Malaikatku. Mungkin itulah satu-satunya nama yang bisa aku sematkan pada bang Fahri. Dia sosok yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Meski kadang dia suka jahil, tapi dia tidak pernah membuatku menangis karena kesedihan, melainkan sebaliknya.
"Abang percaya dan Abang yakin kalau kamu tidak mungkin melakukan hal itu. Abang akan selalu percaya padamu, El." Itulah jawaban bang Fahri setelah dia mendengar penjelasanku.
Hanya dia satu-satunya orang yang percaya padaku. Dia yang mampu mempercayaiku lebih dari diriku sendiri. Andai ayah dan bunda mau mendengarkanku, mungkin aku tak sehancur ini. Aku merasa bahwa mereka hanya peduli pada Farida. Mentang-mentang dia sedang hamil, jadi dia harus di bela? Sekalipun yang mereka bela itu salah?
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Abang tidak suka melihatmu seperti ini. Ayo, masuk! Kamu pasti belum makan, 'kan?" kata bang Fahri berusaha membujukku.
"Tapi bagaimana dengan ayah dan bunda? Aku tidak bisa membiarkan mereka terus-terusan salah paham, Bang."
"Jangan pikirkan mereka, nanti biar Abang yang jelaskan semuanya. Sekarang ayo, masuk!"
Akhirnya aku menurut. Bang Fahri memapahku masuk ke dalam rumah. Kulihat ayah, bunda dan yang lainnya sedang mengobrol di ruang keluarga. Mungkin mereka sudah selesai makan siang, sebab aku lihat meja makan sudah kosong.
Kuedarkan pandang ke semua orang, mereka menatapku dingin, tak terkecuali Farida. Dalam pelukan bunda, dia menatapku sinis. Ayah ikut melirik ke arahku, namun tak lama dia kembali mengabaikanku dan lanjut mengobrol bersama istri dan anaknya.
Kalian tahu apa yang aku rasakan? Rasanya seperti sakit, tapi tak berdarah. Hati ini tak kuasa menahan tangis. Namun usapan lembut dari bang Fahri membuatku tegar. Aku lanjut berjalan menuju anak tangga.
"El!" Aku menoleh saat bunda memanggilku. "Sini, sayang! Kamu belum makan, 'kan?"
Hati ini mencelus senang. Akhirnya bunda mau memanggilku dan bersikap ramah seperti biasa. Aku tersenyum getir memandang bunda yang juga tersenyum padaku. Senang rasanya bisa mendapat senyuman hangat itu. Tanpa berpikir lagi, aku pun berlari menghampiri bunda.
"Bunda! Jangan biarkan mbak El ke sini, Farida tidak suka!" Langkah ku terhenti mendengar suara manja adikku.
"Tapi, sayang ... Mbak El kan—"
"Tolong, Bunda. Kali ini saja, Farida sedang ... tidak mau melihat wajah mbak El," potong Farida pada ucapan bunda.
Aku hanya bisa berdiri mematung. Itu sudah menjadi larangan keras agar aku tidak ikut bergabung bersama mereka di sana. Bunda tidak bisa lagi membantah omongan Farida, bahkan mbak Anisa juga tidak bisa. Mereka sibuk menjaga perasaan Farida, sementara aku? Mereka tidak tahu betapa hancurnya hatiku saat dikucilkan oleh keluarga sendiri.
Aku menarik napas panjang, melebarkan senyum yang rasanya sulit sekali dikembangkan. Akhirnya aku lari menaiki tangga. Bang Fahri berusaha menghentikanku, tapi kode dari bunda membuat bang Fahri mengurungkan niatnya.
***
Saat malam tiba, aku masih mengurung diri di kamar. Aku tidak mau keluar apalagi bertemu orang-orang tadi, itu hanya bisa membuatku semakin sakit hati.
Setelah sholat maghrib bersama Habib, aku memilih bermuraja'ah di kamar. Suaraku bergetar hebat menahan tangis. Mengingat bagaimana wajah-wajah penuh kekecewaan itu menatapku, rasanya membuat hati semakin tersiksa.
"El, ayo makan! Mbak Nisa dan bunda sudah menyiapkan makan malam untuk kita semua," ajak Habib.
Aku tahu, Habib sudah tidak cuek lagi padaku. Dia juga sudah mendengar semua penjelasanku dan memberikan kepercayaan sepenuhnya padaku. Aku senang, tapi yang aku harapkan adalah kepercayaan dari Farida. Sebab, dialah kunci kepercayaan semua orang.
"Aku tidak lapar, Mas. Kalau Mas mau makan, makanlah bersama yang lain. Aku mau istirhat saja," jawabku lemah.
"Jangan begitu, El. Tadi siang kamu tidak makan, dan sekarang kamu mau melewatkan makan malam mu juga? Apa kamu tidak takut asam lambungmu naik?"
"Tapi aku tidak mau keluar. Aku tidak mau bertemu Farida dan ayah, mereka pasti masih sangat kecewa padaku, Mas." Tanganku bergerak melihat mukenah.
"Baiklah, kalau begitu biar Mas yang bawakan makanan untukmu, ya?" Aku pun mengangguk.
Habib keluar dan menutup pintu. Aku tidak keluar, bukan karena aku takut pada Farida. Tapi aku hanya tidak mau mendengar wejangan dari ayah yang membuat hati ini semakin panas. Belum lagi perhatian Umar pada Farida, itu akan membuatku semakin tidak bisa mengontrol diri.
Biarlah, untuk sekarang aku tidak mau mengusik Farida dulu. Mungkin dia butuh waktu sendiri. Setelah dia merasa tenang, barulah aku bisa mulai menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi.
"El, ini makan malamnya," kata Habib begitu dia kembali dengan membawa nampan berisi sepiring nasi.
"Terimakasih, Mas."
Padahal, menu makan malam cukup mewah. Ada ayam dan juga sayur. Tapi nafsu makanku hilang begitu saja entah karena apa.
"Sini, biar Mas suapin." Habib mengambil piring dan sendok dari tanganku.
Dia menyendok makanan dan menyuapi ku. Ah, Habib ini baik sekali. Dia terus menyuapiku sampai makananku habis. Kami duduk berdua di tepi ranjang sambil saling memandangi wajah satu sama lain.
Habib membenahi hijabku tatkala ada sehelai rambut yang terlihat. Aku hanya bisa diam menerima perlakuannya. Dia memang tidak romantis, tapi dia bisa berbuat hal yang membuatku semakin menyukainya. Tapi untuk cinta ... aku rasa belum bisa.
"Mas sudah makan?" tanya ku.
"Sudah," jawabnya singkat.
"Bagaimana dengan Farida? Apa dia memakan makan malamnya?"
"Iya. Farida, ayah, bunda dan yang lainnya sedang makan bersama di bawah. Hanya kita yang di kamar."
Aku meraih tangan kokoh Habib dan menggenggamnya erat. "Mas, apa yang harus aku lakukan? Farida masih marah padaku, dia pasti sangat kecewa," adu ku padanya. "Aku tidab bisa membiarkan dia berlarut-larut dalam kesalahpahaman ini. Aku harus menjelaskan semuanya pada Farida."
"Mas paham, tapi apa yang bisa kita lakukan kalau Farida tidak mau mendengarkan kita? Mas sudah bicara pada bang Fahri, katanya dia akan menjelaskan semuanya setelah Farida tenang."
Aku menggigit bibir bawahku. Dalam hati aku berdo'a agar Farida mau mendengarkan penjelasan bang Fahri. Hanya dia satu-satunya harapanku untuk menyelesaikan masalh ini. Umar? Dia tidak bisa di harapkan. Dia pun tidak berusaha untuk menjelaskan semuanya pada Farida.
"Mas, apa kita bisa pulang malam ini?" tanyaku pula.
"Apa? Pulang? Apa kamu yakin?" Habib malah balik bertanya.
"Iya, Mas. Aku yakin. Aku tidak mau berlama-lama di rumah ini, aku takut Farida semakin membenciku karena selalu menampakkan diri di depannya. Aku ingin membiarkan dia menyendiri dulu, aku takut keberadaanku disini hanya akan membuatnya merasa tersakiti," kataku menjelaskan.
Habib mengangguk. "Baiklah, kalau itu maumu, kita akan pulang malam ini juga. Kamu bisa siap-siap dulu, Mas akan bicara pada bang Fahri dan yang lainnya."
Aku mengangguk. Setelah Habib keluar, aku memutuskan untuk membersihkan diri. Aku mengernyit saat melihat kantung mataku sedikit bengkak karena hampir seharian menangis. Masalah sepele seperti ini bisa membuat hubungan keluarga jadi renggang. Astaghfirullah, kenapa aku selalu berada di posisi serba salah seperti ini?
Aku membenahi kerudung dan mempertebal bedak. Sengaja aku melakukan itu supaya bisa menutupi kantung mata yang sembab.
Setelah selesai, aku pun keluar. Ada Habib yang sudah bersiap membawaku keluar. Begitu sampai di ruang tamu, aku tidak mendapati Farida atau bang Fahri. Mereka berdua kemana?
"Ayah, Bunda, Mbak Nisa dan ... Umar, aku pamit pulang. Aku tidak mau keberadaanku di sini membuat Farida semakin tersakiti," ucapku bersimpuh pada ayah dan bunda.
"El, kamu tidak apa-apa? Bunda lihat matamu sedikit merah." Bunda menyentuh pipiku seolah menelisik sesuatu yang salah pada wajahku.
"Tidak apa-apa, Bunda." Aku berusaha tersenyum meski sulit.
"El, maafkan Ayah. Tadi Ayah telah menamparmu," kata ayah menyesal.
Aku menggeleng. "Tidak apa, Yah. Ayah tidak salah, mungkin itu memang harus di lakukan agar Farida merasa puas," jawabku sedikit menyindir.
"El, kamu hati-hati ya. Maaf, karena Mbak tidak bisa membantumu," kata mbak Nisa pula.
Aku mengangguk. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena Umar tidak mengatakan apa-apa sebelum aku pergi.
Setelah saling berpelukan, aku pun pamit. Semua orang mengantar aku dan Habib sampai di pintu utama. Saat kaki ini hendak melangkah, tiba-tiba Farida berteriak. Dia berlari dari tangga untuk menghampiriku.
"Mbak El!" teriaknya.
Dia datang dan langsung memelukku. "Maafkan aku, Mbak. Aku yang salah," ucapnya pula.