webnovel

Ex-wife

"Kamu tahu gimana rasanya ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya?"

Kim_NE · 都市
レビュー数が足りません
6 Chs

Chapter 5

Note: Chapter ini alurnya maju mundur.

🍭

"Selamat, istri Bapak positif hamil tiga minggu."

Saat itu, di sana adalah awal mulanya. Vally teringat pada masa dia dan Williem bersama, momen paling bahagia sepanjang mereka hidup berdua.

Di usia pernikahan mereka yang terbilang baru, Vally divonis hamil oleh dokter. Sekitar dua bulan setelah menikah perut Vally ada isinya, Wiliem memang setokcer itu benihnya. Vally terkekeh jika ingat bagaimana bahagianya Willi kala itu.

Dulu ....

"Mami! Mami! Mami!"

Willi langsung mencari maminya, dia membopong tubuh Vally sejak turun dari taxi hingga sampai di dalam kamar mereka. Bahkan sebelumnya, ketika menemukan sang mami, Willi masih menggendong Vally—seolah tak merasa berat, padahal beban tubuh Vally saat itu terbilang dua kali lipat karena ada makhluk lain di rahimnya.

"Vally hamil, Mi! Bentar lagi Mami punya cucu!" heboh Willi, sementara Vally saat itu menyembunyikan wajahnya di dalam gendongan.

Mami Wiliem senangnya bukan kepalang.

Vally tersenyum saat ingatan itu begitu membekas, membuat sakit hatinya di masa kini karena sudah tak lagi sama, senyumannya berubah miris.

Vally menengadah dan menghela napas panjang. Dia sudah di rumah. Sepulangnya dari kediaman mantan suami, Vally langsung bernostalgia.

"Sayang, aku mau makan ayam geprek."

Saat itu Vally meminta kepada Williem yang sedang bekerja, konon katanya suaminya itu sedang rapat.

"Oke, aku beliin."

Tapi yang namanya Williem tidak menolak, dia selalu menomorsatukan istrinya. Seperti saat malam di mana Willi sudah terlelap, pukul satu dini hari Vally terbangun dan sangat ingin makan tahu bulat.

Harus saat itu juga.

Williem terpaksa menyingkirkan kantuk dan menyanggupi kemauan istrinya. Padahal, nyari di mana?

Hanya Williem orang waras satu-satunya yang menghubungi banyak pihak demi mencari tahu keberadaan tukang jual tahu bulat. Sekali dia menemukan, penjualnya juga tutup, tahu bulat hanya beroperasi di siang hari. Namun, kegigihan Willi yang sampai jam tiga pagi dia berkeliaran di luar demi sebongkah tahu bulat, akhirnya dia dapatkan.

Williem memberi harga mahal pada satu bulatan tahu dan tiap serbuk bumbunya yang dibungkus terpisah.

Begitu sampai rumah, Vally tidur nyenyak. Williem membangunkan dan berkata bahwa, "Tahu bulatnya udah ada."

Tapi Vally malah bilang, "Buat kamu aja, aku ngantuk. Oh, ya ... besok bikinin aku nasi goreng pakai telur sama sosis, harus kamu yang buat."

Perjuangan Willi berakhir mengesalkan. Saking kesalnya, Williem sampai memakan tahu bulat secara ganas sambil menatap wajah tidur Vally. Kesabarannya benar-benar diuji.

Tapi Williem tidak marah. Vally ingat dengan betul seperti apa sosok Willi di saat menghadapi keinginan menyebalkannya. Willi selalu siaga, selalu mau mengabulkan permintaan Vally bahkan yang paling rumit sekalipun.

Hingga tanpa terasa ada air mata yang jatuh. Semua itu sangat manis pada masanya, tapi begitu pahit saat dikenang.

🍭🍭🍭

"Gak mau tahu, pokoknya aku mau cerai!"

Williem mengerang, dia mengenang. Dia tidak bisa lupa pada kalimat Vally yang sampai menangis memohon agar berpisah dengannya.

"Aku gak mau seranjang sama kamu! Aku maunya cerai aja!"

Sampai saat kini Williem terlentang di atas ranjang yang dulu dia bagi dengan Vally, kalimat-kalimat menyakitkan itu masih terngiang di tiap kali dia akan pergi tidur. Rasanya masih semenyakitkan dulu, dan masih setidak terima itu.

Padahal dulu ...

"Kalau anak kita lahir, aku mau bikin rumah yang ada kolam dan tamannya di tengah-tengah. Terus nanti kamarnya ada empat."

Janji Willi kepada Vally saat sedang bahagia.

"Aku pengin anak kita yang ini cowok, nanti kalo dikasih lagi ... cewek juga gak pa-pa. Tapi bebas sih, mau cewek atau cowok aku gak masalah. Duh, aku jadi gak sabar. Sayang, jaga anak kita baik-baik, ya. Semoga lancar dan kedepannya kita bikin lagi sampai kamar empat itu penuh."

Harapan Willi untuk masa depannya dengan Vally saat dulu sedang bahagia.

Semua kesakitannya di masa sekarang berakar dari sana, sebab tak ada satu pun yang dijanjikan dan diharapkannya itu menjadi nyata.

Williem menahan napasnya, masih saja sesesak itu hatinya jika ingat bahwa rumah impiannya dengan Vally sudah dibangun namun betakhir semu, ada tapi seolah tak berwujud. Williem sudah merealisasikan janjinya, tapi isi dari tujuan janji itu tidak ada.

Anaknya meninggal dunia. Istrinya menggugat cerai di saat dia sedang sayang-sayangnya.

Williem terisak, sial. Dia bisa semenyedihkan ini sekarang. Yang namanya cinta itu ... benar kata D'Masiv, cinta ini membunuhku.

🍭🍭🍭

Bayi itu dinyatakan meninggal dalam kandungan di usia sembilan bulannya. Kenyataan bahwa yang ditunggu-tunggu hadirnya malah gugur lebih dulu, hal yang paling menyakitkan.

Vally terus menangisi kepergian anaknya. Dia terduduk di ranjang dalam sepi meratapi kegagalannya.

Itu sangat menyakitkan, yang hanya tinggal menunggu waktu kelahiran, bayinya malah tak dapat bertahan dan tak bisa diselamatkan.

Konon, bayinya meninggal dalam kandungan karena masalah plasenta yang tidak bekerja dengan benar. Plasenta merupakan organ penyaluran asupan-asupan penting yang dibutuhkan janin selagi di dalam kandungan. Pada saat plasenta mengalami gangguan, perkembangan janin dapat terhambat dan memungkinkan terjadinya janin meninggal di dalam kandungan.

Vally mengalami hal itu, dia melahirkan seorang bayi yang sudah tiada. Dan saat itu hatinya remuk, kenyataan yang Williem tegaskan dengan perilakunya bahwa Vally tidak bisa menjaga anak mereka dengan baik.

Williem terpuruk. Vally ingat dengan jelas di mana Willi tidak meliriknya, Willi yang malah pergi pasca kelahiran anak mereka yang tak bernyawa. Vally melihat air mata Willi saat itu, yang paling menyakitkan ... seakan-akan hanya Williem yang terpuruk sendirian, seolah-olah hanya Williem yang merasa kehilangan.

Keinginan bercerainya dengan Willi timbul di sana.

Williem memang tidak mengatakan hal-hal yang menyinggung hatinya, tapi justru diamnya Willi membuat Vally merasa berasalah—sangat besar.

Ketidaknyamanan itu bermula di sana.

"Aku mau lanjut study, kuliah."

"Diem aja di rumah ... kenapa, sih?"

"Aku bosen, Mas. Kamu juga diemin aku terus kan selama ini? Daripada nganggur ya ... aku kuliah aja."

"Gak usah macem-macem."

"Macem-macem gimana, sih? Lagian aku masih muda, aku mau kuliah biar nanti aku juga punya karier."

"Buat apa? Kamu hidup juga aku biayayain, kan? Kartru debit yang aku kasih emang udah abis? Pakai aja kartu kredit no limit punya aku kalau kamu pengin beli apa-apa mah. Kurang apa lagi coba?"

Hal itu menyakiti hatinya. Sampai sekarang pun masih membekas. Vally memang dinafkahi dengan baik oleh suaminya, tapi nafkah batinnya kurang—jujur saja, dia butuh kasih sayang dan perhatian.

Yang tiba-tiba menjadi serba salah. Vally marah. Dia sudah kecewa dengan diri sendiri dan semakin dibuat kecewa oleh suami. Kekecewaannya terpampang nyata.

Saat itu ...

"Bagus, ya, mainnya sama cowok sekarang."

"Apa, sih? Dia temen kampus."

Ya. Vally memutuskan untuk kuliah dan tidak mengindahkan izin Willi yang belum dia dapatkan.

"Ngeles aja terus kayak bajaj!"

"Terserah, deh. Orang beneran cuma temen, ini tuh abis kerja kelompok buat entar ospek."

"Halah, jago ngarang, ya, sekarang? Kenapa gak daftar jadi penulis novel aja?"

"Bodo amat ya, Wil. Terserah mau percaya atau nggak, ribet amat."

"Mikir dong, Val! Kamu itu udah punya suami, gak pantes pulang-pulang diantar cowok lain. Anak kamu aja masih bulan kemarin dikubur, otak kamu tuh di mana, sih?!"

Pertengkaran bermulai di sana. Tiap hari tak pernah tenang, Vally semakin tidak nyaman. Dia benar-benar makan hati.

Mengungkit soal anak, titik paling sensitif dalam hidup Vally.

"Tadi kan aku minta jemput tapi kamu bilangnya sibuk!"

"Naik taxi kan bisa. Atau angkot, kek!"

"Gak kepikiran sampai sana, sih."

Vally tersedu. Adu bacot itu terus berlanjut, seringkali ditegur oleh Mami Wiliem, seringkali diceramahi, tapi semua itu tak berefek. Vally dan Willi seolah tak ada harapan untuk kembali nyaman.

"Terserah, deh."

Kalimat itu yang Williem ucapkan sebelum akhirnya Williem kembali diam, tidur pun mulai saling memunggungi.

Vally menangis saat itu, sama seperti sekarang. Tangisan Vally yang dulu sama pilunya dengan yang saat ini.

"Kita cerai aja, ya?"

Malam di mana Vally menyerah, dia merasa sedih dan mulai membuat keputusan.

"Kita pisah ranjang aja sebagai permulaan."

Seperti itu ... sekalipun Williem memeluknya dan mengecupi seluruh bagian wajahnya, membantu menghapus air matanya, tetap saja Vally tak tahu bagaimana cara untuk bertahan.

Saat satu bulan kepergian anak mereka. Vally memohon ... "Pokoknya aku mau kita cerai!"

Yang saat marah, dibalas dengan amarah, akhirnya berantakan.

"Ceraiin aku atau aku nyusul anak kamu!"

Sampai sedrama itu keinginan Vally untuk berpisah. Di saat amarah mengusai dirinya, kesedihan yang membelenggu, Vally membuat keputusan.

Jalan satu-satunya mungkin memang lebih baik berpisah.

Vally tergugu, isakannya semakin jelas di ruang dan malam yang sepi. Dia menekuk lututnya, membenamkan wajah di sana. Hatinya sakit sekali.

"Willi bego!" makinya frustrasi, dia menyalahkan Williem, meski sepenuhnya dia sadar ... memang keduanya tak ada yang bisa dibenarkan.

🍭

Inilah sudut pandang Vally atas pernikahan mereka.

Dia capek.