6 Chapter 6

"Hei, kamu!"

Seseorang berhenti. Orang lainnya tersenyum dan berkata lagi.

"Iya, kamu. Yang pakai baju kuning." Key Airlangga Mahesa menampilkan deretan giginya yang putih, dia lanjutkan, "Udah lama gak ketemu, mantan gue makin cantik aja setelah ditelan waktu."

Vally yang mendapatkan omongan itu mencibir. "Pale, lu!"

Key tertawa. Dia berjalan mendekati Vally, lalu merangkulnya. "Lo ngambil jurusan apa?"

"Hukum," jawab Vally tidak merasa keberatan saat Key mengajaknya berjalan sambil rangkul-rangkulan.

Mereka melangkah keluar gerbang, nampaknya Vally dan Key akan pergi ke warung di seberang jalan sebab sekarang sudah termasuk jam makan siang, dan dari yang sejak tadi Williem pantau ... ada tidak, ya, kesempatan untuk jadi pengacau?

Williem meremas ponsel di tangan tanpa sadar bersama langkahnya yang mengikuti ke mana cowok kembaran biji kopi itu mengajak Vally pergi. Dibilang biji kopi karena kulit Key eksotis, hitam manis. Melihat kebersamaan mereka Williem mendengkus. Enak saja main rangkul-rangkul wanita orang, memangnya dia siapa?

Begitu tiba di sana, Willi lagi-lagi mendapati mereka berbincang akrab. Jangan salah paham, Williem tidak sedang menguping, hanya saja kebetulan tempat duduknya di belakang Vally dengan posisi saling memunggungi. Willi juga bukannya cemburu, mustahil kalau iya, dia hanya ... sedikit tidak suka saja melihat Vally berdekatan dengan pria lain, agaknya terasa panas dan itu karena Neraka bocor. Jadi, kalian jangan sok tahu!

"Seblak basah yang satu komplit, satunya lagi tanpa telur dan wajib pedas ya, Bu!"

"Siap!"

Key tambahkan, "Minumnya jus jeruk dua dan seblaknya gak pake lama!"

"Laksanakan!" kata ibu-ibu penjual seblaknya.

Vally terkekeh. "Lo masih aja inget selera gue, ya?"

"Namanya juga calon."

Sial. Williem meremas sumpit sampai patah. Apakah itu adalah lelaki yang dikenalkan ibunya Vally saat diceritakan tempo hari? Atau itukah cowok yang sedang dekat dengan Vally saat ini? Cih, jelek! Bibit, bebet, bobotnya tidak terbaca.

Sorry not sorry, ya ... Williem bukannya mau ikut campur atau gagal move on, tapi dia tidak senang saja kalau Vally sudah mendapatkan penggantinya. Makanya sumpit itu patah.

"Btw, apa kabar hubungan lo sama Albino?"

"Willi maksud lo?"

Key tertawa. "Siapa lagi kalo bukan dia?"

Shit! Williem mengumpat. Sekata-kata ngatain orang setampan dia dengan albino.

"Udah kandas. Sama kayak lo, kalian cuma mantan."

Willi nyaris saja membalikkan meja kalau tidak ingat di depannya ada orang lain yang juga sedang menikmati jajanan warung. Selama ini yang Willi tahu, mantannya Vally itu orang kampung, kenapa bisa ada di kota? Yang jadi masalah, ngapain datang ke kota dan menemui Vally segala? Hell, memangnya dia siapa?!

Sekali lagi, Williem tidak peduli. Tapi sekarang dia malah mengambil ponsel yang entah sejak kapan layarnya jadi retak. Untung masih berfungsi, Willi pun menggunakannya untuk mengirim pesan kepada Vally yang berisi: saya tunggu di kantor, sekarang. Kalau tidak, ban motornya saya copot.

Ingat, bukan cemburu. Willi hanya perhatian saja kepada Vally sebagai dosen kepada mahasiswanya kalau saja cewek itu berlama-lama mengobrol dengan lelaki yang tidak bagus bibit, bebet, bobotnya.

"Ini orang kenapa, sih?"

"Siapa?" tanya Key sambil menerima seblak yang sudah selesai.

Vally membaca jengkel pesan singkat yang baru saja dia dapat. "Bukan siapa-siapa sih. Gak penting juga."

"Cuma manusia yang pernah singgah aja ... iya, kan?" ledek Key.

Vally mengerling, dia tidak melanjutkan perdebatan mereka dan memilih langsung makan.

Sebenarnya, Key itu merupakan sahabat Vally dari kecil, tapi karena sama-sama penasaran sama yang namanya pacar, akhirnya mereka membuat keputusan untuk menjalin kasih. Tidak lama, sebab perjalanan mereka sebagai pasangan hanya sebatas sampai salah satu dari keduanya sudah ada pacar sungguhan. Memang konyol dan terbilang langka, tapi Vally rela-rela saja Key menggandeng cewek lain dengan mesra.

Dan kemudian Vally menemukan Willi, si Bangsul yang kini menerornya dengan stiker mengancam yang di bawahnya ada pesan bertuliskan: satu menit, lebih dari itu saya E-kan lagi nilai mata kuliah kamu.

Yang namanya mantan, jangan harap bisa akur kalau di antaranya masih ada perasaan.

Vally sensi, Willi lebih sensi lagi. Sampai Vally memutuskan untuk pamit kepada Key dan saat itu Key melihat ada manusia yang mirip sekali dengan si Albino yang dia gosipkan barusan--lewat--berjalan di belakang Vally.

🍭🍭🍭

"Bapak ngikutin saya?"

"Mana ada seorang guru yang ngikutin muridnya," elak Willi begitu dia ketahuan sedang berjalan di belakang Vally.

Kini mata Vally memicing tajam. Posisi mereka ada di dalam ruangan, karena saat ketahuan Williem langsung memimpin jalan ke tempat itu.

"Terus Bapak ngapain jalan di belakang saya?"

"Kebetulan. Kamu tahu kebetulan, kan? Bukan sesuatu yang disengajakan dan gak usah ngaku-ngaku kalau kebetulan itu berarti jodoh."

Vally merasa konyol. Baik, sejak awal harusnya dia tidak membalas tiap ucapan Willi. Membiarkannya mengalir dan cukup jadi pendengar saja.

"Oh, ya ... bukannya saya peduli atau merhatiin terus kamu, ya. Hari ini wajah kamu makin jelek aja, bikin rusak mata saya yang lihat. Kalau habis nangis matanya kompres pakai es batu."

"Siap, Pak."

Williem mendengkus. "Kamu jangan kepedean, ya. Saya gak lagi peduliin kamu, saya cuma kasihan aja sama cowok yang ada niat deketin kamu, tapi begitu lihat mata jengkol itu dia jadi milih mundur teratur."

Vally kontan menaikkan alis matanya. Williem berdecak, "Zaman sekarang yang dilihat itu penampilan, sama sih kayak dulu. Kamu nerima saya kan karena gak bisa nolak fakta bahwa saya ini ganteng."

"Pak--"

Willi menjentikkan jarinya, lalu dia duduk di kursi. "Saya nyuruh kamu ke sini itu bukan buat ngobrolin masa lalu, tapi kamu kayaknya pengin banget saya bahas itu. Saya cuma mau tanya, nanti sore kamu ada waktu nggak?"

Vally menatap Willi alakadarnya. Sebagai mahasiswa dia berusaha keras untuk menghormati dosennya.

"Maaf, Pak, saya ada acara."

Williem terkekeh, dia berdeham dan mengibas-ibaskan tangannya. "Pasti kamu udah ge'er duluan, makanya pura-pura sibuk. Bukannya di hari selasa sore kamu cuma baca novel online karya siapa, tuh ... permen bertangkai? Saya bukannya masih ingat kegiatan rutin kamu semasa kita bersama, ya ... jangan kepedean, saya cuma gak bisa lupa aja."

Vally gatal ingin bilang: go to the hell! sambil menendang bola dunia ke wajah Williem. Tapi yang dia lakukan hanya tersenyum tipis saja, sulit baginya untuk melawan jika di kampus.

"Saya nanyain itu juga bukan karena mau ngajak kamu kencan, ya ... gak usah ngarep."

"Pak--"

"Ada waktu?"

Williem selalu memangkasnya. Vally menghela napas samar, dia menggeleng. "Saya ada acara keluarga."

Apa, tuh? Willi mulai waspada. Apa itu tentang si pemeran pengganti? Atau cowok yang konon akan dikenalakan kepada Vally?

"Oke," sengaja dijeda, "padahal saya mau ngajak kamu negosiasi soal nilai Advokasi kamu yang E."

"Kalau gitu, kapan? Sore jam berapa dan di mana saya bisa menemui Bapak?"

Sudut bibir Willi tertarik penuh kemenangan. Dia bersedekap dengan kaki kiri yang bertumpang di paha kanan.

"Di hotel ASW, saya tunggu kamu di sana jam lima sebelum matahari terbenam."

"Pak, harus banget di hotel?"

"Kenapa? Takut terjadi sesuatu? Khawatir saya apa-apain kamu? Vally, dengar ... buat niat aja saya gak ada, apalagi macem-macemin kamu. Lihat dada kamu aja ..." tatapan Willi jatuh di sana, cukup lama hingga Vally refleks menyilangkan tangannya dan memberikan tatapan tajam. Williem terkekeh, "kecil, nggak ada daya tariknya."

Vally siap meledak, tapi Willi membungkam ledakannya dengan kalimat, "Jangan sok merasa dilecehkan, dulu juga kamu enjoy-enjoy aja kan saya sentuh?"

Astagfirullah. Tangan Vally terkepal sudah siap melayangkan bogem mentahnya. Sementara itu Willi tertawa puas sekali. Membuat sisi liar Vally tak bisa untuk terus bersemayam membiarkan dirinya diperlakukan seperti ini.

"Pak," Vally mendekat, dia tersenyum, "jangan naif, jangan pura-pura gak minat ... yang dulu semalaman gangguin saya itu siapa, ya?"

Tawa Williem berhenti.

"Selalu lain di mulut, lain di hati. Kalau saya sodorin, paling Bapak gak nolak. Mirip-mirip sama waktu kita masih seranjang. Masih ingat kan, Pak? Atau perlu saya jabarin?"

"Kamu mahasiswi kurang ajar, ya?"

"Bapak juga dosen yang minta dihajar." Vally tak mau kalah. Lagipula, siapa yang memulai?

"Kamu boleh keluar!"

Vally berdecak. "Saya juga gak betah lama-lama di sini, sumpek."

"Keluar!"

"IYA, IH, BAWEL!" kesal Vally, berteriak keki. Dia buru-buru keluar ruangan meninggalkan Willi yang nampaknya benar-benar murka, entah karena apa.

Selepas pintu tertutup rapat dan Vally keluar dari sana, Willi mengatur napasnya. Dia menggeram, melempar ponselnya yang memang sudah tak sedap di pandang.

Ponsel itu hancur, sama kayak hati Willi yang sudah Vally buat lebur.

Obrolan barusan mengingatkan Williem kepada kenyataan kalau masa lalunya dengan Vally itu manis, tapi kenapa sekarang malah jadi makin meringis?

Bukannya kangen sama masa lalu, tapi dia ingin saja kembali ke masa itu. Bukan untuk mengulang kesalahan, namun untuk memupus kemirisan di masa sekarang dan yang akan datang.

Yang sudah jadi mantan ... besar kemungkinan buat bisa balikan.

🍭

avataravatar