Ruang kamar tidur dengan dua kasur terpisah membuat jarak antar keduanya, Agatha sangat heran dan acuh tak acuh dengan barang yang di iming iming pemberian ibunya. "Apa efek samping dari benda itu? bahkan kematian ibu saja masih menutup banyak misteri."
Anatha dari kejauhan melirik keraguan Agatha ia menghela napas perlahan, menjauh dari cermin hingga tepat di depan pintu, dengan gagang pintu yang ia pegang Anatha berseru, "Kenakan saja barang itu, percayalah...tidak akan terjadi apa apa."
Langkah kaki terdengar seketika Agatha yang masih memegang kotak itu di depan cermin, menoleh ketika Anatha melangkah keluar tepat setelah ia berbicara, tubuhnya...kejang kejang.
Agatha berseru melihat sang adik terbaring dengan seluruh otot tubuh yang tegang. Wajahnya pucat, Agatha berlari sekencang mungkin ia mengguncang tubuh adiknya, tidak ada respon. Agatha berteriak sedemikian rupa, semua ia katakan demi menarik perhatian seisi kerajaan.
Teriakan itu memanggil prajurit bahkan Raja dan juga koki Chef yang kebetulan sedang menghidangkan makanan, "Suara apa itu?" Raja kebingungan, berlari keluar ruang. Mencari asal suara, ketika sampai ia mendapati tubuh anaknya terbaring lemah di lantai. Bersama kalung itu...bersinar?
Semua memasang wajah panik dengan bantuan dua prajurit menggendong paksa tubuh Anantha, ia akhirnya terbaring lemah di atas kasur miliknya. Semua menghela napas, menganggap ini akan selesai, tapi..., kalung yang bersinar itu justru menarik perhatian Agatha. Semua relawan terpaksa keluar, menyisakan Agatha, Raja, dan Anatha.
Anak remaja perempuan dengan sebutan kakak dari saudarinya yang sedang terbaring lemah ia duduk di samping kepala sang adik, meratapi kalung yang membuat janggal, ia bergumam sembari mengangkat kalung itu, "Kalung ini..., kenapa bersinar? lalu retakan apa ini?"
Lima menit Agatha menatap kalung itu ia mengangkat cukup semangat, terpaksa menyipitkan matanya demi meneliti retakan kecil menimbul cahaya terang, "Tidak, aku bahkan tak tau kenapa ini bersinar," kepalanya menggeleng ketika mencoba menjawab pertanyaan dalam dirinya. Agatha pun berseru, "Ayah! kemarilah..., lihat benda asing ini."
Pria paruh baya dengan kulit wajah yang hampir di tutupi keriput, jalan dengan perut buncitnya mendekati kedua anak perempuan nya. Matanya menyipit, wajahnya kebingungan, kemudian bertanya, "Apa yang ingin kamu tunjukkan, Agatha?" memanggil nama anak perempuannya yang memaksa melihat kalung itu.
Agatha menggelengkan kepala, ia lupa akan umur ayahnya yang sudah tua bahkan tak bisa hidup tanpa bantuan teknologi, "Dimana kacamata Ayah?" sang Ayah kebingungan lalu tertawa, "Maafkan Ayah, selalu saja melupakan benda penting itu..., tunggu sebentar ayah akan ambil. Lalu, leher adikmu bisa putus jika kamu terus mengangkat kalung itu."
Anak perempuan itu tertawa dengan nyaring, suaranya menggema, lalu melepaskan tarikan kalung adiknya. Sang Ayah keluar dari kamar dengan segera, kini Agatha menunduk demi melihat benda itu, "Masih saja bersinar..." gumam heran Agatha.
Lima belas menit menunggu, pria paruh baya itu datang ketika kebosanan hampir menghancurkan pintu itu. Tampilannya seperti pria kaya! Agatha tersenyum puas, menyambut kedatangan sang Ayah. Di balas dengan senyuman cemas, "Maaf kan Ayah, sedikit ada kendala dalam memanggil Tabib untuk segera datang kesini, takutnya kondisi Anatha memburuk."
Agatha mengabaikan panggilan Tabib atau semacamnya, ia tak peduli dengan kehadiran Tabib bodoh itu yang hanya mengandalkan kemampuan Alam di era sihir, untuk apa? pemikiran kejam Agatha, kini keduanya mendekati kalung kristal itu, terdapat retakan kecil di tengah tengah kristal pedang itu, menimbulkan cahaya terang. "Padahal hanya sekecil atau bahkan sehalus ini retakannya, tapi cahaya nya bisa menyilaukan mata." gerutu Agatha.
Menggeser posisi kacamatanya sampai mendapatkan posisi yang nyaman antara telinga dan hidung, pria paruh baya itu terlihat heran ketika anak perempuannya menggerutu kesal, "Cahaya? retakan?" celetuknya heran. Tatapan Agatha berpaling seketika, ia menatap tajam sang Ayah, tatapan intimidasi lalu bertanya, "Apa Ayah benar benar tak melihatnya? retakan ini!" Agatha menarik paksa kalung itu "Apa masih tak terlihat?"
Posisi kacamata yang terus di perbaiki, mata menyipit berpikir dengan keras lalu melirik Agatha, "Jika aku bilang tidak terlihat, emosi anak itu akan meledak ledak," pikirnya. Dengan senyuman kepastian, "Ternyata retakan sehalus ini, ini sangat halus, sulit sekali di temukan..."
Keringat bercucuran, mata melihat sang anak yang merasa heran, jantung berdebar "Apakah aku ketahuan berbohong?" gumam dirinya. Agatha menatap heran, kepala miliknya seakan akan menjauh di iringi tatapan tidak yakin..., lalu tersenyum.
Wajah Agatha kembali nyaman untuk di lihat, jantung yang berdebar kini berdetak normal, membetulkan posisi kacamatanya, menghela lembut napasnya, seperti lolos dari terkaman Harimau.
Tidak puas, perasaan Agatha saat ini. Rasa penasaran yang tinggi tentang kalung itu bahkan sesekali ia memijat lehernya, terkadang menggerutu dengan posisi melihat kalung Anatha, "Kenapa harus seperti ini sih!" dari samping sang Ayah diam terpaku melihat keseriusan dari Agatha sampai ia bertanya, "Apa yang sebenarnya kamu cari, Agatha?"
Wajah Agatha tersenyum seringai, ia terlalu bersemangat dengan kalung itu. "Apa sebaiknya ku copot saja kalung itu? semakin lama semakin jauh ia menariknya," gumam sang Ayah khawatir. Di balik wajah senangnya Agatha menjawab dengan kembali memberikan berbagai pertanyaan.
Kondisi Anatha mulai membaik dari tubuh kejang kejang, kini menjadi lebih dia meski leher miliknya harus terus bergerak sealur tarikan Agatha. Ayah cenderung bingung dan heran, keputusan pertama tanpa berpikir ia mendekati leher Agatha dengan sangat lembut ia mencoba mencopot kalung itu. Wajah Agatha tersenyum lebar, benar benar ini yang ku cari!
Tangan yang bergetar hingga jari jari miliknya, sang Ayah mencoba menguatkan diri sembari melihat wajah putrinya yang sangat pucat dengan bibir menghijau teringat akan istrinya, kaki miliknya hampir melemas... ia berhasil melepas kaitan dari kalung itu, tapi...senyuman Agatha meredup.
Kaki melemas, tangan bergetar melihat Agatha, bertanya dengan wajah panik, "Ada apa?" Agatha terdiam...ia tak berniat menjawab pertanyaan Ayahnya, tapi...semakin di turunkan pengait itu, Agatha melihat cahaya yang semakin redup.
Tangan putih bersih itu menghentikan keberanian sang Ayah dengan seruan Agatha, "Ayah! berhenti...jangan lepaskan kalung itu, cahaya itu...semakin redup." Ayah mengangkat bahunya, terkejut dengan apa yang di maksud anaknya, "Cahaya? semakin redup? apa maksudnya." gumam dirinya. Di luar perkataan hati ia dengan pasrah mengikuti apa yang di katakan Agatha. Kembali memasang pengait kalung itu, dan tiba tiba Agatha berteriak.
Berseru dengan wajah sangat senang ketika kembali terpasang kalung itu, sang Ayah menatap dari depan keheranan, Agatha berteriak "Bersinar! benda itu bersinar!" wajahnya penuh harapan menatap gembira sang Ayah lalu berteriak, "Kembali bersinar!"
Melihat anak perempuan remajanya bertingkah seperti anak kecil ia bergumam heran, "Ada apa dengan dirinya? wajahnya terlihat gembira sekali, setelah sekian lama memasang wajah lusuh, Seperti sedang memenangkan lotre saja."
Tak hanya sibuk berteriak, Agatha beranjak dari kursinya wajahnya penuh senyuman, ia berlari ke meja belajar merobek secarik kertas dari sebuah buku, perasaannya penuh kegilaan mencari keberadaan pena, semua di meja itu menjadi berantakan, terdengar kalimat yang terus di ulang, "Aku harus mencatat ini! harus, harus!"