Kericuhan dari Agatha memecahkan suasana ruangan yang tegang. Wajahnya begitu gembira, senyuman lebar terus ia keluarkan sepanjang menulis secarik kertas hampa.
Pria paruh baya dengan wajah di selimuti kebingungan pun menghampiri. Berdiri di samping pembuat keributan yang sibuk menulis, tangan penuh lipatan kulit mencoba membenarkan posisi kacamata, matanya menyipit semakin menyipit, semakin menunduk mencoba memahami apa yang sedang di tulis.
"Kamu sedang menulis apa?" mencoba berkomunikasi setelah menundukkan kepala sampai setara dengan kepala penulis.
Mendengar seseorang berbicara dengan suara berat, tepat di samping telinga miliknya. Kepalanya menoleh membuat tamparan keras dari rambut miliknya, "Astaga," ucap terkejut dengan reflek menghindar. Agatha melihat siapa dia, ternyata itu Ayahnya. Terlalu sibuk dirinya dengan menulis berbagai teori selintas, sampai melupakan dengan siapa ia disini. Suara gesekan mulai terdengar, gesekan kecil dari kursi dan lantai, mengilukan hati. Kini remaja itu menghadap sang Ayah.
"Hanya menuliskan beberapa pikiran ku, terlalu asing dengan kalung yang Ayah berikan beberapa waktu yang lalu." Gadis manis duduk di atas kursi menghadap sang Ayah tepat di depan nya, pria paruh baya yang di panggil Ayah oleh mereka. Menatap kebingungan, sesekali memperhatikan tulisan di atas meja lalu menatap penulis dengan heran ia bertanya, "Apa ini pikiran mu? Ayah bahkan tak paham, kalung itu mungkin terasa asing karena benda itu sangat lama Ayah simpan demi waktu yang tepat," Gadis di kursi menatap kebingungan apa yang harus ia jelaskan di depan pria paruh baya ini.
Suasana hening ketika tatapan berubah mengintimidasi keduanya. Agatha kembali heran, terlalu banyak pertanyaan yang akan keluar dari mulutnya. Tak peduli sang Ayah bisa menjawab atau tidak, ia hanya ingin meluapkannya. Suara gesekan kursi semakin terdengar, gadis di kursi beranjak, menghampiri saudarinya yang terbaring lemah, dengan secarik kertas penuh tulisan yang ia pegang, kembali menatap sang Ayah.
"Aku pikir ada sesuatu yang aneh dari kalung yang Ayah berikan." suara lembut terdengar memulai pembicaraan, tatapan sang Ayah berubah seiring kakinya melangkah, "Apa yang kamu herankan, Agatha?" langkah terakhir kakinya membuat ia berdiri si samping Anatha.
Mata indah menatap sedih, melihat saudarinya yang terbaring lemah dengan kalung yang terus bercahaya, "Kurasa kalung ini...bukan untuknya," jari jemari yang indah mulai memegang kalung itu. Semakin heran dengan apa yang di katakan Agatha, sang Ayah merespons tidak percaya dengan bualan yang ia katakan.
"Dari awal kalung ini terasa asing, seperti hampa...tidak ada energi yang kurasakan, apa ini benar kalung dari Ibu, Ayah?"
Pria paruh baya menggeleng, helaan napas terdengar jelas, "Agatha, putriku. Tidak mungkin Ayah sembarangan memberikan benda untuk kalian berdua, penerus tahta. Ayah tidak ada niat mencelakai kalian, dan terus terang itu memanglah peninggalan Ibu kalian yang ia buat sendiri, Ayah hanya meneruskan."
Wajahnya terlihat kecewa, kesedihan mulai tergambarkan, rasa bersalah mulai timbul ketika mengungkit hal yang sangat sensitif, Agatha mengangguk sedih, meski di balik itu dia masih penasaran. "Jika benar Kalung ini dari Ibu, kurasa...ada sesuatu hal aneh, kenapa bentuk kalung ini berbeda? kami kan sudah jelas kembar, Ayah."
Suasana berubah drastis menjadi tegang, wajah senang Agatha ketika mengatakan seharusnya, sang Ayah menatap panik entah apa yang ia sembunyikan, Agatha semakin mengintimidasi sang Ayah, tapi tiba tiba wajahnya menjadi santai dengan senyumannya menatap Agatha, "Mungkin...Ibu lupa kalau kalian adalah kembar."
"Apa!?" Batin Agatha berteriak "Benar benar tidak masuk akal! Ibu yang melahirkan bisa bisanya melupakan identitas putrinya sendiri?! pernyataan bodoh macam apa ini."
Tanpa ampun Agatha menatap tajam sang Ayah, setelah ia menjawab dengan jengkel tatapan Ayah terus menunduk saat bertatapan dengan Agatha terus memalingkan ke arah lain, "Ibu lupa kalau kami ini kembar? bagaimana bisa? huh."
Tatapan berubah menjadi berbagai arah berbagai teori harus di pikirkan, demi jawaban yang di tunggu tunggu. "Emm...oiya! kurasa Tabib sudah datang, Agatha. Jadi Ayah turun kebawah dulu ya! kita akan bertemu dengan Tabib, lalu jaga sikap mu. Ayah akan menjawab pertanyaan mu, mungkin...nanti!"
Langkah kaki menjadi ringan, Ayah berlari meninggalkan ruangan, napasnya tersengal sengal. Tanpa sepatah kata pun Agatha hanya memberikan tatapan jengkel, "Selalu saja kabur dari masalah, sampai kapan aku punya Ayah seperti ini? memangnya ini pentas komedi?" gerutu kesal Agatha.
Cahaya yang menyilaukan dari retakan halus kalung itu terus memalingkan Agatha, seakan akan ini sesuatu yang penting, "Baiklah, aku akan menunggu Tabib itu datang, awas saja jika tidak terjadi apa apa! karena sebaliknya, aku yang akan bertindak."
Ruangan menjadi hening, hanya terdengar suara ricuh dari Agatha, menulis teori yang di maksud di buku miliknya semakin lama ia memegang pena semakin membuatnya membanting pena itu. "Sial, kenapa makin ke sana sih! tidak seharusnya pikiran ku ke Garron! aku harus menemui bocah itu."
Agatha beranjak dari kursi membawa buku dan pena serta secarik kertas penuh teori miliknya membungkus masuk kedalam tas, membuka lemari dan mengambil jubah miliknya. Langkah kaki dengan cergas keluar pintu kamar, sepanjang jalan Agatha menggerutu kesal dengan Ayahnya, "Aku tak peduli dengan para Tabib itu! aku harus cepat sebelum bertemu Ayah di bawah!"
Agatha keluar kamar dengan mengendap endap, ia memilih melewati dapur yang jarang di datangi sang Ayah. Selama menginjak lorong luas dan panjang dengan berbagai hiasan emas, tiang menjulang tinggi. Demi langkah yang cepat Agatha melakukan segala teknik. Ia berguling, meroda, berlari, sepanjang melakukan itu terdengar suara tawa. Agatha menoleh ke sana kemari berseru, "Siapa di sana?"
Dengan tatapan tajam, terus memperhatikan sudut sekitar, menanyakan dirinya, "Apa barusan aku tertawa ya? disini tidak ada orang, sangat tidak mungkin mereka tertawa di hadapan ku."
Agatha memilih berjalan cepat tanpa menoleh, hanya akan menghadapi apapun yang berada di depannya.
Kaki melangkah cepat semakin cepat, Agatha mendengar bisikan di belakang telinganya, "Suara tawa itu lagi." gumamnya, dengan tegak menahan lehernya menghadap kedepan, ia semakin berjalan cepat. "Sejak kapan rumah ini menjadi horror!" Agatha berseru lalu melihat kebelakang, "Tidak ada apa apa." ketika ia menoleh kedepan, suara tawa itu berwujud! "Kata siapa tidak ada apa apa?"
"HUAAA!" Agatha berteriak kaget hingga ia terjatuh, tubuhnya terduduk dengan mata tertutup semakin di tutup dengan kedua tangan miliknya, ia mengguling ke samping. Yang terdengar suara tawa itu semakin jelas dan mendekat, "Pergi!" seru Agatha dengan tangan mencoba mengusir, dia benar benar ketakutan.
"HAHAHAHAHAH, buka lah matamu, ini masih siang loh! kenapa harus ketakutan seperti itu." Tangan lembut itu menyentuh mata Agatha, memaksa membuka jari rapatnya.
"Siapapun tolong aku!"