Pulang ke rumah, Zella langsung melemparkan tubuhnya diatas ranjang. Menenggelamkan wajahnya di bantal. Ucapan Maura sore tadi terngiang di telinga. Apakah benar Fajar bosan dengannya? Kalau tidak, lalu bagaimana dengan sikap Fajar yang jauh dari kata baik?
Hampir setengah tahun berpacaran, Zella mulai mengerti bahwa hanya dengan kata maaf tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Fajar itu tipikal manusia yang selalu meninggalkan masalah dan menumpahkan segalanya pada Zella.
Dan usaha Dirma untuk membuat Zella menjadi cewek periang lambat laun sirna ditelan waktu. Ada kalanya Dirma mengutuk Fajar yang menggagalkan usahanya. Tapi itu adalah kesalahannya sendiri yang justru mendekatkan Fajar pada Zella.
Kini Dirma harus menerima akibatnya. Maura baru saja memutuskan hubungan mereka. Orang lainpun tahu bagaimana rasanya ada diposisi cewek itu. Memiliki pacar yang tidak pernah fokus pada pasangannya sendiri.
Karena Zella tidak tahu perbedaan antara kasihan dengan kasih sayang. Yang Dirma lakukan hanyalah sebatas kasihan dan Fajarlah yang selama ini memberikannya kasih sayang. Apa buktinya? Hanya dua cowok itu saja yang mengetahuinya.
Tiba-tiba suara dering ponsel terdengar. Zella bangkit dari rebahannya, mencari ponsel didalam tas lalu menerima sebuah telepon dari...Fajar!
"Bagaimana kabarmu, Nona?"
Mendengar suara berat itu membuat tubuh Zella menegang. Ia hampir melupakan soal Fajar yang sempat ia lihat tengah mengamati dirinya, Dirma dan Maura saat didepan gerbang sekolah sore tadi.
"Gue harap lo bisa jawab pertanyaan ini, Nona Lala."
"Jangan salah paham dulu,"
"Salah paham? Salah paham tentang apa?"
Zella tahu Fajar sedang berlagak sok polos. Padahal cowok itu jelas sekali mengetahui soal kejadian itu.
"Fajar, please. Aku bisa jelasin!"
"Perlu gue ulang pertanyaan tadi?"
"Aku tahu kamu pengin bahas soal tadi, 'kan?"
"Udah jelas keadaan lo nggak baik-baik aja. Ada masalah apa?"
"Dirma nggak bermaksud--"
"Lo ngomong apa sih, Lala? Gue pusing dengerinnya. Udah bagus gue mau nelpon elo tapi malah kayak begini jadinya. Gue tutup ya, ada acara."
Pip! Telepon dimatikan.
"FAJAAAR!"
Zella menggeram kesal. Untuk kesekian kali ia melempar ponselnya. Tentu saja ia tidak akan sebodoh itu merusak ponsel itu. Ia melempar dengan melihat keadaan tempatnya. Sedangkan disisi lain, Fajar tengah duduk di jendela kamar. Menatap rumah-rumah tetangga yang atapnya basah akibat hujan semalam.
"Gue nggak akan sedingin cuaca hujan kalau lo nggak bikin hati gue selalu mendung." ujar Fajar dengan tatapan kosongnya.
Pintu kamar terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam dengan langkah tertatih. Melirik dari sudut matanya, Fajar tahu siapa yang mendatangi kamarnya.
Wanita itu duduk ditepi ranjang, menatap punggung anaknya yang menghalangi cahaya matahari sore.
"Saya juga nggak mengharapkan ini, Fajar dan kamu tahu itu. Tapi ingatlah, saya hanya manusia yang kapanpun akan diambil oleh Sang Pencipta."
Fajar menoleh sepenuhnya ke wajah tua Ibunya, Elisa Hermawati. Mata tajamnya berkilat api kemarahan. Ia segera bangkit dan melangkah mendekati Ibunya.
"Bahkan anda belum menunaikan tugas anda menjadi Ibu yang baik untuk saya. Kenapa anda terburu-buru ingin meninggalkan saya?"
Bu Elis bangkit, hendak meraih bahu anaknya. Dengan cepat Fajar menghindarinya.
"Saya pastikan anda berumur panjang. Ada Naya yang harus anda rawat. Untuk saya nggak masalah. Anda tahu, saya udah dewasa, bisa merawat diri sendiri lebih baik dari pada anda, Ibu Elis."
Fajar memberikan senyuman terbaiknya untuk Bu Elis. Sebagai seorang Ibu, wanita itu sangat terluka mendapat perlakuan kasar yang tak pernah berujung. Fajar selalu begitu padanya. Tapi ia adalah seorang Ibu, yang harus selalu kuat saat di caci dan di maki.
Fajar keluar dari kamar, melangkah menuju garasi dan mengendarai motornya sebelum Ayahnya, Danu Mahesa pulang dari kantor. Ia ingin melampiaskan emosi yang menumpuk diujung tenggorokannya. Ia akan menelan emosi itu dengan segelas alkohol.
***
Malam itu klab langganan Fajar lumayan sepi. Tanpa ragu cowok itu melangkah masuk ke dalam. Aroma favoritnya menyeruak masuk ke lubang penciumannya. Senyuman kecil terbit di bibirnya. Semua orang yang berada ditempat itu adalah keluarganya. Terutama sang bartender, Derian Agustian.
"Biar gue tebak, kali ini masalah lo lebih berat dari yang kemarin." ujar Deri dengan seringaiannya.
Fajar mendecak kesal. Ia mendorong wajah Deri yang berusaha mencari jawaban di dalam ekspresinya.
"Lo tahu gue siapa?" tanya Fajar datar.
Deri mengangguk, "Lo itu cowok bajingan yang menjelma sebagai pangeran di muka bumi ini."
Fajar menjentikan jarinya seraya meminum segelas bir yang diberikan oleh Deri sebelumnya.
"Itupun masih di muka bumi belum sampai ke inti bumi. Gue bisa dapetin hati semua manusia kalo lo kasih gue segelas lagi, Ri."
Deri tertawa keras mendengar ucapan bodoh pelanggan setianya itu. Ia pun segera menuangkan bir ke gelas itu.
"Jadi, rencana lo kali ini apa?"
Fajar menegak bir-nya seraya menyeringai bengis. Matanya menatap ke dalam gelas kaca di tangannya itu. Lalu ia memutar badannya, menghadap orang-orang yang nampak menikmati musik yang berdentum-dentum.
Fajar menurunkan gelasnya, "Mereka. Suatu saat nanti mereka bakal sadar betapa berharganya gue hidup di dunia ini. Yang katanya gue itu nggak berguna, nggak penting, nggak berharga. Mereka bakal selalu ingat nama gue di hatinya."
"Dasar anak nggak berguna! Nggak penting! Nggak berharga! Mati aja sana! Nggak akan ada orang yang bakal ingat nama kamu di hatinya! Nggak bakal ada, Fajar!"
Tiba-tiba kepala cowok itu terasa sangat pening. Reflek ia menjatuhkan gelasnya. Deri bergegas menghampiri Fajar yang hampir kehilangan kesadarannya itu. Belum sampai menggapai bahu Fajar, tangan Deri dihentikan oleh tangan seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri disebelahnya.
"Biar gue aja. Lo lanjutin pekerjaan lo yang tertunda."
Deri segera mengangguk. Ia membiarkan Dirma membawa Fajar pergi dari klab setelah membayar beberapa lembar uang seratus ribuan pada Deri.
Dirma membawa Fajar masuk ke dalam mobilnya. Kini mereka duduk bersebelahan. Fajar yang setengah sadar itupun tahu ada dimana dirinya sekarang. Ia menoleh, menyipitkan matanya saat melihat Dirma duduk dengan ekspresinya yang sulit diartikan.
"Nggak seharusnya lo kayak gini, Fajar. Gue nggak bisa bayangin bagaimana ekspresi Zella kalo tahu lo masih mabuk-mabukan."
Fajar memejamkan mata. Semuanya terlihat gelap. Ia melakukannya karena ia terlalu malas menanggapi ucapan Dirma. Karena Fajar tidak menyukai orang yang berusaha mengatur dirinya.
"Lo masih ingat, 'kan Zella itu pacarnya siapa?"
"Ya." balas Fajar cepat.
"Dan lo masih ingat, 'kan Zella nggak pernah suka lo mabuk-mabukan?"
"Ya."
"Mulai sekarang lo harus berubah, Fajar. Meski bukan untuk Zella setidaknya untuk diri lo sendiri."
Fajar membuka matanya. Tatapannya menyorot ke depan. Banyak pengendara yang melintas didepan mobil Dirma yang masih terparkir di halaman klab.
"Seharusnya lo belajar dari seorang pengendara, Dirma. Mereka berjalan sesuai arah tujuannya tanpa memperdulikan kata orang. Karena mereka udah tahu dimana mereka bakal berhenti. Seperti halnya gue, gue tahu menjadi pemabuk adalah hal yang paling dibenci sama dia. Tapi lo tahu sendiri bagaimana rasanya menjadi pemabuk, Dirma. Karena menjadi pemabuk, gue tahu dimana arah tujuan hidup gue." ujar Fajar dengan suara beratnya yang penuh penekanan.
Dirma berusaha sabar. Kalau saja Zella yang ada disini, pasti cewek itu akan mengomeli Fajar habis-habisan lalu berakhir dengan pertengkaran. Dirma berusaha menggunakan akalnya untuk mengalahkan argumen Fajar.
"Apa dengan menjadi pemabuk lo bisa menemukan kebahagiaan?"
"Sangat bisa." balas Fajar cepat.
"Nggak, Fajar. Meskipun lo bisa itu hanya sementara. Kebahagiaan manusia itu adalah rasa syukur pada Sang Pencipta. Lo nggak pernah bersyukur dengan kehidupan lo sendiri, Fajar. Gue tanya, apa kurangnya di hidup lo?"
Fajar terdiam selama beberapa saat dengan isi pikirannya yang berkelana kemana-mana. Lalu ia angkat bicara.
"Lo nggak akan pernah bisa mengerti hidup gue, Dirma."
***
Tepat pukul tujuh Zella sampai di kelasnya. Siska yang sejak tadi menunggu kehadirannya itu langsung menghadang jalan Zella menuju bangkunya.
"Wajahnya aja yang polos, hatinya busuk." desis Siska menatap Zella remeh.
Zella memutar bola matanya malas. Ia tetap melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Siska hanya membiarkan Zella meninggalkannya. Lagi pula cowok yang sejak tadi menjadi bahan obrolannya sudah datang.
Dirma masuk ke kelas dengan langkah santai. Melihat Zella sudah duduk manis di bangkunya membuat senyuman kecil terbit di bibir cowok itu. Ia pun berhenti melangkah tepat disebelah meja Zella.
"Komen penampilan gue hari ini coba."
Zella mendongak. Ia kaget saat melihat cowok itu mengubah gaya rambutnya hampir mirip dengan gaya rambutnya Fajar.
"Lo gila?"
Dirma tertawa keras. "Begini aja udah bikin lo kaget ya? Apalagi kalo gue berubah jadi Kim Taehyung, langsung pingsan lo."
Tanpa berpikir lagi Zella langsung mencubit lengan cowok itu dan dengan gerakan cepat, tangannya mengacak-acak rambut Dirma.
"Gue lagi malas bahas dia ya. Jadi jangan harap hari ini lo sebut namanya!"
"Bahkan setelah gue kehilangan Maura, lo masih nggak mau minta maaf?"
Zella melemparkan pena yang berada digenggamannya asal. Membalas tatapan Dirma dingin.
"Berkali-kalipun gue minta maaf, dia tetap sama dan nggak bakal berubah. Udahlah, Dirma, lo nggak usah mikirin itu lagi ya. Berhenti mulai sekarang oke?"
Dirma meraih tangan Zella, menggenggamnya erat.
"Apapun yang berhubungan tentang lo bakal gue pikirin terus. Gue lebih rela kehilangan Maura daripada harus rela kehilangan lo, Zel. Ingat kata-kata gue, gue lebih peduli hubungan lo sama Fajar. Ingat itu sampai kapanpun."
***