatuhkan pandangannya ke bawah, Dika yakin jawabannya tidak.

"Maaf, tante. Saya ketiduran." Ucap Dika pada ibu gadis itu yang duduk di atas sofa.

Wanita itu tersenyum, "tidak apa-apa. Nak Dika kelihatan capek sekali."

Dika mendesah dan menghampiri wanita itu.

"Saya pamit, tante." Katanya sambil menjulurkan tangannya.

"Loh, jangan pulang dulu. Nanti saja setelah dikompres."

Dika memberi tahu, "ini sudah malam, tante."

"Memangnya kenapa?"

Dika tertawa. Ya, memangnya mengapa kalau sudah malam? Dia kadang pulang tengah malam dan pagi hari. Wanita itu telah berjalan ke arah lemari es. Dia membuka pintu dan mengeluarkan ice bag. Dika duduk di atas sofa. Kepala gadis itu miring ke arahnya. Matanya tidak menatapnya tapi pada ibunya yang datang mendekat. Wanita itu duduk di depannya. Dika mendengarnya membaca basmalah sebelum tangannya menyentuhkan ice bag ke wajahnya. Dika melenguh dan menarik kepalanya ke belakang ketika kulitnya merasa tersengat.

"Pelan-pelan, ma."

Kepala Dika menoleh pada asal suara itu. Mata mereka bertemu. Saat itu Dika membayangkan gadis itu turun dari kasur lalu mengambil alih pekerjaan ibunya. Hatinya teriris pedih ketika menyadari apa yang baru saja dia bayangkan.

Dika menoleh pada wanita di sampingnya dan menjulurkan tangannya, "biar saya saja, tante."

Suaranya terdengar serak di telinganya sendiri.

Wanita itu menyerahkan ice bag padanya. Dika menaruhnya di pipinya sambil bangkit dan berjalan ke arah jendela, melewati tempat tidur gadis itu. Dia membuka tirai dan masuk ke dalamnya. Air matanya mengalir. Dika tidak bisa merasakan rasa sakit di wajahnya karena saat ini dia sedang merasakan rasa sakit yang jauh lebih besar di dalam dadanya.

Dika mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat. Ingin rasanya dia meninju kaca di depannya lalu meloncat ke bawah dari tempatnya berdiri. Dia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Dia ingin memukulkan kepalanya pada kaca jendela. Dia membayangkan wajahnya penuh darah lalu dia jatuh pingsan atau semoga saja mati. Dika menghembuskan napas panjang. Dia lalu mengusap air matanya dan mulai mengontrol emosinya.

Dika keluar dari dalam tirai dan menaruh ice bag di atas meja di samping kiri gadis itu tanpa melihat padanya.

"Aku minta maaf." Suaranya bergetar dan serak. Dika belum selesai mengucapkannya, beberapa tetes air matanya terjatuh lagi. Dika sempat melihat wajah pias gadis itu ketika matanya terangkat secara reflek setelah meneteskan air mata sebelum dia berhambur ke luar kamar.