webnovel

Elyana : Jodoh Dari Allah

Aku menyukai Umar, tapi dia malah melamar adik ku dan menikahinya. Hatiku di buat luluh lantak tak berbentuk dalam satu malam. Sosok Umar yang begitu taat akan agama membuatku mendambakan dia sebagai calon imam ku. Meski aku sudah mendengar bahwa pernikahan itu akibat kesalah pahaman, tapi aku tetap merasa di khianati. Sampai akhirnya ayah menjodohkan aku dengan pria bernama Habib. Dia pria yang baik dan juga taat beribadah. Namun, bagaimana bisa aku menjalin hubungan pernikahan dengan pria yang sama sekali tidak aku cintai? Dosa apa yang ku buat di masa lalu hingga aku harus menjalani hidup seperti ini? Aku bahkan tidak bisa melupakan Umar meski status ku sudah berubah menjadi istri orang. “Mas mengerti, dan Mas nggak akan sentuh kamu sebelum Umar hilang dari sini,” kata Habib menunjuk dada ku. Aku terdiam. Note : Jangan lupa mampir ke story ku "Cinta Diatas Kertas" ya, ceritanya gak kalah seru sama kisah El kok!

Suryani_07 · 都市
レビュー数が足りません
327 Chs

HUKUMAN CIUM

"Huft ..." Aku melepas napas dengan kasar setelah masuk ke mobil.

Percakapan ku dan Umar sungguh menguras emosi. Tega-teganya dia menyebut bahwa adikku hamil anak orang lain. Memang, sih dia tidak mengatakannya secara langsung, tapi dengan meragukan kehamilan Farida, itu sudah menjadi tertanda kalau dia tidak percaya pada adikku.

Bukannya setelah menikah mereka langsung berhubungan? Buktinya, beberapa minggu setelah itu Farida hamil. Kenapa Umar masih curiga?

"Kalau Mas boleh tahu, kamu dan Umar membicarakan apa saja tadi?"

Pertanyaan itu membuatku menoleh ke arah Habib. Matilah aku, baru kali ini aku merasa takut bicara di depan lelaki. Ya, mungkin karena Habib adalah suamiku juga. Jadi, rasanya seperti di introgasi polisi.

"Eum ... itu tentang ..." Hah! Kenapa aku jadi gugup begini?

"Ya sudah, kalau tidak mau memberitahu. Tidak masalah," potong Habib pada ucapanku yang menggantung.

"Bu—bukan begitu, Mas. Aku hanya ... aku rasa ... ini ..." Ah, aku benar-benar di buat gagap dan gugup oleh tatapan Habib.

Habib malah tertawa. "Sudahlah, Mas tidak memaksa. Jika memang tidak mau memberitahu, ya tidak masalah."

Akhirnya aku terdiam. Habib segera menyalakan mesin mobil dan kami pun pergi dari tempat itu. Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku tidak berkata yang sebenarnya kepada Habib? Tapi, apa reaksinya nanti kalau dia tahu Umar masih berharap untuk kembali padaku?

Ah, tidak. Aku tidak bisa memberitahu Habib tentang ini. Bukan hanya rumah tangga Farida saja yang hancur, tapi rumah tangga ku juga.

***

"Mas, besok aku ada kelas siang. Kalau Mas nggak keberatan, Mas bisa berangkat duluan," ucapku saat makan malam tiba.

"Kamu mau ke kampus naik apa?"

"Aku bisa naik taksi atau ojek," jawabku apa adanya.

Habib menggeleng. "Tidak, Mas tidak bisa membiarkan istriku naik taksi atau ojek. Besok kita akan berangkat bersama."

"Tapi, bukannya Mas mengajar kelas pagi?"

"Tidak, Mas tidak ada kelas pagi besok. Jadi, Mas bisa mengantarmu."

Aku tersenyum. "Baiklah jika itu yang Mas mau."

Aku memberekan piring dan peralatan lainnya yang ada di meja setelah kami baru saja selesai makan malam. Aku benar-benar merasa lelah hari ini. Dari pagi hingga sore, aku harus mengurus banyak hal termasuk beban rumah tangga Umar.

Mungkin aku memang belum terbiasa, hingga tubuh ini terasa sangat letih. Tapi insyaAllah, semua akan berjalan dengan lancar seiring berjalannya waktu. Aku akan terbiasa dan harus membiasakan diri.

Mungkin semua wanita akan merasakan hal yang sama ketika baru menikah. Perubahan-perubahan yang harus aku biasakan sebagai seorang istri sangatlah terasa. Seperti harus bangun lebih pagi untuk membuat sarapan, atau tidur lebih hangat karena pelukan. Sebagian orang akan langsung terbiasa, tapi sebagian lagi pasti akan merasa tertekan.

"Hey! Ngelamun?"

Aku berjingkat kaget. Bahkan aku hampir menjatuhkan piring yang baru saja selesai di cuci.

"Astaghfirullah, Mas! Nggak usah ngagetin bisa nggak, sih?" omelku.

Habib hanya tersenyum kecil menatap wajah istrinya ini yang tengah merajuk. "Tidur, udah malem."

"Iya sebentar lagi, ini satu piring lagi."

"Rajinnya istriku," puji Habib.

Aku menarik napas jengah. Bukannya ini memang tugas seorang istri? Kenapa dia memujinya sampai seperti itu? Matanya terlihat berbinar dengan bibir yang melengkuk ke atas. Oh, mungkin ini yang umi bilang sebagai sifat asli Habib, dia orang yang asik.

"Mau di sini aja atau ikut tidur?" tanyaku setelah kaki ini melangkah ke anak tangga pertama.

"Ikut dong!"

Seperti biasa, aku tidur satu ranjang bersama Habib. Jika setiap malam aku tidak pernah melepas hijab, maka malam ini aku akan melepasnya. Alasannya hanya satu, yakni agar Habib tidak merasa asing jika di dekat istrinya sendiri.

Tapi perasaanku berubah ketika jarum pentul aku tarik. Aku tidak siap, hati ini mendadak menolak untuk melepas hijab. Ada apa denganku?

"El, kamu sedang apa? Ayo tidur!"

"Iya, Mas."

Aku kembali memasang jarum pada hijabku. Setelah wudhu, aku kembali ke kamar dan masuk ke selimut dari arah bawah. Begitu masuk, aku langsung di sambut dengan pelukan hangat Habib. Ah, aku jadi galau mau lepas hijab atau tidak.

***

Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena terusik dengan sura panggilan dari ponselku. Siapa yang menelpon ku jam segini?

Aku membuka mata dengan sangat berat. Ku lihat tangan Habib masih senantiasa ada di atas perutku. Saat aku menoleh ke samping kiri, ternyata dia masih tidur. Aku pun bangun secara perlahan dan menyingkirkan tangannya dengan pelan.

Umar? Mau apa dia menelepon ku?

Aku tidak berniat mengangkat panggilan itu dan menekan tombol merah. Tapi begitu aku ingin kembali tidur, ponselku kembali berdering. Aku bingung, harus di angkat atau tidak. Pasalnya, aku takut Habib marah jika tahu istrinya menerima panggilan lelaki lain secara diam-diam.

Sampai akhirnya aku putuskan untuk mengangkat panggilan itu setelah keluar dari kamar.

[Assalamu'aialkum, El?]

Aku menarik napas panjang. [Wa'alaikumsalam. Ada apa kamu menelponku jam dua pagi?]

[Maaf, apa aku mengganggumu?]

[Tentu saja. Bukan hanya aku yang terganggu, tapi Habib juga bisa terganggu kalau dia tahu kamu menelpon ku] Jawabku ketus.

[Aku hanya ingin mengobrol. Pertemuan kemarin terasa begitu singkat, aku bahkan tidak sempat bicara banyak denganmu]

Ah, apa yang Umar bicarakan? Dia sudah memiliki Farida, tapi kenapa dia malah menelpon istri orang? Kalau begini caranya, akan semakin sulit bagiku untuk melupakan Umar. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Umar, hanya akan bisa menambah dosis kesulitan untukku bisa move on darinya.

[Umar, apa aku boleh bertanya sesuatu?]

[Tentu, El. Apa itu?]

[Apa kamu masih mencintaiku?]

Lama tak ku dengar jawaban dari Umar. Hanya ada suara angin yang berhembus dan sepertinya itu suara desah napas Umar.

[Iya, El. Aku masih mencintaimu]

Jawaban Umar sudah bisa ku tebak. Sejak awal kami memang saling mencintai satu sama lain, tapi kenyataan seolah menginginkan kami berpisah. Aku memang merasa tidak rela, tapi makin ke sini aku semakin yakin kalau Habib adalah jodohku. Meski aku belum mencintainya sebesar aku mencintai Umar dulu, tapi setidaknya aku akan berusaha.

[Kalau kamu memang mencintaiku, bisa aku minta sesuatu?] tanya ku lagi dengan mata hampir basah.

[Apa itu?]

[Tolong, jangan pernah hubungi aku lagi dan berhenti mengucapkan kata cinta padaku. Aku hanya ingin hidup tenang bersama suamiku, karena aku juga sudah berjanji pada Farida untuk tidak berhubungan lagi denganmu. Jadi aku mohon, jangan menaruh harapan padaku. Karena kita tidak mungkin bisa kembali seperti dulu]

Aku menutup panggilan secara sepihak setelah mengatakan hal itu. Aku harap Umar bisa mengerti posisiku. Aku tidak mau ada yang terluka lagi, cukup aku saja yang terluka, tapi adikku jangan. Aku sudah tahu bagaimana rasanya patah hati dan aku tidak mau Farida merasakan hal yang sama.

Aku memasang senyum dan kembali masuk ke kamar. Aku tertegun saat melihat Habib sudah bangun dan kini tengah duduk di tepian ranjang sambil menatap ku. Apa dia mendengar percakapan ku dan Umar?

���Siapa yang menelponmu jam dua pagi?" tanya Habib dingin.

"Mas sudah bangun? Ayo kita sholat tahajud bersama," ajakku mengalihkan topik pembicaraan.

"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Mas bertanya, siapa yang menelponmu jam dua pagi?"

Gleg! Kenapa jadi seperti ini? dasar, Umar! "Itu ... Umar," jawabku jujur.

Habib menggeleng. "Astaghfirullah, El. Tidak baik menelpon lelaki lain di belakang suami. Apalagi di jam dua pagi. Apa kamu tidak memikirkan perasaan Mas?"

"Mas, maafkan aku. Umar menelponku lebih dari sekali, aku hanya takut kalau ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Maka dari itu aku mengangkat panggilan darinya," jelasku memelas.

Habib berdiri, dia berjalan pelan ke arah ku yang masih berdiri dengan daun pintu yang tertutup sebagai sandaran. "Kalau begitu kamu harus di hukum!"

Apa, di hukum? Aku bahkan tidak menduga kalau Habib akan menghukumku setelah mengetahui hal ini. Jika tahu akan begini akhirnya, mungkin akan lebih baik jika aku tidak mengangkat panggilan itu tadi.

"Hukuman apa?" tanya ku takut karena Habib semakin mengikis jarak di antara kami.

"Diem! Mas mau mencicipi bibirmu."

"Hah? Ap—"

Ucapanku tak bisa di selesaikan karena Habib sudah menyumpal mulutku dengan bibirnya. Mataku melotot dengan hati yang tak karuan rasanya. Oh, jantung! Kondisikan dirimu.